Rabel

ilustrasi dari sini.

8 Desember 2012

Menjelang sore, alunan musik masih terdengar dari dua buah pengeras suara yang terpasang di sisi belakang dan kanan tenda yang berbatasan langsung dengan jalan. Hari itu, adalah hari yang paling bahagia bagi adik saya yang sedang melangsungkan resepsi pernikahannya. Terlihat para tamu beriringan menuju pelaminan untuk memberi ucapan selamat kepada kedua mempelai. Sementara tamu lainnya terlihat duduk sambil menikmati sajian yang tersedia.

Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat langsung ke arah pelaminan. Pandangan mata saya lurus ke arah bunga-bunga yang menghias pelaminan tersebut. Indah. Saya tidak melihat bagaimana bunga-bunga itu bisa tersusun sedemikian rupa, tapi saya tahu dari mana bunga-bunga beserta hiasan lainnya itu berasal.

27 November 2012

Pasar Bunga Rawa Belong. Dari tempat inilah bunga-bunga yang menghiasi pelaminan pernikahan adik-adik saya bahkan pernikahan saya beberapa tahun yang lalu berasal. Lokasinya berada di Jalan Sulaiman, Sukabumi Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Entah kapan terakhir kali saya mengunjungi tempat ini. Setelah melihat kondisi Pasar Rawa Belong sekarang, satu hal yang saya yakini, tempat ini sudah mengalami banyak perubahan.

Sekilas saya melihat beberapa kios bunga masih buka dan ada beberapa aktifitas di sana, meski hari sudah menunjukkan pukul dua puluh satu malam lewat sekian menit. Mungkin aktifitas di Pasar Bunga Rawa Belong tak pernah berhenti. Akan ada penjual dan pembeli yang datang untuk bertemu dan bertransaksi di sini. Jika Anda ingin mendapatkan bunga segar dari para petani yang berasal dari Sukabumi dan Bandung, maka datanglah sekitar pukul empat pagi. Jika Anda ingin mendapatkan bunga segar yang berasal dari Sumatera, berkunjunglah di sore hari menjelang malam.

Yang menjadi perhatian saya malam itu ketika melewati Pasar Bunga Rawa Belong adalah bangunannya. Pertama kali saya datang ke tempat ini, areal pasar hanya berada di salah satu sisi jalan. Para pedagang kebanyakan menggelar dagangan mereka dengan menggelar terpal sebagai alas. Tak banyak kios yang tersedia. Jalan di dalamnya juga masih tanah dan becek jika hujan. Sementara di seberang jalan yang berhadapan langsung dengan areal pasar masih berupa rawa lengkap dengan tanaman eceng gondoknya.

Malam itu, ketika pandangan mata saya mengarah ke lokasi bangunan Pasar Rawa Belong, tak terlihat jalan yang becek. Di depan bangunan tersebut, di seberang jalan, tak terlihat lagi rawa yang dipenuhi dengan tanaman eceng gondok. Yang ada hanyalah dua buah bangunan berdiri gagah di kedua sisi jalan. Kedua bangunan itu dihubungkan dengan sebuah bangunan yang mungkin berfungsi sebagai jembatan atau penghubung antara kedua bangunan tersebut. Jika melihat penampakkannya, saya jadi membandingkan bangunan tersebut dengan Pondok Indah Mall di mana kedua bangunan yang dipisahkan oleh Jalan Pondok Indah dihubungkan dengan sebuah bangunan lain yang berfungsi jembatan. Saya juga membandingkan bangunan Pasar Rawa Belong tersebut dengan Pasar Cipulir yang memiliki jembatan penghubung di antara kedua bangunannya yang dipisahkan oleh jalan.

Sungguh, sebuah perubahan yang luar biasa. Sepertinya, saya terlambat untuk mengetahui perubahan tempat yang keberadaannya memiliki peran yang sangat berarti dalam kehidupan saya, meski tidak secara langsung.

13 Februari 2011

Kemacetan sepertinya tidak akan berakhir dalam waktu beberapa menit ke depan. Jika saya tetap di dalam angkot, bisa jadi setengah jam lagi atau lebih saya baru tiba di perempatan Rawa Belong. Saya keluarkan kepala melalui pintu angkot untuk melihat berapa panjang antrian mobil yang terjadi dan memperkirakan berapa jarak yang harus ditempuh. Tak perlu waktu lama, akhirnya saya putuskan untuk turun dari angkot dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju pertigaan di depan.

