“Romantis itu, ketika kita berangkat ke kantor bersama dan sarapan di mobil. Aku di belakang kemudi, sementara kamu menyuapi sarapan. Sepiring berdua”
“Romantis itu, ketika hari libur sementara aku harus lembur. Aku asyik berkutat di depan monitor melakukan coding, sementara kamu menyuapiku puding.”
Sepertinya, kamu membaca kalimat itu dalam status FB-ku beberapa waktu yang lalu. Itulah romantisme yang kau wujudkan, Sal. Menurutku.
Sejatinya, aku bukanlah lelaki romantis. Diriku kaku dan tidak ekspressif. Tidak sepertimu. Namun dari dirimulah aku mencoba untuk belajar romantis. Entah itu akan berhasil atau tidak. Entah butuh berapa lama bagiku untuk menjadi lelaki yang romantis. Aku hanya berharap bahwa kamu bisa menerima diriku apa adanya, baik ketika diri ini bisa melakukan sesuatu yang romantis atau pun tidak. Maukah?
Sepertinya, dirimu mengerti akan kegalauanku tentang soal ini. Kau pun menulis sesuatu untukku. Tentang diriku. Diriku yang menurutmu romantis.
Zul, bagiku, dirimu itu romantis atau tidak, bukanlah masalah yang besar bagiku. Ketika kamu menjadi lelaki yang romantis, aku suka. Pun ketika kamu menjadi lelaki yang tidak romantis, aku tetap suka. Aku memilihmu bukan karena dirimu romantis, tapi karena aku ingin bersamamu. Ya, bersamamu. Bersamamu itu jauh lebih penting dari hal-hal yang romantis. Jadi tetaplah menjadi dirimu apa adanya. Tak masalah bagiku jika kamu sering berubah-ubah dari lelaki yang romanti menjadi tidak atau sebaliknya.
Namun kukatakan sejujurnya kepadamu bahwa bagiku, kamu itu cukup romantis, Zul. Ada hal yang mungkin kecil, tapi bagiku itu romantis. Sangat.
Aku pernah berkata kepadamu manakala dirimu sedang membahas soal romantis ini, bahwa romantis itu tidak terkait dengan hal-hal yang luar biasa atau pun barang-barang yang mewah. Romantis itu bisa berwujud dalam bentuk-bentuk yang kecil, murah, bahkan gratis. Dan kamu pernah melakukannya. Kamu percaya, Zul?
Mungkinkah? Aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri tanpa mengetahui jawabannya.
Zul, kamu masih ingat ketika pertama kali kita berpisah setelah menikah? Saat itu kamu mendapat tugas ke daerah selama satu minggu. Di suatu pagi, aku menerima SMS darimu. Tak hanya sekali, tapi tiga kali.
SMS pertama
bila matahari di pagi ini
mulai menyinari bumi
pastilah hangatnya tak seberapa
bila dibandingkan aku dan dirimu bersamaSMS kedua
bila langit di ufuk timur sana
mulai bermandikan sinar sang surya
pastilah indahnya tak seberapa
bila dibandingkan senyum wajahmu nan cantik mempesonaSMS ketiga
bila burung-burung berkicau di pagi ini
bersahutan di sana-sini smabiol bernyanyi
pastilah merdunya tak seberapa
bila dibandingkan kelembutan dirimu saat menyapaKamu tahu Zul? Ketiga SMS-mu itu membuat suasana pagiku menjadi begitu romantis.
Ah, aku tak menyangka jika dirimu masih menyimpan SMS itu, Sal.
Zul, kamu masih ingat tentang idemu yang mendadak ketika listri di rumah kita padam padahal kita sudah bersiap-siap di meja makan untuk bersantap malam? Kamu segera mengeluarkan handphone, dengan memanfaatkan cahaya dari layarnya kamu mencari sesuatu. Lilin. Kamu mengambil dua batang lilin kemudian menyalakannya dan meletakkannya di atas meja makan kita. Itu adalah candle light dinner kita pertama kali dan memang hanya sekali itu.
Bagiku, itu adalah sesuatu yang romantis, Zul.
Sal, sebenarnya saat itu aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Mencari lilin dan menyalakannya agar makan malam kita tetap tetap terlaksana. Sejujurnya, saat itu, perutku memang sudah lapar dan aku ingin mengisinya dengan masakanmu.
Di lain hari, di hari libur. Aku sedang bekerja di dapur untuk mempersiapkan menu makan siang kita. Sementara dirimu menemaniku sambil asyik dengan laptopmu. Entah apa yang sedang kamu lakukan, mengetik sesuatu atau sedang bermain game kesukaanmu.
