“Rabbij ‘alnii muqimash shalaati wa min dzurriyaatii” [Wahai Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat.]
Kalimat di atas adalah sebuah doa. Doa yang dipanjatkan oleh seorang nabi, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Doa tersebut terabadikan dalam Al-quran surat Ibrahim ayat 40. Doa itu pula yang saya coba tambahkan selepas menunaikan shalat sejak awal bulan lalu. Doa untuk Syaikhan. Meski adakalanya juga terlupa untuk saya ucapkan. Mungkin karena belum terbiasa.
“Sudah sembahyang?”
Kalimat pertanyaan itu selalu ibu tanyakan kepada saya jika saya tiba di rumah di jam-jam yang tak biasa. Pertanyaan yang mengisyaratkan betapa pentingnya shalat. Pertanyaan yang singkat namun bermuatan pendidikan. Seperti itulah mungkin cara kedua orang tua saya, khususnya ibu, dalam mendidik anak-anaknya agar senantiasa melaksanakan shalat. Sebuah langkah nyata yang mungkin bisa mengiringi doa di atas.
Tanggal 2 Juni 2013, saya mengucapkan kalimat doa tersebut di telinga anak saya, Syaikhan Muhammad Azzamy, yang hari itu genap berusia lima tahun.
“Syaikhan yang rajin yah shalatnya. Shalat di masjid.” Begitu kalimat yang saya tambahkan setelah mengucapkan doa Nabi Ibrahim di atas.
Syaikhan mengangguk pelan.
Sejak Syaikhan bisa duduk dengan sempurna, saya sering mengajaknya shalat berjamaah di masjid. Biasanya saya mengajak Syaikhan ketika waktu Maghrib dan Isya, karena di dua waktu itulah saya sudah berada di rumah. Dengan menggunakan sepeda motor saya membonceng Syaikhan dari rumah ke masjid kampung yang jaraknya sekitar dua ratus atau tiga ratus meter dari rumah.
Ketika shalat akan mulai, saya mengambil posisi di ujung shaf, baik di kiri atau di kanan. Sementara Syaikhan saya posisikan untuk duduk di hadapan saya agak ke samping sehingga tidak menggangu saya ketika akan melakukan sujud.
Selama pelaksanaan shalat, Syaikhan hanya duduk diam dengan mata memperhatikan gerakan orang-orang yang sedang melakukan shalat. Syaikhan tidak pernah mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya. Karena itu, saya tidak ragu untuk tetap terus mengajak Syaikhan ke masjid setiap kali ada kesempatan. Saya dan Syaikhan senang, jama’ah yang lain pun tidak merasa terganggu.
Ketika berusia dua tahun, Syaikhan memiliki kebiasaan baru. Ketika suara adzan berkumandang dan didengar olehnya, Syaikhan akan berkata “Azzah….Azzah”, sambil menarik tangan saya untuk segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Syaikhan pun turut ikut ke kamar mandi, bahkan terkadang Syaikhan pun mengikuti gerakan wudhu dari awal hingga akhir.
Ketika shalat berjama’ah di masjid dimulai, Syaikhan akan mengikuti gerakan sholat pertama kali, yaitu takbiratul ihram. Syaikhan mengangkat kedua tangannya meniru gerakan saya dan jama’ah lain. Hanya sebatas itu yang Syaikhan bisa lakukan dari seluruh gerakan shalat. Selanjutnya, Syaikhan akan keluar dari barisan jama’ah dan bermain-main di dalam masjid.
Pernah suatu ketika, Syaikhan mencoba untuk meniru gerakan ruku. Namun karena belum bisa, yang Syaikhan lakukan hanyalah berdiri seperti orang ruku dengan kedua tangan dan kepalanya menempel di lantai.