Bukan saja mobil dan motor yang harus merasakan kemacetan, para pejalan kaki pun terkena imbasnya. Semua akibat jalan yang tidak terlalu lebar dan dipenuhi kendaraan bermotor yang tidak mau mengalah dan ditambah lagi dengan kondisi trotoar yang digunakan sebagai tempat memajang dagangan di beberapa bagian. Saya pun harus berhenti beberapa saat menunggu sepeda motor di depan melaju kembali.

Di sepanjang jalan yang saya lalui, para pedagang bunga di Rawa Belong mulai memajang dagangannya yang beraroma valentine, apalagi kalau bukan kuntum-kuntum mawar dengan aneka warna dan dibungkus dengan plastik yang sangat rapi. Kondisi ini terjadi di Jalan Rawa Belong, entah bagaimana kondisi yang terjadi di Pasar Bunga Rawa Belong.

Ya! Suasana Valentine’s Day mulai terasa sejak beberapa hari lalu. Mungkin suasana hari kasih sayang inilah yang menjadikan para pedagang bunga untuk ikut memeriahkannya dengan menjual bunga mawar sebagai salah satu ciri khas Valentine’s Day.

Sekuntum mawar merah atau putih itu telah dikemas sedemikian rupa dengan plastik bening. Beberapa pengendara motor sedang melakukan transaksi dengan para penjualnya untuk membeli kuntum mawar tersebut. Di beberapa kios atau lapak yang tak jauh dari pedagang bunga mawar itu, terdapat juga kios atau lapak yang menjual boneka-boneka dan aksesoris lain yang bernuansa pink.

Suatu pagi di awal tahun 1990-an

Selepas shubuh, ibu saya sudah menyiapkan beberapa lontong dan ketan urap beserta sambal kacang di atas sebuah tampah dari bambu. Tak lupa, di sampingnya ibu meletakkan sebuah ketel berisi air putih dan sebuah gelas yang ditelungkupkan di corong ketel. Semuanya ibu persiapkan untuk saya bawa ke Pasar Rawa Belong bersama ayah.

Setiap paginya, selepas shubuh, ayah dengan kendaraan dinasnya berupa sebuah sepeda ontel tua berangkat menuju Pasar Bunga Rawa Belong. Di sana beliau akan membeli bunga yang akan dijadikan barang dagangan. Ayah saya bukan membeli bunga hiasan seperti Anggrek, Mawar, Melati, Kamboja, Sedap Malam, Gladiul, Krisan, Aster, ataupun Carnation. Ayah saya hanya membeli bunga campuran yang terdiri dari Pihong, Cempaka, dan irisan daun pandan. Ayah saya menyebutnya sebagai kembang campuran yang digunakan orang dalam kegiatan nyekar di makam.

Setelah membeli kembang campuran tersebut di Rawa Belong, ayah akan membawanya ke beberapa tempat seperti di Blok A dan Pondok Labu. Perjalanan yang cukup jauh itu ayah saya tempuh dengan menggunakan sepeda.

Pernah di suatu siang, saya berada di sebuah angkutan umum dalam perjalanan pulang dari sekolah, saya melihat ayah bersepeda. Di bawah siraman teriknya maratahari beliau mengayuh sepedanya untuk mengantarkan barang dagangannya. Tak bisa saya membayangkan betapa letihnya beliau menyusuri jalanan dari tempat membeli barang dagangan ke tempat para pelanggannya yang jaraknya cukup jauh. Tak bisa saya lukiskan peluh yang keluar dari tubuh beliau setiap harinya demi kewajiban mencari nafkah untuk keluarga. Sementara saya, sedang enak-enakan di dalam angkot dengan ongkos yang beliau berikan setiap hari.

Kembali ke pagi itu. Saya mencoba membantu ayah dan ibu untuk menambah pemasukan keluarga. Pagi itu saya akan membawa dagangan yang biasa ibu jajakan di depan rumah ke Pasar Bunga Rawa Belong. Saya mencoba peruntungan di sana.

