Selasa malam itu, materi pengajian di masjlis taklim depan rumah saya adalah tentang Cinta Rasul. Saya dan tetangga sekitar masjlis taklim sudah siap menerima ilmu yang akan ditransfer oleh sang guru. Saya tak tahu kitab apa yang dibaca, yang jelas itu adalah kitab kuning (konon disebut demikian karena dulunya kitab-kitab sejenis menggunakan kertas berwarna kuning seperti kuning kunyit) dengan bahasa arab gundul. Pokok bahasan kala itu adalah, salah satu cara untuk mencintai Rasulullah adalah mencintai para sahabat beliau.
Di akhir materi, diisi dengan tanya jawab. Dengan sedikit ragu, akhirnya saya ajukan sebuah pertanyaan.
“Pak Ustadz, dari uraian tadi, salah satu cara kita mencintai Rasulullah adalah mencitai para sahabat beliau. Salah satu sahabat beliau yang sering dikisahkan adalah Tsa’labah. Di mana dalam kisah yang sudah menyebar luas di masyarakat, Tsa’labah digambarkan sebagai seorang sahabat yang semula miskin namun rajin shalat berjama’ah, yang kemudian minta didoakan oleh Rasulullah agar menjadi orang kaya. Singkatnya, Tsa’labah menjadi orang kaya, tetapi jadi jarang dan semakin jarang ikut shalat berjama’ah.”
Saya melanjutkan, “Sementara di hadits lain, Rasulullah memerintahkan agar kita tidak boleh menghina atau menjelekkan sahabat beliau. Jika mendengar atau menceritakan kisah Tsa’labah yang demikian, bukankah itu artinya kita menghina sahabat Rasulullah?”
Pak Ustadz pun memberikan jawaban, “Tsa’labah memang sahabat Rasulullah. Dengan kisahnya itu, apa yang bisa kita ambil? Kisah tersebut mengisyaratkan bahwa para sahabat Rasulullah juga manusia. Sebagai manusia biasa, tentunya tak luput dari salah dan lupa. Manusia yang Allah pelihara dari segala kesalahan hanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Terus terang, saya kecewa dengan jawaban tersebut. Apakah tidak sampai kepada beliau hadits shahih yang menyatakan bahwa Tsalabah bin Hathib adalah salah seorang sahabat yang ikut dalam Perang Badar. Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar:
“Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah.” [HR. Ahmad (III/396), lihat Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2160)].
Tidak juga kah sampai hadits Rasulullah kepada beliau yang menyatakan “Barangsiapa mencela Shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, Malaikat dan seluruh manusia.” [ HR. Ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jamul Kabir (XII/110, no. 12709) dan hadits ini telah di-hasan-kan oleh Imam al-Albany dalam Silsilatul Ahaadits ash-Shahihah (no. 2340), Shahih al-Jaami’ush Shaghir (hal. 2685)].
Nyatanya, tak hanya malam itu saya mendapat jawaban yang mengecewakan. Akhir-akhir ini, saya pun kembali mendengar kisah Tsa’labah yang didasari sebuah hadits yang lemah dan bathil dari penceramah, baik di televisi maupun di majlis ilmu yang sempat saya datangi. Jika demikian adanya, siapa yang celaka? Pastinya, bukan Tsa’labah.
Wallahu a’lam.
untuk bahasan lengkap silahkan jenguk Meluruskan Cerita Tentang Tsa’labah Bin Haathib
Ya, saya juga meyakini kalo kisah tentang Tsalabah ini haditsnya lemah.
sy baru tau paktfs infonya
awalnya saya seh percaya2 aja, pak 🙂
sama-sama, semoga bermanfaat
iya, banyak sekali para khatib dan ustadz yang menceritakan kisah lemah ini …kisah yang sangat mahsyur, ya …
jazakallah infonya mas..
iya, mas 😦
sama-sama…
artinya pak Ustadz musti belajar ama mas Jampang:D
saya pernah mempostingkan hal yang serupa di sini, dan juga ada lagi kisahnya Al Qamah, sudah pernah baca? http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/126
ya bukan gitu lah… 😛
cerita al-qamah yg beredar, saya sudah tahu, cuma kisah sebenarnya saya belum tahu….*meluncur
Kyknya mmg msh banyak sekali ulama/ustadz yg menceritakan kisah dgn melandaskan bhw ini kisah sahabat, pdhal sanad nya jg ga jelas ya ..
jelas koq…. jelas-jelas dhoif dan bathil 🙂