Waktu terus berlalu. Zaman terus berubah. Generasi terus berganti. Setiap waktu, setiap zaman, dan setiap generasi memilik perbedaan. Jika dahulu saya adalah seorang anak, maka kini saya memiliki seorang anak. Meski saya dan anak saya hidup di waktu yang sama, tetapi tetap saja ada banyak hal yang membedakan kami.
Di masa kanak-kanak, untuk membuktikan eksistensi diri, saya akan keluar rumah untuk bertemu dengan kawan-kawan sebaya. Lalu kami akan bermain dengan aneka jenis permainan yang saat ini disebut sebagai permainan tradisional. Padahal dahulunya tidak ada sebutan demikian. Itu terjadi karena perubahan zaman.
Saat itu, saya dan teman-teman sering bermain petak umpet dengan memanfaatkan apa yang ada di sekeliling kami sebagai tempat persembunyian. Di balik pohon besar atau semak-semak, memanjat pohon yang memiliki banyak cabang, bahkan di selokan.
Saat itu, saya dan teman-teman juga memanfaatkan jalan beraspal yang masih lengang karena jarang dilalui kendaraan bermotor sebagai arena permainan bentengan. Dua buah tiang listrik kami jadikan benteng pertahanan kami. Biasanya kami bermain bentengan yang ditempat saya tinggal disebut dengan “Tak Pancing” di malam hari dengan bantuan penerang lampu jalan.
Saat itu, saya dan teman-teman adakalanya memanfaatkan lapangan badminton sekolah di saat istirahat atau sebelum jam pelajaran dimulai untuk bermain galasin. Permainan yang juga terdiri terdiri dari dua tim. Masing-masing tim minimal terdiri dari tiga orang. Kecepatan lari dan kepandaian mengecoh lawan main sangat diperlukan dalam permainan ini. Anggota tim yang berhasil melewati garis-garis yang dijaga oleh lawan dan kembali ke tempat semula akan menjadikan timnya sebagai pemenang. Namun bila salah satu anggota tim berhasil disentuh oleh tim penjaga maka itu tanda pergantian posisi.
Kesamaan semua permainan itu adalah, adanya sosialisasi dan interaksi dalam bentuk tatap muka, adanya kompetisi dengan anak-anak yang sebaya, adanya gerak tubuh yang bisa dikategorikan sebagai olahraga.
Kini, seorang anak tidak perlu keluar rumah untuk membuktikan eksistensi dirinya. Ia cukup berada di dalam rumah. Sambil duduk atau berbaring, ia bisa menyampaikan pesan ke luar rumahnya melalui gadget yang ada di tangannya, melalui laptop, atau pun komputer di kamarnya. Melalui jentikan jari mereka berinteraksi di jejaring sosial, tapi tanpa tatap muka.
Jika ia bosan dengan dunia maya, ia bisa bermain aneka game yang sudah terinstall di gadget, laptop, atau komputer. Ada kompetisi di situ, tapi bukan dengan teman-teman sebayanya, melainkan dengan mesin. Kalaupun bermain dengan jaringan atau network, ia tak banyak melakukan gerakan. Hanya tangannya, hanya jemarinya. Sementara anggota tubuh lainnya tidak.
Seperti itulah kondisi yang pernah terjadi pada anak saya, Syaikhan, di tiga tahun usianya menjelang empat tahun. Ketika itu saya memperkenalkannya dengan handphone yang baru saya beli.

Hal pertama yang saya lakukan setelah handphone di tangan adalah mendownload game agar Syaikhan bisa memainkannya. Selanjutnya saya memperlihatkan cara menggunakan handphone tersebut kepada Syaikhan, mulai dari membuka, melihat menu, sampai dengan memainkan game yang ada di dalamnya.
Tak perlu lama bagi Syaikhan dan juga mungkin anak-anak seusianya untuk bisa menggunakan handphone touchscreen tersebut. Mereka cepat belajar dan meniru apa yang mereka lihat. Dalam waktu singkat, Syaikhan sudah bisa membuka menu-menu di bagian muka, menggeser menu ke halaman berikutnya, melihat foto, serta memainkan game.
Mungkin tak akan lama lagi bagi Syaikhan untuk bisa mengaktifkan koneksi internet kemudian berselancar di dunia maya. Karena memang, anak kecil akan sangat mudah belajar.
Syaikhan sangat menyukainya. Bahkan dirinya meminta untuk dibelikan handphone yang serupa untuk menjadi miliknya sehingga tidak perlu meminjam dari saya. Tentu saja, saya tidak mengabulkannya.
