Orang bijak pernah berkata kepadaku, “Berhati-hatilah dalam menjalani hidup dan kehidupan ini. Menjadi apa pun dirimu, di mana pun kau berada, serta kapan pun masa kau pijak, patuhilah kontrak seumur hidup yang pernah kau tanda tangani. Jangan sekali-kali kau melanggar ketentuan utama di dalam kontrak tersebut!”
Kucoba mengunyah kalimat-kalimat tersebut dengan gigi-gigi pengetahuanku yang masih dangkal. “Kontrak seumur hidup? Saya tak pernah menandatangani selembar kontrak pun selama saya hidup,” ucapku dalam kebingungan.
“Kau lupa. Bukankah kau pernah membaca di salah satu lembaran mushaf yang kini kau pegang dalam genggaman tanganmu bahwa ketika kau ditanya oleh Sang Penciptamu bahwa dia adalah Tuhanmu, langsung kau jawab dengan ya?”
Al-A’raf ayat seratus tujuh puluh dua rupanya yang beliau maksud. Itu adalah kontrak yang kutandatangani sebelum aku terlahir ke dunia ini.
“Selain itu, beberapa ketentuan lain pun tercatat mendampingi kontrakmu itu,” beliau melanjutkan, lalu diam.
Kembali beliau membuatku bingung dengan kalimat yang menurutku hanya setengah jalan. Tidak lengkap.
“Kau lupa lagi?” tanya beliau manakala melihat dahiku membentuk gulungan ombak kecil yang melapisi kebuntuan otakku untuk berpikir. “Di sampingmu, bukalah ucapan manusia mulia pada urutan keempat dari buku tipis yang ada dihadapanmu,” lanjut beliau sambil memerintahku.
Kitab hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah.
“… kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan mencatat 4 (empat) perkara yang telah ditentukan, yakni : rezeki, ajal, amal dan sengsara atau bahagianya…” begitu yang kudapat.
“Itulah kontrak seumur hidup kita. Bila tak mau sengsara pastikan kau berjalan di jalan yang jelas. Patuhi segala rambu-rambu dan ketentuan yang ada di dalam dua pusaka warisan Nabi nan mulia. Al-quran dan As-sunnah. Supaya kelak kau tidak pernah menyesal,” tutup beliau yang langsung berdiri.
Beliau tengadahkan wajah ke arah purnama yang menampilkan lukisan indah yang bentuk dan rupanya tergantung siapa yang memandangnya. Lalu beliau mengumandangkan syair tentang sebuah perpisahan.
Di bawah naungan langit biru dengan segala hiasannya yang indah tiada tara
Di atas hamparan bumi dengan segala lukisannya yang panjang terbentang
Masih kudapatkan dan kurasakan
Curahan rahmat dan berbagai ni’mat
Yang kerap Kau berikan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Pantaskah kumemohon diri
Tanpa setetes syukur di samudera rahmat-Mu
Di siang hari kulangkahkan kaki bersama ayunan langkah sahabatku
Di malah hari kupejamkan mata bersama orang-orang yang kucintai
Masih kudapatkan dan kurasakan
Keramaian suasana dan ketenangan jiwa
Tapi bila tiba waktu berpisah
Akankah kupergi seorang diri
Tanpa bayang-bayang mereka yang akan menemani
Ketika kulalui jalan-jalan yang berdebu yang selalu mengotori tubuhku
Ketika kuisi masa-masa yang ada dengan segala sesuatu yang tiada arti
Masih bisa kumenghibur diri
Tubuhku kan bersih dan esok kan lebih baik
Tanpa sebersit keraguan
Tapi bila tiba waktu berpisah
Masih adakah kesempatan bagiku
Tuk membersihkan jiwa dan hatiku
Setiap kegagalan yang membawa kekecewaan
Setiap kenyataan yang menghadirkan penyesalan
Masih kudengar dan kurasakan
Suara-suara yang menghibur
Tuk menghapus setiap kecewa dan sesal
Tapi bila tiba waktu berpisah
Adakah yang akan menghiburku
Akankah aku pergi tanpa kekecewaan dan penyesalan
Wallahu a’lam.
Tulisan Terkait Lainnya :
hmmm… daleeeeeeeeemmmmm π
byuuhhh,,,,ekspres langsung nulis,,,ckckck,,,bener2 produktipMar 17, ’11 3:08 PMfor everyone
hu um π
:)SABUDI (sastra budaya indonesia)mari kita jaga bersama!
hooo ini tho idenya pakde :Dsaya tandai dulu saja yak pakde… agak panjang soalnya belum sempet baca ^___^
:)senyum jg kayak mus…
@mbak lola : ooo begitu rupanya? *niruin Pak RT
@mbak suly : salah sendiri, knp ngasih bohlam…. xixixixixi
@mbak sukma : sambil ngemut permen yah?
@mas moes : terima kasih atas sedekahnya. π
@mbak srikandi : iyah, ini idenya yang muncul setelah baca di tetangga sebelah
@mbak dha : banyak yg sedekah hari ini.
diakhiri sebuah puisi mantep mas, kirain kontrak seumur hidup tuh kontrak orang menikah hihihi
@mas rio : ya bisa juga seh dalam konteks lain
Tulisan yang indah.. π
sama dengan kontrak permanen π
@mbak dian : terima kasih
@pak iwan : iyah, sama π
daleemm!! Makasih yaah
Suka lupa sama kontrak saking keenakan ngurus duniawi.. :))
@teh amel : sama-sama, teh
@mbak wiwit : ada kontrak lain yang lebih diperhatikan
analogi yang keren.. hehehe
terima kasih, mbak.ngasal ngepas2-in aja
Thanks sudah mengingatkan kembali dan membuat hath semakin mantap memilih langkah
kita sangat membutuhkan orang yang mengingatkan kita akan hal semacam ini karena kita sering lupa…*jazakallohu mas dan mengingatkan…
setuju
terima kasih jg dr saya krn telah mengingatkan.. btw, produktif ya, mas. hebat, panjang2 lg tulisannya.. hehe
Betapa butuhnya kita akan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala …semoga kita senantiasa berada di atas jalan-Nya yang lurus … amin …
postingan yg inspiring, mas.. jazakallah..
alhamdulillah…. sama-sama, mbak
sama-sama, mas. semoga kita bisa saling mengingatkan
baguuuuuus π
sama-sama.gak panjang2 juga. puisinya itu tulisan lama yang saya padu padankan dengan tulisan yang baru.
aamiin…
sama-sama, mbak. semoga bermanfaat khususnya buat saya
sebener ku ga suka sama kata kontrak seumur hidup itu.. tapi pahami juga.. hidup emang punya kewajiban atas rejeki-ajal-amal-sengsara/bahagia dari kita, tapi tetep kita kudu usaha, jangan pasrah gitu aja, seolah2 emang gitulah takdir kita.. toh yang menjalani hidup kita sendiri..
@mbak tin : manusia memang harus berusaha, bukan menyerah sebelum perang, dan apa yang didapat adalah apa yang diusahakannya. [mohon maaf kalau judulnya kurang berkenan]
istilah lainnya, ikhtiar dulu baru tawakal. bener ga Mas?
@mas nur : betul sekali mas π
Kontrak itu yg menjadi sebuah perjanjian ..dan tak seorangpun mampu mengingatnya kapan, hanya berbekal keyakinanbahwa pernah berjanji..lalu ? ya mengisinya dgn hal2 yang baik..klise ? ya memang seperti itu adanya ..
dan iman di dada masing-masing dari kita yang bisa membuktikannya