Sebelum melewati itu semua, pikiran saya berkelana ke masa lalu. Kala itu saya baru saja menerima gaji sebagai guru private. Tak banyak, mungkin sekitar delapan puluh sampai seratus ribu rupiah, tergantung berapa kali tatap muka yang saya lakukan. Tiba di Pasar Kebayoran Lama setelah sebelumnya menaiki Kopaja 613 jurusan Bintaro – Blok M, saya akan melewati para pedagang makanan, mulai dari gorengan, donat, kue pukis, hingga martabak. Nama makanan terakhirlah yang saya beli dan saya bawa pulang ke rumah untuk dinikmati bersama-sama dengan keluarga. Berbagi rezeki atas gaji yang saya terima.
Selepas mengenang kejadian di masa lalu tersebut, saya meraba saku celana saya dari luar karena teringat bahwa hari ini saya mendapat tugas ke luar kantor dan mendapatkan uang ganti transport yang jumlahnya tak jauh beda dengan jumlah gaji yang saya terima ketika menjadi guru private dulu. Muncul keinginan untuk membawa pulang sesuatu ke rumah, terutama untuk ibu. Pilihan pertama adalah membawa buah-buahan. Tetapi setelah dipikir-pikir bahwa saya tidak pandai memilih buah yang baik dan manis, serta tidak pandai menawar, akhirnya saya banting setir ke arah lain dan tidak melewati Pasar Palmerah. Saya pilih jalan lain untuk menghindari kemacetan.
Setelah bebrapa lama menimbang-nimbang, akhirnya motor saya berhenti tepat di samping pedagang martabak. Tanpa pikir panjang lagi, saya pesan dua sekaligus, satu martabak telur dan satu martabak manis.
Sekilas terpikir, mungkin ini adalah salah satu cara saya mengembalikan martabat di mata ibu saya, jika dulu dengan gaji hanya puluhan ribu saya bisa membelikan martabak, masa sekarang dengan gaji jutaan tidak sanggup. Itu hanya pemikiran saya yang mungkin akan berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pemikiran ibu saya dan juga para orang tua. Seorang ibu, dalam sebuah lagu diibaratkan seperti matahari yang menyinari bumi, tak pernah mengharap kembali kasih sayang yang pernah diberikan kepada anak-anaknya. Wallahu a’lam.
Tiba di rumah, saya melihat ibu yang baru saja selesai shalat. Melihat saya membawa bungkusan yang tergantung di motor saya, ibu bertanya, “Bawa apaan, Ki?”
“Martabak,” jawab saya singkat sambil meletakkan bungkusan di atas meja.
Ibu segera membuka bungkusan tersebut dan menyajikannya di atas piring untuk dinikmati bersama anggota keluarga yang lain. Sambil melakukan itu, ibu berkata, “Kalau mau minum, ada es teh manis di kulkas.”
Subhanallah. Kebiasaan ibu tidak pernah berubah dari dulu.
ceritas es teh manis bisa dibaca di sini.
Tak pernah lelah ya ,ibu memberi :(Tersentuh ,jd ingat Ibu.
iyah, gak habis-habis
Hmm.. mus tidak kebagian ya?SABUDI (sastra budaya indonesia)mari kita jaga bersama!
wah, jadi pengen martabak telor … he he he …malam-malam begini mantap …
sudah habis, mas π
iya neh, mas hendra… apalgi tadi sore sempet hujan.
mau martabakkk…ehh enaknya makan martabak ama teh panas..
Anak laki-laki yang di headshot siapa, Mas? Yang kiri ya, bukan yang kanan.
@mbak aniez : hangatnya puoolll π
@mas fauzi : yang ganteng yah? itu syaikhan namanya. anak saya.
terharu…. jadi inget mama ku π
semoga Allah senantiasa menjaga para ibu dalam kasih sayang-NYA
Aamin Yaa Rabb…
yaaah… pengen martabak telor…terakhir makan , 2 hari menjelang berangkat deh..
tepatnya tahun kapan, mbak?
yah baru Januari kemaren … di SMG ..
ooo…. belum lama donk π