Sisi negatif dengan adanya handphone dengan banyak game di dalamnya, Syaikhan menjadi malas untuk bermain. Dia lebih senang duduk-duduk atau tidur-tiduran sambil memainkan game di handphone.
Hingga di suatu hari, karena rasa ingin tahunya yang besar dengan handphone tersebut, Syaikhan malah menghapus beberapa file dan meng-unistall semua game yang ada. Tentu saja Syaikhan mengingkan game yang pernah dimainkannya di-install ulang. Namun kali ini saya tidak mengabulkannya dengan alasan bahwa dirinyalah yang menghilangkan game tersebut. Meski awalnya masih merengek namun akhirnya Syaikhan tidak lagi meminta. Syaikhan tak lagi berminat dengan game dan handphone tersebut. Mungkin kondisi itu lebih baik untuk dirinya. Saat ini.
Satu hal yang mungkin sebelumnya terlewat dari perhatian saya adalah, bahwa keinginan Syaikhan untuk bermain game di handphone itu muncul ketika dirinya merasa tidak ditemani. Ada keinginan dalam dirinya untuk bermain namun sekelilingnya sibuk dengan urusan masing-masing. Sejatinya, seorang anak kecil cenderung aktif bergerak. Mereka memiliki tenaga yang lebih untuk bergerak.
Ketika Syaikhan ingin bermain kemudian saya menemaninya, maka keinginan untuk bermain game itu tidak muncul. Syaikhan lebih suka jika dirinya bergerak dan berinteraksi dengan orang dibandingkan dengan berdiam dan hanya berinteraksi dengan handphone. Ada tawa dan keceriaan yang muncul dari dalam dirinya yang tidak saya lihat ketika dirinya asyik bermain game. Saat memainkan game, ia cenderung tidak awas dengan kondisi sekitar, seperti tak langsung menjawab ketika ada yang memanggil namanya. Saya pribadi, merasa lebih senang melihat Syaikhan yang aktif bermain dan bergerak. Itu lebih baik untuknya. Untuk anak seusianya. Untuk saya sebagai ayahnya. Dengan bermain bersamanya, berinteraksi denganya, mudah-mudahan akan mempererat ikatan di antara kami berdua. Ikatan antara anak dengan ayahnya.
Bagi saya pribadi khususnya, masa kecil Syaikhan adalah masa-masa indah dan penuh kebersamaan yang tak terlupakan. Saya bisa bebas memeluk dan mencium Syaikhan kapan saja di mana saja. Tetapi, kelak ketika Syaikhan tumbuh besar, bisa jadi ciuman dan pelukan tersebut akan ditolaknya dengan alasan malu, sudah besar, dan bukan anak kecil lagi.
Saya dengan mudah dan gampang mengajak Syaikhan kecil ke mana pun pergi. Syaikhan pun merasa senang. Tetapi, kelak ketika Syaikhan beranjak besar, mungkin akan sulit rasanya untuk mengajaknya pergi bersama-sama, sekalipun hanya untuk menyambung tali silaturahmi kepada sanak keluarga. Ada kegiatan sekolah atau kuliah, ada janji dengan teman, mungkin akan menjadi alasan yang sering digunakannya untuk menolak ajakan saya.
Kehangatan dan kebersamaan itu bisa hilang seiring perjalanan waktu. Anak-anak akan tumbuh menjadi besar. Selagi ada kesempatan, suapilah si kecil sepenuh hati sebelum ia malu menerima suapan dari tangan kita. Ciumlah mereka dengan penuh kasih sayang sebagaimana yang dicontohkan oleh manusia terbaik, Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi Wasallam, sebelum si kecil enggan menerimanya karena merasa bukan anak kecil lagi. Peluklah dengan kehangatan cinta, sebelum si kecil merasa risih diperlakukan demikian.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin ‘Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Temanilah si kecil ketika ia ingin bermain bersama, niscaya akan anda temukan kebahagiaan yang lebih besar saat mendengar tawanya dan teriakannya, saat melihat kelincahannya berlari dan bergerak ke sana kemari, dibandingkan saat melihat dirinya begitu tenang dan asyik dengan gadget di tangannya, dengan laptop atau komputer di hadapannya.
Keceriaan Syaikhan Saat Bermain Bola
Keceriaan Syaikhan di Arena Bermain
Relakah kita sebagai orang tua, ketika gadget, laptop, dan komputer, merampas waktu kebersamaan kita bersama sang buah hati? Saya tidak rela.
