Hari Kamis kemarin adalah hari keempat saya bertugas di Surabaya, tepatnya di salah satu gedung di sisi jalan Jagir Wonokromo. Bila beberapa hari sebelumnya saya hanya membantu tugas dari rekan-rekan satu tim, maka mulai hari ini saya melakukan apa yang menjadi tugas saya. Lumayan menguras tenaga, karena saya harus berjalan berkeliling dari satu meja ke meja lain, mengecek apa yang dilakukan para peserta training melalui layar komputer mereka. Selain itu, menyampaikan materi, petunjuk, dan menjawab pertanyaan, juga membuat kerongkongan saya kering. Sebuah episode yang memang harus saya jalani.
Pada dasarnya, tugas saya di Surabaya ini tidak berbeda dengan tugas saya di Medan beberapa waktu lalu. Hanya saja, dari satu sisi, keadaan di sini lebih baik, sedang jika dilihat dari sisi lain, justru sebaliknya.
Dalam hal gedung, baik gedung tempat bertugas di Medan maupun Surabaya, keduanya terletak di pinggir jalan. Bedanya, gedung di SUrabaya ini lebih bagus, mungkin karena masih baru. Selain itu fasilitasnya lebih baik, seperti jumlah lift di gedung Surabaya berjumlah empat untuk delapan lantai, sedangkan di Medan, jumlah liftnya hanya satu, untuk enam lantai. Toiletnya pun jauh lebih bagus.
Namun di sisi lain, bila di Medan saya dan rekan-rekan satu tim tidak pernah menemui kemacetan dalam perjalan pergi ke kantor dan pulang pulang ke rumah kos, sedangkan di Surabaya setiap pulang kerja, kami selalu mendapati kemacetan, meskipun tidak separah di Jakarta.
Tak ada gading yang tak retak, begitukah sebuah penggambaran dari setiap makhluk. Bila kita memperhatikan burung dengan sayapnya bisa terbang melayang di angkasa, ia tidak bisa selincah kijang berlari di daratan. Bagitu pula ketika kita memperhatikan ikan yang bisa berenang dan hidup di dalam air, maka hal yang sama tidak akan kita temukan pada binatang lain.
Begitu pula dengan manusia. Bila kita melihat si fulan dengan berbagai kelebihan, maka di balik itu semua niscaya ada kelemahan yang tersimpan. Sebaliknya kita harus yakin, bahwa jika seseorang memiliki banyak kelemahan pastilah ia memiliki suatu kelebihan yang mungkin kita belum melihatnya.
Karena kesempurnaan itulah, manusia menjadi begitu sempurna. Sempurna sebagai makhluk. Lantas dengan kenyataan demikian, pantaskah kita menyomongkan diri?
Tulisan Terkait Lainnya :
- Para Lelaki Masbuq
- Jika Tentang Rasa
- Bisa Jadi…
- Antara Ikhlas dan Buang Air Besar
- Tiga Orang Anak yang Bersalaman Selepas Shalat
- Membalas VS Memaafkan
- Kisah Rasulullah yang Kental dalam Pesan Moral Namun Rapuh dalam Validitas
- Dua Sisi Digital Lifestyle
- Strategi Sedekah
- Dhuha dan Tilawah Para Pengemban Amanah
Ya iya.. lah… namanya juga Surabaya.Kota metropolitan kedua di Indonesia, gitu loooh.. heheheheBtw, katanya jadi dosen? Jadi dosennya dimana?
ya, dosen di STAN, tugasnya setiap hari kamis dari pagi sampe sore.ya pastinya belum di accept sama istri saya, kan dianya gak online setiap hari. hanya sewaktu2 aja.
Salam buat Mbak ya Pak…. :-)sweet smile…
nice artikel mas…TFS yah…keep writing ,bagus untuk mengingatkan bhw tak ada manusia yg sempurna
dibanding di Jakarta, macet di Sby kategorinya masih cukup tolerable π
insya Allah….disampein salamnya
semoga saya bisa….:|
hehehehehe….iya seh… cuma satu tempat aja yang macet…. lainnya lancar π
pengen ke medan..
dalam rangka apa mbak?
pengen menengok kampung halaman ‘the prince on the Pegasus’ hehehehdah kenal dia belom?
wah…. siapa tuh?