Di lain waktu, Syaikhan mencoba menirukan gerakan sujud. Hanya saja, yang Syaikhan lakukan adalah tidur dengan posisi tengkurap. Tentu saja apa yang dilakukan Syaikhan mengundang anak-anak lain yang lebih besar dari dirinya dan sudah bisa melakukan gerakan shalat dengan baik.
Hingga akhirnya, di bulan Desember 2010, Syaikhan bisa mengikuti gerakan shalat dari awal hingga akhir. Belum sempurna memang, namun itu bisa menjadi modal penting bagi dirinya, juga bagi saya.
Sejak awal Ramadhan tahun lalu, saya tidak bisa lagi membersamai Syaikhan seperti masa-masa sebelumnya. Syaikhan sudah mulai sekolah. Pertemuan kami pun tidak bisa dikatakan rutin terjadi. Namun, jika ada kesempatan, saya tetap berusaha untuk mengajaknya untuk shalat di masjid. Saya berharap, yang demikian itu bisa tertanam di dalam ingatannya.
Beberapa malam yang lalu, tepatnya tanggal 21 Juni 2013, saya berbicara dengan Syaikhan melalui telepon. Saat itu waktu menunjukkan pukul 21.25. Setelah berbicara beberapa hal, saya bertanya kepadanya, “Syaikhan belum bobo? Kan sudah malam!”
“Belom, Bi!” Jawabnya.
“Kalau bobonya kemalaman, nanti bangunnya kesiangan.”
“Syaikhan bobonya malam, Bi. Jam dua belas,” jawabnya sambil tertawa.
“Waduh, malam banget. Syaikhan bobo sekarang aja, biar besok shalat shubuhnya nggak kesiangan.” Pinta saya.
“Abi… Abi…!”
“Ya?”
“Dulu waktu Syaikhan nginap di rumah nenek, Syaikhan shalah shubuh ke masjid ya, Bi? Sama Abi.”
“Iya. Makanya, Syaikhan bobonya jangan malam-malam. Bisar bisa shalat Shubuh di masjid. Syaikhan bobo sekarang yah!” Pinta saya lagi.
“Iya, Bi.”
Pembicaraan melalui telepon pun selesai. Dalam hati, saya merasa senang karena Syaikhan masih ingat dengan kebiasaan kami yang pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Semoga, semakin bertambah usianya, ingatan tersebut semakin tertanam kuat di dalam memorinya dan Syaikhan bisa melakukannya. Seperti doa Nabi Ibrahim di atas yang saya coba panjatkan selepas saya melaksanakan shalat. Amin.
*****
Terpilih sebagai karya terbaik non fiksi dalam GA Mas Sulung
Semoga istiqomah tepat waktu dan sholatnya di masjid ya, Syaikhan.
aamiin. terima kasih, pak
semoga menjadi anak yang shalih, yang berbakti kepada kedua orang tua …
aamiiin. terima kasih doanya, kang
sipdah…moga cita2 abinya sehan dikabulkan allah ta’ala, aamiin…
aamiin. terima kasih, mas
emang syaikhan sekarang ga solat subuh sama mbahkungnya di mesjid?
saya kurang tahu, mbak. syaikhan nggak cerita dan saya nggak nanya
Smoag syaikan selalu ingat pesan Abi ya..
aamiin…. semoga…
Abang jampang junior… 🙂
cuma pas waktu kartinian di sekolahnya didandanin ala sakera 😀
oowh..ini lgi kartinian.. Sakera apa..??
mas rifki kecilnya mirip syaikhan gak?
bukan. itu foto diambil waktu pulang dari masjid,
sakera itu jagoan dari madura
mirip apa nggak…. lihat aja di sini
https://jampang.wordpress.com/2011/02/10/ini-abi-ini-syaikhan/
ooowh….hehe
selamat ya..udah menang, hadiahnya apa..?? *kepo
meluncuuur…
terima kasih. hadiahnya dua buah buku.
Syaikhan pinteeeer 🙂
aamiin. alhamdulillah…. 🙂