Tiba-tiba kamu berdiri dan menghampiriku lalu menyerahkan sebuah bunga berwarna putih. Bukan, itu bukan mawar putih, bukan pula sedap malam. Melainkan sebuah bunga kertas hasil kreasi tanganmu dari kertas bekas yang ada di rumah. Entah kapan kamu membuatnya. Aku tak pernah tahu. Yang jelas, kamu menyerahkan bunga kertas itu kepadaku, teriring senyummu.
Itu romantis, Zul.
Kupandangi bunga kertas itu yang kini masih masih tergeletak di atas tv di dalam kamar kita. Bunga berkelopak empat dengan tangkai tanpa daun.
Zul, tak hanya bunga kertas yang kau berikan untukku. Kamu pun pernah memberikan kejutan untukku, setangkai mawar berwarna merah.
Hari menjelang maghrib, kita baru saja tiba di rumah. Ketika kamu memarkirkan sepeda motor, aku membuka pintu rumah untuk masuk terlebih dahulu.
Tiba-tiba hidungku mencium aroma yang berbeda di ruangan. Aku mencari sumber aroma itu dan kudapati setangkai mawar merah itu.
Apakah kamu pulang dari kantor di siang hari, pergi ke pasar kembang rawa belong, lalu menyimpannya di rumah? Namun kamu tidak menceritakannya. Aku pun tidak memaksamu untuk menjawabnya. Mungkin itu lebih baik. Agar romantisme di sore itu tidak ternoda.
Ya, itu romantis, Zul.
Ketahuilah, Zul! Bahwa ketika dirimu memegang tanganku ketika dibonceng motor, itu sebuah keromantisan. Kamu juga romantis ketika menyisir rambutku, menyimak bacaan tilawahku, dan ketika meninabobokanku dengan kidung shalawat dan dzikir.
Kamu lelaki romantis. Namun kamu juga perlu tahu, bahwa meski kamu tidak melakukan semua itu lagi, aku akan tetap menyayangimu dan mencintaimu.
Terima kasih, Sal!
Ih, menurutku Zul itu romantiiss kok :p
Jadi inget beberapa hari yll pernah bikin status fb tentang romantis2an š
Jangan2 bikin status FB karena ikutan lomba yah? Soalnya dua status di awal tulisan ini juga saya ikutkan dalam lomba giveaway š
enggak
emang ada lomba yah? udah deadline belum?
š
ada beberapa waktu yang lalu… awal bulan kalau nggak salah. udah selesai š
romantis sekali abang Jampang ini….
pasti yang baca banyak yang meleleh berharap diperlakukan hal yang sama deh.
namanya juga ngarang, kali ini ceritanya romantis… lain waktu mungkin bisa bikin cerita antagonis š
hahaha.
pengen deh baca yang antagonisnya
sepertinya belum ada š
ayo ditunggu…
kalau ini termasuk antagonis nggak?
https://jampang.wordpress.com/2012/08/31/lelaki-dan-mutah/
kayaknya kurang mas. dalam benak saya, antagonis itu yang bener-bener super duper jahat deh. š
sepertinya belum pernah saya buat yang super duper jahat…. š
hehehe…
tapi super duper jahat itu yang ‘licik’ ya. bukan yang super duper kejam. š
hhmmm…. sepertinya saya belum bisa š
tapi ada bayangan sih…
asikkk ditunggu deh kalau gitu.
š
nggak janji…..
yahhhh
š
bang jampang melempar umpan xaxa
habis lempar umpan, lempar jala yah…. biar dapatnya banyak….. š
uhuk…..bukan status semu nih ye…..pengalaman masa lalu yak :p
statusnya itu gara2 ada lomba buat status romantis, yang pernah dialami atau yang dianggap romantis. yang jelas saya belum mengalami status itu… mobil kan belum punya š
āRomantis itu, ketika kita berangkat ke kantor bersama dan sarapan di mobil. Aku di belakang kemudi, sementara kamu menyuapi sarapan. Sepiring berduaā
Itu bukan romantis. Kalo orang Jawa bilang, itu nyamari (khawatir akan celaka). Makan itu ya makan aja, terserah mau sepiring berdua atau sepiring bersepuluh. Nyetir ya nyetir aja, gak boleh disambi. kalau tidak konsentrasi, rawan kecelakaan.
*serius amat yak gue* :p
š
ya mungkin beda sudut pandang aja. bagi seseorang itu mungkin romantis, tapi tidak bagi sebagian yang lain.
saya yang melihat kejadian itu berpendapat romantis. melihat suami yang nyetir dan cuma modal mangap doank…. pandangan tetap lurus ke depan, si istri yang mungkin sedikit kerepotan menyuapi suaminya š
Aku gak bisa romantis Bang… suka ngiri deh kalau ada yg saling romantis hihi, ajarin dong š
š
nggak ada standar baku soal romantis, teh. jadi ya tergangung masing-maisng pribadi.
di cerita di atas juga bilang begitu…. menurut si zul, nyalain lilin pas lampu mati itu hal yang biasa, tapi sali nangkapnya itu romantis.