Saya awali tulisan kali ini dengan dua buah komentar –yang sudah saya edit– yang menanggapi status yang saya pasang di FB pada hari sabtu kemarin.
“Voucher sebuah hotel berbintang di Bali sudah di tangan. Tanggal sudah ditentukan. Tinggal mencocokkan tiket pesawat dengan hotelnya saja. Tapi terpaksa dibatalkan karena jadwal suami padat dan tidak bisa ditinggalkan.”
“Hampir serupa tapi beda kasus. Saya dapat voucher tiket pesawat boeing Mandala terbaru Jakarta-Bali PP. Tetapi keadaan nggak memungkinkan. Padahal tiket itu tak boleh dijual, dipindahtangankan, atau
pun diuangkan. Jadi, hangus deh!”
Begitulah yang namanya belum rezeki. Tahu goreng yang sudah di tangan dan tinggal masuk ke dalam mulut, bisa jadi belum menjadi rezeki kita manakala ada seseorang tanpa sengaja menyenggol tangan kita dan mengakibatkan tahu itu jatuh ke tanah dan terinjak.
Dan beginilah cerita tentang rezeki yang belum menjadi milik saya….
*********
Sabtu siang, telepon di rumah berdering. Ibu saya mengangkatnya. Beberapa detik kemudian ibu saya memberikan telepon itu kepada saya.
“Dari siapa?” Tanya saya sesaat sebelum menerima pesawat telepon.
“Nggak tahu. Katanya bisa bicara dengan Pak Rifki.” Jawab ibu saya.
Saya agak curiga dengan si penelpon. Saya hampir tidak pernah memberikan telepon rumah sejak memiliki handphone kecuali memang saya harus memberikannya seperti ketika mengisi sebuah form untuk suatu keperluan yang mengharuskan saya mengisi nomor handphone dan nomor telepon rumah.
Setelah memastikan bahwa saya adalah orang yang dimaksud, si penelpon kemudian memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan perusahaan tempatnya bekerja. Si penelpon kemudian mengabarkan bahwa saya akan diundang untuk menghadiri acara launching hotel/villa yang akan dilaksanakan pada tanggal 24 dan 26 Maret di Sarinah.
Sebenarnya, saya ingin langsung menolak tawaran tersebut. Saya tak terlalu tertarik dengan penawaran dengan cara seperti itu. Ada rasa khawatir juga kalau-kalau di awal dikatakan tidak ada biaya, tapi di proses berikutnya tidak demikian. Tapi saat itu saya belum menemukan alasan untuk menolak. Saya pun mendengarkan penjelasan si penelpon lebih lanjut.
Di acara tersebut, menurut si penelpon, tidak ada dana yang harus dikeluarkan oleh para undangan. Para undangan hanya cukup hadir dan menyaksikan presentasi tentang hotel/villa baru tersebut.
Di akhir acara, para undangan akan diberikan voucher menginap selama tiga hari dua malam. Untuk lokasi, bebas memilih antara Bandung, Anyer, atau Bali. Untuk waktu, juga bebas memilih selama bukan di akhir pekan atau hari libur. Pemilik voucher dibebaskan untuk memanfaatkan fasilitas hotel/villa yang katanya setara dengan hotel berbintang lima secara gratis.
Tujuan pemberian voucher tersebut, menurut si penelpon, adalah untuk promosi. Para undangan yang menginap diharapkan nantinya akan memberikan informasi kepada teman dan rekan kerjanya tentang hotel/villa tersebut.
Seandainya saya tak perlu datang dan voucher itu langsung diberikan, mungkin saya dengan senang hati akan menerimanya dan memanfaatkannya entah kapan. Saya mencoba memberikan alasan untuk tidak bisa datang, tapi si penelpon tetap sedikit memaksa.
Selama saya mendengarkan apa yabg dijelaskan si penelpon, saya bertanya-tanya terus, kira-kira dari mana si penelpon mendapat nomor rumah.
“Acaranya sebentar kok, Pak. Cuma sembilan puluh menit. Bapak cukup datang bersama istri untuk verifikasi data dengan membawa KTP dan tanda tangan suami-istri,” ucap si penelpon.