Pagi itu saya berangkat dengan penuh harapan bahwa lontong dan ketan urap yang saya bawa akan habis laku terjual. Dalam bayangan saya, pastinya para penjual dan pembeli bunga di Pasar Bunga Rawa Belong akan menyerbu lontong dan ketan urap yang saya bawa.

Saya berangkat dengan menggunakan angkot Mikrolet M-45 yang langsung membawa saya ke daerah Rawa Belong. Turun dari M-45, saya berjalan beberapa puluh meter untuk tiba di lokasi. Di sana, ayah saya sudah menunggu.

Ayah kemudian mengajak saya masuk ke dalam pasar untuk mencari lokasi yang tepat untuk menggelar dagangan. Entah malam harinya hujan atau tidak, yang pasti, jalan di dalam pasar yang saya lalui pagi itu becek. Ada beberapa genangan air yang terlihat. Saya pun harus hati-hati dalam melangkah agar tidak jatuh terpeleset.

Setelah menemukan lokasi yang dirasa pas, ayah meminta saya untuk meletakkan tampah berisi lontong dan ketan urap. Lalu saya menunggui daganganku sementara ayah mulai sibuk mencari pedagang kembang campuran untuk dibeli dan kemudian dibawa ke Blok A dan Pondok Labu untuk dijual kembali.

Setelah beberapa lama menunggu, belum ada satu pedagang atau pembeli bunga di Pasar Bunga Rawa Belong yang membeli lontong dan ketan urap. Saya tetap menunggu.

Tak lama kemudian, saya mendengar suara seorang ibu. “Lontong! Lontong! Ketan! Ketan!”

Rupanya saya tidak sendiri, ada penjual lontong dan ketan urap yang mencoba mengais rejeki di Pasar Bung Rawa Belong ini, pikir saya. Saya memperhatikan ibu itu. Ia berjalan sambil membawa dagangannya di atas kepala. Satu per satu pedagang yang sedang menunggui barang dagangannya dihampiri. Kalimat tawaran pun diucapkan olehnya. Selanjutnya, Ibu itu menurunkan tampah dari atas kepalanya, transaksi pun terjadi. Ibu itu memasukkan beberapa lontong ke dalam kantong plastik hitam kepada salah seorang pedagang. Pedagang itu pun memberikan selembar uang kertas sebagai alat tukarnya.

Saya melihat apa yang ibu itu lakukan dari tempat saya. Ia berpindah dari satu pedagang ke pedagang lainnya sambil menawarkan dagangannya. Hingga akhirnya, ia melewati tempat dagangan saya. Ia pun terus berteriak dan menawarkan dagangannya. Sementara saya, hanya terdiam. Tak tahu apa yang harus saya lakukan selain diam di tempat dan menunggu.

Pagi mulai beranjak siang. Saya hanya mampu menjual beberapa lontong dan ketan urap. Itu pun dengan harga yang lebih murah dari yang ibu pesankan kepada saya. Saya tak sanggup menolak atau mencegah ketika ada pedagang yang menawar atau bahkan langung mengambil beberapa lontong sambil membayar dengan sejumlah uang yang sebenarnya kurang daripada yang seharusnya.

Akhirnya saya pun pulang dengan membawa sebagian besar lontong dan ketan urap yang tidak laku terjual. Sementara ayah saya sudah berangkat menuju Blok A atau Pondok Labu beberapa waktu sebelumnya. Ada kecewa di hati saya dengan apa yang terjadi. Mungkin kecewa itu juga yang akan dirasakan oleh ibu ketika melihat saya pulang dengan lontong dan ketan urap yang masih banyak tersisa di dalam tampah.

Hari itu saya gagal. Hari itu, pertama dan terakhir kali saya membawa lontong dan ketan urap ke Pasar Bunga Rawa Belong. Sepertinya, saya tidak mewarisi darah pedagang yang dimiliki oleh kedua orang tua saya. Ayah dan Ibu saya tetap berdagang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga serta membiayai sekolah untuk saya dan adik-adik.

Hingga kini, meski tidak setiap hari, ayah saya masih berjualan kembang campuran. Beliau masih membelinya dari pedagang di Pasar Bunga Rawa Belong dan kemudian mengantarkannya kepada para pelanggan di daerah Pondok Labu.

