Suatu sore di tahun 2007
Di depan pintu gerbang sebuah rumah di bilangan daerah Fatmawati, setelah mengucap salam, seorang ustadz mengucapkan sesuatu kepada bapak mertua saya, “Bapak gak salah pilih mantu!”
Entah apa yang menjadi dasar ustadz yang ternyata adalah kakak kelas saya di Kampus Jurang Mangu mengucapkan kalimat tersebut. Padahal saya dan beliau belum kenal dekat. Sebelumnya kami bertemu beberapa kali di rumah nenek saya pada saat beliau melakukan ruqyah. Tapi yang jelas, kalimat tersebut menjadi bahan candaan istri kepada saya.
Apa benar saya mantu yang tepat dam baik? Pertanyaan tersebut sempat berputar beberapa waktu yang lalu, tetapi segera lenyap dan terhapus karena perubahan dan perputaran roda zaman.
Maret 2011
“Masa seh, Ki? Aku mau nangis dengernya. Padahal di ruangan itu kita-kita sering ngomongin kalau kamu itu suami number one lah.”
Kira-kira itulah komentar salah seorang rekan kerja perempuan di ruangan saya ketika mendengar jawaban saya atas pertanyaannya. Sebuah komentar yang yang sempat membuat saya GR. Namun ke-GR-an tersebut hilang segera. Tertiup angin sebuah perpisahan.
*******
Maaf Mas Rifki, mungkin aq lancang, mungkin aq sok tahu. tapi sekian hari, minggu blog ini bikin sedih … “something happen here”
Halo bang Jampang!! Pegimane kabarnye?? kok belakangan isi blognye, perasaan sedih terus sih?? kalo dulu kan “rokok, makan gratis”… kenape yg sekarang mewek muluuu yeee?? hehehe :D….. Ngemeng2, kok tulisan2 kamu skarang banyak Syaikan isinya?? si Mpok kemanain?? apa kalo udah kawin, istri jadi yg no 2 ya? bener ga sih???? repot nih.. trus kapan keluar yg no 2? cewe dong.. biar jadi sepasang en Syaikan ada temen mainnya 😀
maaf sekali. ku mungkin tidak sensitif, tapi ku punya feeling kalu masrifki ada masalah sama rumahtangganya ya? apalagi belakangan ini ga ada foto bersama istri dan isi jurnalnya tersirat “sepi-sedih-pedih”.. syaikhan yang bikin bertahan..
Kenapa yang dibahas tentang Syaikhan saja?
Umminya koq gak pernah diceritakan?
Pertanyaan di atas itu saya terima dari beberapa kontak MP saya yang ‘terusik’ dengan isi blog saya yang mengalami perubahan cukup drastis karena kisah dan cerita yang tersaji di dalamnya tak lagi sama dengan yang ada sebelum Desember 2010. Mereka yang semula khawatirtakut dikatakan usil, akhirnya memberanikan untuk bertanya langsung kepada saya. Saya menerima pertanyaan tersebut sebagai suatu bentuk perhatian, bukan keusilan, sehingga saya jawab sesuai dengan pertanyaan yang diajukan.
Saya telah berpisah, bercerai dengan istri saya.
*******
Sebenarnya, apa yang saya alami telah saya ceritakan tak lama setelah kejadian di blog ini. Hanya saja tidak dalam kata dan kalimat yang jelas dan gamblang. Melainkan hanya berupa kata dan kalimat samar yang tersusun dalam bait-bait puisi dan alianea-alinea cerita fiksi.
Kapan terjadinya perpisahan itu saya ceritakan dalam puisi Desember Kelabu. Rasa sedih dan duka beberapa waktu sebelum kejadian saya ceritakan dalam Lelaki dan Gerimis.
Salah satu penyebab di antara penyebab lain yang mungkin jumlahnya tak sedikit adalah cara saya mencintai yang tak lagi sesuai harapan. Semuanya tersirat dalam puisi Caraku Mencintaimu dan Cinta Bisu.
Saya mencoba menulis cerita masa lalu untuk mengenang masa-masa perkenalan dulu. Saya berharap ada sebuah perubahan ke arah yang baik dan bisa mempertahankan kebersamaan dan keutuhan keluarga. Saya menulis cerita tersebut di blog, karena awalnya, istri saya pernah mengenal diri saya melalui tulisan-tulisan di blog. Maka, saya buat dan posting tulisan dengan judul dua hati, satu golok, satu clurit, satu cinta bagian pertama dan kedua, serta Jatuh Cinta Atau Membangkitkan Cinta? Sayangnya usaha tersebut tidak mendatangkan hasil, malah menambah keruh suasana.
Sedih? Bohong kalau saya tidak merasakannya. Namun seiring perjalanan waktu, secara perlahan kesedihan itu berkurang, seiring dengan hikmah yang saya temukan di balik perpisahan tersebut. Yang kini masih menempel dan terus akan menempel di pikiran dan hati saya adalah Syaikhan dan kedua orang tua saya. Karena sampai kapan pun, saya akan tetap menjadi anak dari orang tua saya dan ayah dari anak saya, Syaikhan.
Jika ada yang bertanya, apa mungkin masih ada harapan untuk bersama lagi. Puisi saya menjawab : Maaf, Aku Tak Bisa. Itu adalah jawaban hati saya. Sedangkan secara agama, talak yang sudah saya jatuhkan sudah sampai tingkat thalaq ba’in, yaitu thalaq yang tak bisa menikah dan bersama sebagai suami istri tanpa adanya kehadiran seorang muhallil. Persis dengan yang tergambar dalam adegan sinetron yang saya saksikan semalam. Entah kenapa, adegan di sinetron tersebut rada mirip dengan yang saya alami.
Mungkin inilah episode kehidupan yang harus saya jalani. Pelajaran mahal dengan mahar besar yang harus saya bayar. Mudah-mudahan saya bisa menjalani dan melaluinya dengan baik tanpa perlu lagi mengeluh atau berputus asa. Teh show must go on. Ada bakti kepada orang tua yang masih harus saya lakukan. Ada Syaikhan yang harus saya didik bersama dengan mantan istri supaya kelak menjadi anak yang sholeh tanpa perlu terganggu dengan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Abi dan umminya masih ada, hanya saja keduanya sudah berpisah.
Wallahul musta’an.
Tulisan Terkait Lainnya :
- Teman Perjalanan
- Semua Akan Pindah Pada Waktunya
- Tiga Kota
- Tiga Orang Anak yang Bersalaman Selepas Shalat
- Wejangan Ayah
- Sepenggal Cerita Pemberian ASI Eksklusif Untuk Sabiq
- Gara-gara Es Goyang
- Selaksa Aksara Untuk Istri Tercinta
- Ketika Anak dan Ayah Bercerita Tentang Lebaran yang Seru
- Silaturahmi : Ketika Niat Saja Berbuah Berkah
106 respons untuk ‘Karir Yang Bubar, Bersama Romantisme Yang Pudar’