Saya mendengar suara panggilan tesebut dari arah belakang. Rupanya berasal dari seorang perempuan yang mengenakan rok panjang berwarna hitam dengan blouse yang sepertinya bermotif bung-bunga berwarna pink. Untuk motif dan warna blousenya saya tidak yakin. Tapi kulit wajahnya yang putih mengingatkan saya kepada seorang mantan rekan kerja saya yang berasal dari Ranah Minang ini, tempat di mana saya bertugas selama beberapa hari ke depan.
Buya. Kata itu mengingatkan saya kepada panggilan salah seorang guru ketika saya duduk di bangku sekolah dasar. Pak Wahyu adalah nama beliau, namun sering dipanggil juga dengan sebutan “Buya” seperti apa yang baru saja saya dengar sesaat sebelum tiba di musholla hotel tempat saya menginap.
“Mas mau shalat?” Tanya perempuan tersebut.
“Iyah,” jawab saya sambil meletakkan sendal di atas rak yang tersedia di luar musholla.
“Kok tadi dipanggil Buya diam aja?” Tanyanya lagi.
“Memangnya Buya itu apa?” Tanya saya balik.
“Semacam ustadz,” jawabnya.
“Karena saya bukan ustadz,” jelas saya sambil tersenyum untuk kemudian melangkah ke tempat wudhu.
Selesai berwudhu, saya menuju mushalla dan bertemu kembali dengan perempuan tersebut. Perempuan tersebut kemudian meminta saya menjadi imam shalat isya, hal yang sama juga dilakukannya pada saat shalat maghrib sebelumnya.
Jadi……..?????
Kok gampang banget jadi ustadz yah? Baru sekali jadi imam karena ‘terpaksa’, langsung dapat sebutan ustadz. Begitukah?
silahkan…
fiuuhh…untung bukan Bu*ya….xixixixi….
iyah π
Buya RIfki …mungkin auranya…macam Buya..yang teduh …dan siap mengimami…
doa yang baik… sama aminkan saja π
eyyaaaa.. buya.. uhuuypak ustadz qeqeqe
kayanya salah lihat kali yah… xixixixixixi