Saya tak pernah bersentuhan langsung dengan Pasar Bunga Rawa Belong. Tapi, keberadannya begitu berarti bagi kehidupan keluarga saya dan mungkin ratusan atau mungkin ribuan keluarga yang mengais rezeki di Pasar Bunga Rawa Belong, baik langsung maupun tidak langsung.

Kini, Pasar Bunga Rawa Belong yang konon erat hubungannya dengan tokoh silat Betawi, Si Pitung, tak hanya menjadi pusat perdagangan bunga, tapi juga bisa menjadi sebuah obyek wisata.

29 respons untuk ‘Rabel

  1. RY Januari 2, 2013 / 14:18

    Aku juga suka lewat Rawa Belong kalau mau ke rumah sodara di jalan Masjid Al-Anwar …..

    • jampang Januari 2, 2013 / 14:47

      iyakah…. dulu rumah saya di jalan masjid Al-anwar mbak. beberapa rumah dari masjidnya

      • RY Januari 2, 2013 / 14:57

        Rumah sodaraku deket pabrik batik berdikari ….

      • jampang Januari 2, 2013 / 15:05

        ooo…. ujung ke ujung kalau begitu. tapi masih satu jalan.

      • RY Januari 2, 2013 / 16:29

        Oia yah, soalnya dari jalan raya termasuk deket. Tinggal jalan kaki ajah 🙂

      • jampang Januari 3, 2013 / 09:09

        kabarin kalau ke situ lagi…. 😀

      • RY Januari 3, 2013 / 17:42

        Insyaallah 🙂

      • jampang Januari 4, 2013 / 07:50

        sekalian beli buku saya 😀

        *ujung2nya jualan*

      • RY Januari 4, 2013 / 16:14

        Tunggu ajah, saya pasti beli …

        *sok pengen ngasih surprise :p

      • jampang Januari 4, 2013 / 21:19

        ditunggu deh 😛

      • RY Januari 6, 2013 / 11:17

        Hehehehhe

        *kasih senyum 3 jari

      • jampang Januari 6, 2013 / 14:01

        OK!

      • jampang Januari 4, 2013 / 07:50

        sekalian beli buku saya…. 😀

        *ujung2nya jualan*

      • jampang Januari 2, 2013 / 19:27

        kalau perusahaan batiknya memang deket dari jalan raya. tapi kalau masjid al-anwarnya lumayan jauh 😀

  2. nfiet Januari 3, 2013 / 10:39

    Rawa Belong.. Kenangan indah ada disini walau cuma beberapa menit.. Kapan ya bisa kesini laagi.

    • jampang Januari 3, 2013 / 10:41

      silahkan berkunjung kalau ke jakarta lagi

  3. nfiet Januari 3, 2013 / 10:41

    Salut buat Ibu dan Bapak.. Salam baktos ya.. Semoga beliau berdua tetap sehat dan wal afiat dan tercapai segala cita2nya. Aamiin YRA

    • jampang Januari 3, 2013 / 13:54

      aamiin ya rabbal a’alamiin

    • jampang Januari 3, 2013 / 13:55

      aamiin ya rabbal ‘alamiin

  4. matahari_terbit Januari 13, 2013 / 15:11

    owalaaah.. rawa belong jadi rabel.. *tadi mikir rabel ntu istilah apaan.. haha

    • jampang Januari 14, 2013 / 08:02

      berhasil bikin orang bertanya-tanya kan…. xixixixixixi

  5. ibuseno Mei 26, 2013 / 19:24

    ternyata bakat dagang tidak di wariskan langsung begitu saja mas, jenisnya berbeda. kan Mas Rifky skrng juga dagang, dagang buku karya sendiri… 🙂

    • jampang Mei 27, 2013 / 08:01

      😀 iya teh.
      kalau jualan buku, mungkin masih separuh hati, jadi hasilnya kurang maksimal

  6. fawwaz September 22, 2013 / 19:52

    salam kenal dari Lurah Sukabumi Utara (Muhammad Ali)

    • jampang September 22, 2013 / 19:58

      Salam kenal juga pak 🙂
      Terima kasih sudah berkunjung

Tinggalkan jejak anda di sini....

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s