Gadget, laptop, dan komputer, yang tersambung dengan internet adalah sebuah alat yang memilki dua sisi. Gerbang pengetahuan di satu sisi, gerbang permasalahan di sisi yang lain. Karenanya, orang tua harus bijak untuk menentukan kapan waktunya memperkenalkan semua itu kepada buah hati tercinta. Tak hanya memperkenalkan, tapi juga untuk selalu menemani dan mengawasi ketika anak menggunakannya agar tak salah arah.
like this bangetttt! 🙂
terima kasih 🙂
senengnya main sama anak ya
wah sy belum pernah pasang video pribadi ni di WP, jadi pengen nyoba 🙂
iya, teh.
itu video saya embed dari youtube
Setuju, ortu jangan sampai lengah dalam masa-masa Golden Age si anak.
iya, pak….
nice mas.
jangan sampai kecanduan dan akhirnya jadi penyendiri.
iya.
kalau udah kecanduan sama gadget, ngobrol sama orang tersebut juga dianya sambing BBM or WA-an.
pernah ngalamin sama kondisi yg kaya gitu
hehehehe… makanya mas. yang dewasa aja sering lupa diri dengan gadget. apalagi anak2 dengan gamenya.
iya. dicegah sebelum kebawa sampe gede 😀
makasih bang…
seneng banget liat binar mata anak kalo lagi main sama kita. Gw ngerasa jd orang penting.
barakallah bang..
sama-sama, nggun
Jangankan anak..ponakan aja klo lgi pada maen di rumah..ketawa ketiwi..seneng bgt, smp mikir..klo bisa jgn gede2..keciiil trus aja segitu…biar bisa dipeluk2 dicium2 terus.. 😀
ketawa mereka bikin bahagia, mbak.
sayangnya yang seperti itu nggak bisa 😀
Yup…spt qt yg tumbuh besar..anak2 jg begitu, akan terus tumbuh, dan pny kesibukan sendiiri…*dah berasa pny anak aja jdinya 😀
Yup…spt qt yg tumbuh besar..anak2 jg begitu, akan terus tumbuh, dan pny kesibukan sendiiri…*dah berasa pny anak aja jdinya 😀
😀
udah tahu ilmunya, tinggal prakteknya
semoga…aamiin…:)
ya rabbal ‘alaamiin 🙂
upss..maaf..komennya kebanyakan…*ketahuan dri hape.. 😀
bukan kebanyakan…. tapi double 😀
Jd ingat wkt kecil yg slalu memanfaatkan lapangan, tanah kosong, n alam tuk bermain n bersandau gurau ma tmn. Slalu mnt d ajak kmn ortu pergi bersilaturrahmi.
Pas sdh dewasa begini memfasilitasi permainan d rmh sndr krn malu tuk bermain spt dulu lg.
Klo zaman skrg susah mencari fasilitas tmpt bermain yg spt dulu tuk anak2.
iya… tanah lapang nggak ada, jalanan sudah ramai dengan kendaraan. jd nggak bisa seperti dulu lagi. zamannya udah beda
Like This juga.. aku pernah datang ni di seminar DPtalk ttng tren mobile internet..yg salah satu pembicaranya Mbak Sita Laksmi, sempet aku wawancarain lhoo 🙂
kalau gitu bisa ikutan lombanya, teh. ada bahan dari hasil wawancaranya
Hehehe.. adaaa.. ada bahannya, wong dikirimin itu bahan hasil seminarnya sama Kang Haris Maul 🙂
ikutan gak ya hehehe…
bahan hasil wawancara hmmm aku lupa wkwkwkw.. wong wawancaranya ala koplak
wah lebih enak kalau ada bahan hasil seminarnya, bisa lebih gampang nulisnya 😀
Nak Kiki, koreksi ya dikit. Yang ditulis permainan galasin itu, sebetulnya namanya galah asin. Dia punya saudara, yaitu galah bunder. Pemainnya masuk semua ke dalam sebuah lingkaran besar yang digambar di tanah, dan si kucing yang jadi mesti nguber-nguber sampai ada yang kesenggol di dalam bunderan itu. Lha kalau waktu nguber garis bunderannya keinjek, maka yang nginjek jadi kucing. Gitu deh.
Iya ya, kok sekarang mainan beginian udah disebut tradisional aja sih………
iya bunda… saya nulisnya sesuai pengucapan yang saya denger dan ternyata kurang pas yah 😀
soalnya udah ada mainan yang modern yg pake teknologi canggih. jadinya disebutnya tradisional