“Kita belum merdeka, Kawan!”
Kembali Pak Ogi mengeluarkan kalimat tersebut. Saya dan semua penonton dibuat bingung. Pertama karena penampilannya. Jika kesehariannya dia selalu berpakaian lusuh dan bahkan kadang-kadang compang-camping, kini, dia mengenakan pakaian ala tentara jaman kemerdekaan, meskipun tetap terlihat lusuh, dan sebilah bambu runcing di tangan kanannya. Kedua, apa maksud kedatangnnya ke sini? Ikut lomba puisi 17 Agustusan? Tak mungkin, karena peserta lomba puisi hanya diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja saja, serta yang masih waras.
“Kita belum merdeka, Kawan!”
Kalimat itu membuyarkan lamunanku. Karena kali ini volumenya lebih keras dari sebelumnya. Para penonton terlihat gaduh, namun tak ada yang meminta Pak Ogi untuk turun dari panggung. Mungkin mereka sudah mengenal Pak Ogi, meskipun kurang waras tapi tak pernah membuat kekacauan atau mengganggu ketertiban di lingkungan ini.
“Kita belum merdeka, Kawan!”
Pak Ogi kembali berteriak. Kali ini sambil mengangkat bambu runcingnya tinggi-tinggi. Setelah itu, dia turun dari panggung tanpa diminta. Saya dan para penonton masih hanyut dalam kebingungan. Sebuah pertanyaan menggantung di salah satu dinding otak saya. Sebenarnya siapa yang gila? Saya dan semua penonton yang menganggap bahwa negeri ini sudah merdeka sejak enam puluh lima tahun yang lalu? Atau Pak Ogi yang memang sudah benar-benar gila tapi tetap waras dalam melihat kondisi negeri ini?
Merdeka atau mati…
gimana kalau diganti hidup mulia atau mati syhahid?terlalu muluk, gak?
makasih partisipasinya, langsung saya locked ya, tidak boleh diedit lagi
Kita belum merdeka, mas Rifki.
berarti kita yang gila yah 🙂
Tepatnya tergila-gila. Hahaha..
tergila-gila = awalan ter pada kata sifat menyatakan paling atau sangat, seperti tertinggi, terpandai…. jadi paling gila atau sangat gila (kesimpulan yang ngaco… hehehehehe)
Hahaha.. Aku dah niat pengen ikutan bikin ff tapi gak sempet-sempet..
masih ada waktu beberapa hari lagi…