Palangkaraya
Jatuh cinta pertama kali, katanya begitu indah rasanya. Hari-hari menjadi penuh warna. Bayang-bayang wajah sang kekasih selalu hadir di pelupuk mata. Kebaikannya selalu hadir, sementara kekurangan yang dimiliki diabaikan dan dianggap tak ada. Bahkan ada yang beranggapan bahwa cinta pertama itu tidak akan mati dan akan terkenang terus sepanjang masa.
Mendapatkan gaji untuk kali pertama setelah sebulan atau seminggu bekerja, bukan main terasa indahnya. Melihat saldo rekening bertambah dengan jumlah yang tidak seperti biasanya, rasanya luar biasa. Ada niatan untuk memberikan hadiah kepada orang-orang tercinta. Ada pula untuk mengajak orang-orang terdekat untuk makan bersama. Barang atau benda yang dibeli dengan gaji pertama pun masih tersimpan sebagai saksi dalam peristiwa luar biasa.
Namun tidak semuanya yang pertama kali itu indah, meski tak layak untuk dikatakan buruk juga, seperti apa yang saya alami di hari pertama menjejakkan kaki di bumi Borneo kali ini, tepatnya di Kota Palangkaraya.
Awalnya, proses pekerjaan berupa instalalasi server baru di kantor Palangkaraya berjalan lancar. Server pertama tidak ada masalah. Barulah di server kedua terjadi kendala sehingga saya harus berkonsultasi dengan rekan yang lebih berpengalaman yang juga melakukan tugas yang sama di kota lain. Dengan bantuan beliau, akhirnya proses bisa dilanjutkan hingga tahap akhir dan selesai.
Saya dan seorang rekan tidak berlama-lama di Palangkaraya. Senin siang tiba di Palangkaraya, lalu menyelesaikan pekerjaan hingga malam hari. Keesokan harinya, tepat tengah hari, kami berangkat menuju kota berikutnya, Sampit, dengan menggunakan travel yang memakan waktu perjalanan sekitar lima setengah jam.
Sampit
Menjelang maghrib, kami tiba di kantor kedua. Sambutan hangat dari tuan rumah dengan menyediakan makan malam dan minum sangat membantu kami dalam menyelesaikan pekerjaan. Tak ada masalah dalam penyelesaian pekerjaan di kantor ini meski dibayang-bayangi dengan padamnya listrik beberapa kali. Kendala ini teratasi karena kantor di Sampit memiliki generator listrik sehingga tidak membuat pekerjaan kami tertunda.
Untuk memulihkan tenaga, akhirnya kami memutuskan menginap dua malam (selasa – rabu) di Sampit. Rabu sore kami sempat berkeliling kota Sampit dan melihat pelabuhan di Sungai Mentaya. Malam harinya kami sempatkan untuk makan malam di rumah makan Kampung Oelin di pinggir Sungai Mentaya.
Kamis pagi, kami berangkat menuju Pangkalanbun.
Pangkalanbun
Perjalanan dari Sampit ke Pangkalanbun kami tempuh dengan perjalanan darat dengan menggunakan travle juga selama kurang lebih empat jam.
Selama perjalanan, saya menemukan pemandangan yang tak biasa. Setidaknya menurut saya pribadi. Saya menemukan beberapa pedagang eceran bahan bakar yang menjual tepat di depan SPBU dengan memasang harga hampir dua kali lipat dari harga normal, sekitar Rp. 8.000.
Ketika pertama kali melihat pemandangan tersebut, terlintas di dalam pikiran saya, para pedagang tersebut tidak bisa menjual dagangannya jika menjualnya di depan pedagang lain yang lebih besar dan menjual dengan harga yang lebih murah. Tak ada seorang pun yang akan membeli kepada para pengecer tersebut.
Ternyata saya salah besar!
Di SPBU selanjutnya saya menemukan pemandangan lain yang juga tak lazim. Basrisan sepeda motor dan mobil mengular panjang di depan SPBU. Nyatanya, pemandangan serperti ini sudah lazim di sini. Saya saja yang kurang gaul.
Di situlah rezeki para pengecer bahan bakar. Bagi pengendara yang tidak mau lama-lama mengantri atau sedang dikejar waktu, sepertinya akan memilih membeli bahan bakar di pengecer meski harganya lebih mahal. Contohnya adalah sopir travel yang saya tumpangi. Dalam perjalanan Sampit – Pangkalanbun, setidaknya dua kali pak sopir membeli bahan bakar di pengecer.
Tepat tengah hari kami tiba di kantor ketiga. Selepas shalat, kami langsung makan siang dengan diantar rekan dengan mobil kantor karena tak ada angkot di Pangkalanbun.
Kembali dari makan siang, kami memulai pekerjaan seperti yang dilakukan di dua kantor sebelumnya. Ternyata, ada beberapa kendala yang terjadi di pekerjaan kali ini yang tidak ditemukan di dua kantor sebelumnya. Akibatnya, waktu pekerjaan menjadi molor. Menjelang tengah malam barulah pekerjaan bisa diselesaikan meski belum sempurna. Keesokan paginya baru kami lanjutkan hingga selesai seratus persen.
Karena Pangkalanbun adalah kota terakhir dari perjalanan tugas kali ini dan memiliki bandara dengan pesawat yang bisa langsung membawa saya dan rekan ke Jakarta, kami pun tinggal lebih lama sehingga bisa jalan-jalan menikmati suasana malam dan mendatangi Pantai Kubu.
Foto-foto lengkapnya bisa dilihat di sini.
Pertamax buat space iklan 😀
yang berminat silahkan kontak melalui komentar, email, atau FB
Wuaaah.. Trik dagang baru nih, jualan bensin dpn pom bensin. Promo pertamax idenya dari ini ya Bang. Xixixi
namanya usaha menjemput rezeki…
ya gitu deh mas di borneo, ke spbu musti antreee… *curcol #eh
iya…. saya baru ngeliat sendiri, mas.
wooooohhh.. miris yah
begitulah…..
belum pernah ke Sampit, belum pernah ke Pangkalan Bun, belum pernah ke Palangkaraya….wah ternyata banyak juga yang belum pernah dikunjungi ya. Semoga suatu saat nanti Allah mudahkan. Tapi bensin 8000 masih lumayan karena di Wamena 25000 (tulisan menyusul)
iya bu. di sana lebih mahal. makanya kalau pegawai, di sana dapat tunjangan kemahalan
sampit daerah tegang dan keras ya
menurut saya seh nggak juga
sampit kota sering kerusuhan ya
waktu ke sana seh aman