“Bagaimana menurutmu?” Tanyaku kepada perempuan di hadapanku.
Dia tertunduk. Diam. Kedua tangannya memain-mainkan selembar kertas yang kuberikan kepadanya sekitar seminggu yang lalu, berisi perkenalan singkat tentang siapa dan bagaimana diriku, tentang apa yang kusukai dan apa yang tidak kusukai. Mungkin belum semuanya, tetapi kupikir cukup mewakili untuk sebuah permulaan.
“Apakah kau menerimaku?” Kembali kumengajukan pertanyaan sambil berharap dirinya segera memberikan jawaban.
Perempuan itu meletakkan kertas ke atas meja dengan perlahan, kemudian mengangkat wajahnya. Dia menatapku.
“Setelah membaca apa yang kau tulis tentang dirimu, hanya satu hal yang menjadi kekhawatiranku…” kalimat perempuan itu terputus.
Keheningan terjadi di antara kami, menjadikan suara serangga malam seperti saling berteriak satu sama lain.
“Dan aku memutuskan, untuk tidak menerima,” sambungnya kemudian.
Jawabannya telah kuterima, meski sebenarnya bukan jawaban yang kuharapkan. Tapi aku tidak bisa memaksa.
“Memangnya, apa yang membuatmu khawatir sehingga tidak mau menjadi pendamping hidupku?” Kuajukan pertanyaan untuk mencari tahu.
“Aku khawatir, rasa cinta dan kasih sayangmu di masa sebelumnya akan membawamu kembali kepada mantanmu,” jawab perempuan itu tanpa berani menatapku.
“Tapi…” Kalimatku terputus.
Kurasakan ada sesuatu yang menghalangi kata-kata selanjutnya keluar dari mulutku.
“Meksi bukan jawaban yang kuharapkan tapi kuterima jawaban itu,” Kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
Aku bepikir, jawaban itu adalah jawaban atas keraguan perempuan di hadapanku. Bukankah jika ragu-ragu, lebih baik ditinggalkan. Itulah pilihannya. Jawaban pertama itulah yang juga kujadikan pegangan. Meski sebenarnya, dirinya tidak mengetahui bahwa mantanku telah meninggal dunia. Jadi tak mungkin aku akan kembali kepadanya.
hooo menarik, tapi lelaki terkadang sering menyepelekan sesuatu dan berdalih “perempuan terlalu sensitif”, kejadiannya membuat lelaki sering hanyut dan gak sadar kalau yg tadinya jurang malah dipersempit, begitu gak ya? :D, jadi ngelantur
ya, mungkin saja. saya terkadang berpikir, kalau hal itu nggak penting, ya nggak usah dipikirin… yang bisa jadi, hal tersebut sangat penting bagi orang lain.rasanya akan sangat sulit untuk mempersempit jurang…. bagi saya pribadi yah 🙂
*salah klik* T_T *jd berat loading*——*pukpukoow yg kmaren ditolak to mas’esabar… cari lagi…
mantan tu ga bs disepelekan, bisa jd bumerang..wajar si mba jd khawatir…lhah mbokya dikasih tau mba’nya kalau sang mantan uda tiada*tinggal baca aja maksa :p
yg mana?cerita ini mah terpisah-pisah dalam setiap serinya… dan fiksi 🙂
jadi nggak salah jika perempuan itu merasa khawatir.dalam cerita, jawaban pertama si perempuan yg dipegang oleh si lelaki, krn itu jawaban murni… belum ada masukan atau hal-hal lain yg mempengaruhi
fiksi apa fiksi :pbntar lg ada buku baru serial lelaki nih
niatnya, mbak.cuma kalau isinya kaya di cerita ini dan cerita yg lain…. terlalu singkat… terlalu pendek… jadi pengen diperluas alur ceritanya… cuma mentok…
kalau seorang laki2 dah brani melamar harusnya masalah mantan ga usah dipikirkan lagi ya. tapi balik lagi ke alasan klise ‘ belum jodoh ‘ kali…..
intinya memang “belum jodoh” cuma di bagian mana “belum jodoh” itu… di cerita di atas…. ya… kekhawatiran si perempuan
Yang lalu, biarlah berlalu…