Dan saya pun menemukan alasan untuk menolak undangan tersebut.
“Harus suami-istri?” Tanya saya.
“Iya, Pak. Untuk voucher kami perlu validasi data suami-istri. Tetapi untuk penggunaan voucher tidak harus suami-istri. Bisa dengan teman atau sahabat.” Jawab si penelpon.
“Kalau begitu saya nggak bisa dong. Saya kan tidak punya istri.”
“Maksud Bapak, duda?” Tanya si penelpon.
“Iya!” Jawab saya.
“Bapak sudah punya pasangan (mungkin pacar)?” Tanyanya lagi. Kalau sudah, nggak masalah. Bapak tetap bisa mendapatkan voucher selama status di KTP ‘menikah’ dan memberikan tanda tangan Bapak dan pasangan.”
“Belum ada.” jawab saya lagi.
“Jadi bagaimana, Pak, dengan undangannya?”
“Ya, nggak bisa!”
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Dan telepon pun ditutup.
******
Begitulah ceritanya.
Sampai saat ini saya masih bertanya-tanya dari mana si penelpon itu mendapatkan nomor telpon rumah orang tua saya.
Apakah mungkin ada sebuah bisnis yang bergerak di bidang jual-beli data? Apakah itu legal?
Tulisan Terkait Lainnya :
- Teman Perjalanan
- Semua Akan Pindah Pada Waktunya
- Tiga Kota
- Tiga Orang Anak yang Bersalaman Selepas Shalat
- Wejangan Ayah
- Sepenggal Cerita Pemberian ASI Eksklusif Untuk Sabiq
- Gara-gara Es Goyang
- Selaksa Aksara Untuk Istri Tercinta
- Ketika Anak dan Ayah Bercerita Tentang Lebaran yang Seru
- Silaturahmi : Ketika Niat Saja Berbuah Berkah
ruamh saya pernah juga dapet telepon aneh semacam itu..
tapi sama ibu diputer2in ampe bingung dianya.. hahaha
Ibunya nakal
Eh… Pinter :p
kasihan yang nelpon π
wuih…. kaya naik kemidi puter yah?
π
kalau diajak ngobrolnya lama…. lumayan juga tuh pulsanya
Aneh ya org skrg bisa dpt info mudah skali gt, mgk klo dia jelasin dpt info drmn bisa sedikit dipercaya kali ya pak? Dan pemberitahuan via pos (tertulis) @ least ada bukti hitam di atas putih gtu
mungkin, mbak. nah, kalau hitam di atas putih itu pasti lebih kuat.
mungkin dari temen.. ada tuh telpon kaya gitu juga di rumah, yang terima adik soall launching hotel.. diambil adik akhirnya dan gratis kog asal bukan weekend dan liburan.. emang buat promosi.. dan itu ga lama, cuma 3 hari dua malam.. lumayan buat referensi.. cuma kesananya ongkos sendiri lah..
wah…. koq mirip, mbak. hotel apa namanya, mbak?
saya lupa nama hotelnya…. acara launchingnya malam ini jam 7 malam sama hari selasa jam yang sama
Lagian, harusnya kalo mau niat kasih voucher mau dipake sendiri juga gak masalah kan ya π
apalagi langsung di tangan nggak pake embel2 apa pun π
Bisa lihat juga bukan dari buku telephone?
aahh mudah2an rejeki teteh ada di bulan Mei nanti..aamiin.
iya juga seh teh.
tapi si penelpon tahu kalau saya seorang pegawai lho. dibuku telpon kan nggak ada nyantumin pekerjaan.
aamiin…. semoga jadi rezeki teteh
kok saya mencium adanya aroma penipuan dg modus telpon2 ituh yaaa…
dari saya sudah curiga begitu, mas. makanya nggak menanggapi dengan serius.
modus-modus baru kayaknya, ya … he he he …
entahlah, kang. saya nggak bisa memastikan itu beneran apa boongan π
mungkin modus baru untuk manas-manasin biar segera dapat si eneng … he he he …
xixixixixi….. larinya ke situ mulunih kang hendra π
trik marketing makin banyak dan bervariasi..
iya, teh…. π