Duren VS Duren

Senin, 9 Juli 2012

“Ganti Nan Lamo,” adalah tempat yang saya kunjungi untuk makan siang pertama kali setelah tiba di Kota Padang. Es durian adalah menu yang dipilihkan untuk semua anggota tim yang ikut saat itu. Lapisan durian yang cukup tebal menjadi lapisan paling atas yang menutupi es di bagian bawah. Sedikit susu kental manis berwarna coklat menjadi penghiasnya. Setelah diaduk, barulah saya nikmati bagaimana rasanya es durian tersebut.

Sebagai menu pendamping, saya dan tim memesan sate padang yang entah di mana penjualnya. Yang jelas, tulisan sate padang tertera di salah satu halaman buku menu di tempat itu. Seorang teman menjelaskan bahwa ada kerjasama antar pedagang di lokasi itu. Menu-menu yang ada di daftar tapi tidak ada di tempat tersebut akan dibelikan oleh penjaga warung dari pedagang lain yang berdagang di lokasi yang sama. Strategi yang oke punya, pikir saya. Se-oke rasa dua jenis makanan tersebut.

Pulang dari “Ganti Nan Lamo,” kami melewati Jembatan Siti Nurbaya. Sepi. Tidak ada kegiatan apa pun di jembatan tersebut. Akhirnya, di malam harinya kami kembali ke tempat tersebut dan mendapati suasana yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kondisi siangnya.

Di kedua sisi jembatan yang mungkin memang sudah dirancang sedemikian rupa sudah berbaris rapi bangku-bangku plastik dengan beberapa meja. Bangku-bangku dan meja tersebut adalah milik dari para pedagang yang menjual jagung dan pisang bakar. Masing-masing pedagang punya area tersendiri yang dipisahkan dengan sebatang kayu yang dipasang melintang. Kami pun memesan jagung bakar, pisang bakar, dan teh botol.

Setelah selesai, kami membayar sembilan puluh ribu rupiah untuk pesanan tujuh orang. Jika saya tidak salah ingat, pesanan tersebut terdiri dari empat jagung bakar, tiga pisang bakar, dan tujuh teh botol. Teman saya ada yang pusing dari mana angka tersebut di dapat dan merasa kena ‘tembak’ harga.


Selasa, 10 Juli 2012

Malam hari kami pergi ke tempat penjual durian. Entah daerah apa namanya, saya lupa. Harga satu buahnya mungkin sekitar 20-25 ribu, karena bukan saya yang menawar. Rasanya manis, karena memang yang manis yang kami minta kepada pedagangnya. Buahnya pun cukup besar. Puaslah saya makan durian malam itu, sekaligus mengobati kekecewaan ketika tidak bisa menikmati durian ketika berada di Medan beberapa waktu yang lalu.


Kamis, 12 Juli 2012

Kami berangkat dari hotel sekitar pukul sepuluh kurang. Tujuan kami adalah Jam Gadang dan Ngarai Sianok di Bukittinggi. Sesaat sebelum waktu Zhuhur, kami tiba di Warung Sate Mak Sukur di Padang Panjang untuk makan siang. Menunya adalah sate padang.

Meski namanya sama-sama sate padang, tetapi penampilan dan rasanya agak sedikit berbeda dengan sate padang yang saya makan sebelumnya di hari senin sebelumnya. Warna bumbunya kekuningan. Rasanya lebih terasa hangat, mungkin banyak menggunakan lada. Tetapi ada rasa lain yang tidak saya rasakan ketika menikmati sate padang sebelumnya. Sayangnya saya tidak bisa mendefinisikan rasa itu sebagai rasa apa. Bingung sendiri.

Setelah menikmati sate padang Mak Sukur, kami melanjutkan perjalanan. Di dalam mobil, saya mendapat penjelasan dari Pak Sopir yang memang asli Padang, bahwa ada tiga tipe sate padang dengan ciri khas masing-masing. Sate Pariaman yang bumbunya kemerahan, Sate Padang yang bumbunya kecoklatan, dan Sate Padang Panjang dengan bumbunya yang berwarna kekuningan.

Sebenarnya, ada satu menu lagi yang ingin dinikmati oleh salah seorang teman satu tim, yaitu itiak lado mudo di Ngarai Sianok. Tapi sayang, ketika kami tiba di lokasi sekitar pukul dua lewat, itiknya sudah habis.

Yang mau lihat penampakan wisata kuliner dari cerita di atas bisa klik album Padang : Wiskul.

51 respons untuk ‘Duren VS Duren

Tinggalkan jejak anda di sini....

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s