
Lelaki Pertama pada Jumat Kesatu
Kulihat lantai dasar masjid sudah penuh dengan jamaah shalat jumat. Kulangkahkan kaki menaiki tangga menuju Lantai atas dengan harapan masih banyak ruang yang bisa kutempati. Alhamdulillah, ada beberapa tempat yang masih kosong. Kupilih yang terdekat agar tidak melangkahi para jama’ah lain. Kulalaksanakan shalat sunnah tahiyatul masjid sebanyak dua rakaat. Lalu duduk. Menunggu waktu.
Tiba-tiba kudengar suara lelaki berbicara. Bukanlah sang khatib yang sedang berkata, sebab arahnya bukan dari hadapanku melainkan dari belakangku. AKu tak melihat bagaimana sosok lelaki yang berbicara dengan nada cukup keras itu. Namun aku bisa memastikan bahwa dirinya duduk pada barisan paling belakang, bersandar pada dinding.
Tak mengapa lelaki itu bicara. Khatib belum naik ke mimbar. Mungkin nanti dia akan berhenti pada waktunya. Pikirku. Harapku.
Sayangnya, harapanku tidak terwujud. Lelaki itu masih terus saja berbicara dengan nada yang masih terdengan hingga beberapa baris ke depan. Sementara Khatib sudah berdiri di atas mimbar dan menyampaikan khutbahnya. Suara lelaki itu seperti berkejaran dengan kalimat-kalimat dari sang khatib menuju kedua telingaku. Kadang kalimat sang khatib tiba lebih awal di telingaku. Namun tak jarang, suara lelaki itu tiba lebih dahulu.
Hampir hilang kesabaranku. Ingin aku menegurnya. Mengingatkannya. Tapi, jumatku lebih berharga. Jika kulakukan yang demikian, maka sia-sialah jumatku.
Lelaki Kedua pada Jumat Kedua
Sebelum kududuk, kulaksanakan shalat tahiyatul masjid. Di hadapanku, seorang lelaki sedang duduk sambil memegang muhshaf kecil di tangannya. Dia membaca ayat-ayat al-quran dengan khusyu’.
Ketika shalatku selesai, lelaki itu masih melanjutkan bacaannya. Bahkan di saat khatib mulai menyampaikan tausiyah dalam khutbahnya, lelaki itu masih dalam posisi semula. Mushaf di tangannya masih terbuka. Sesekali tangannya membuka halaman berikutnya. Tanpa suara.
Ada keinginanku untuk menegurnya dengan berkata kepadanya “Berhentilah dulu membaca al-quran. Dengarkanlah khutbah sebentar.”
Tapi kuurungkan keinginanku. Jika kulakukan demikian, sia-sialah jumatku.
Lelaki Ketiga pada Jumat Ketiga
Entah bagaimana sosok lelaki ketiga ini. Aku yakin, dirinya pasti datang lebih dahulu daripada diriku.
Lelaki itu berjalan dengan tenang menuju masjid. Tidak seperti diriku yang tergesa-gesa sebab tak lama lagi khatib akan segera naik ke atas mimbar.
Lelaki itu tidak akan bingung mencari tempat untuk duduk sebab ruang di dalam masjid masih lengang ketika dirinya tiba. Tidak seperti diriku yang selalu bingung akan duduk di mana sebab hampir tak ada celah untuk menempatkan tubuhku di antara para jama’ah lain.
Lelaki itu tak perlu melangkahi pundak-pundak jama’ah lain. Tidak seperti diriku yang kadang-kadang melangkahi pundak jama’ah lain, bahkan meminta mereka menggeser tempat duduk agar aku bisa duduk.
Lelaki itu akan menyimak kalimat demi kalimat yang disampaikan oleh sang khatib lalu menyampaikan materi khutbah tersebut kepada istrinya dan anak perempuanya di rumah. Tidak sepertiku yang hanya menyimak khutbah di bagian awal dan akhir saja, sebab ketika inti khutbah disampaikan, diriku tertidur pulas.
Aku tak ingin seperti lelaki pertama yang tak mendapakan apa-apa dari kemuliaan dan keberkahan hari jum’at. Sebab apa yang dilakukannya telah membuat hari jum’at yang dilaluinya menjadi sebuah kesia-siaan.
Aku tak ingin seperti lelaki kedua. Meski dirinya berdzikir dan berdoa, namun kemuliaan jum’at tak diperolehnya. Sedang dzikir dan doanya, menjadi hak Allah untuk menerimanya atau menolaknya.
AKu hanya ingin seperti lelaki yang ketiga. Itu saja.
*****
“Barangsiapa mandi kemudian mendatangi Jum’atan, lalu shalat (sunnah) yang ditakdirkan (dimudahkan) Allah Subhanahu wata’ala baginya, sertadiam sampai (imam) selesai dari khutbahnya dan shalat bersamanya, diampuni baginya antara Jum’at itu hingga Jum’at berikutnya, ditambah tiga hari.” (Shahih Muslim, Kitabul Jum’ah)
“Barang siapa yang berwudhu, lalu melakukannya dengan sebaik-baiknya, lalu datang untuk melakukan sholat jum’at, kemudian dia mendengar dan memperhatikan khutbah, niscaya akan diampuni dosa-dosa ( kecil ) yang dilakukannya antara jum’at itu dan jum’at berikutnya ditambah dengan tiga hari. Dan barang siapa yang bermain-main dengan kerikil, maka sia-sialah jum’atnya.“ (HR Muslim)
Tulisan Terkait Lainnya :
ada juga yg baik hati menshare isi khutbah jumat di fb, blog, atau twitter…yg demikian juga bagus…:)
asal jangan nge-twitnya pas khatib lagi baca khutbah 😀
oh iya..klo ada yg share mesti dilihat juga waktunya..ngeshare isi khutbah pas khatib lagi ceramah..gak bagus juga gitu ya..
ya termasuk yang nggak dapat-apa dari shalat jum’atnya
nah..jdi pgn bahas ini..walaupun di share saat lagi jumatan, tpi membawa manfaat buat yg baca..
berarti tetap ada kebaikannya juga..
orang lain mungkin dapat manfaat, tapi si pelakunya tidak mendapatkan kemuliaan jumat, seperti hadits di bagian akhir
ya..ya..ya..
nice posting, mksh mas…
sama-sama…
Aku juga ingin menjadi lelaki ketiga 🙂
Tantangan yang selalu disepelekan banyak orang adalah hadir di dalam masjid sebelum khotib naik mimbar. Ada yang santai menghabiskan sisa rokok-nya di luar masjid meski khotib sudah naik mimbar.
iya pak. sering lihat saya. apalagi masjid di siniada tempat buat duduk2nya
Iya Pak, keren ya lelaki ketiga.
Saya juga kagum ama lelaki ketiga ini 🙂
aku ingin, tetapi aku perempuan… 😀
#apasih
mungkin di masjid2 tertentu bisa, mbak 🙂
Rasanya pernah mendengar kalau perempuan juga diperbolehkan untuk ikut sholat jumat. Tapi saya tidak tau hadisnya bagaimana. Bang Rifki, mohon dijelaskan kalau berkenan.
Mbak Inge, maap ya saya menyela di komentarnya Mbak.
Terimakasih
boleh aja kalau perempuan ikutan shalat jumat
tfs
Sama-sama
AKu tak melihat bagaimana sosok lelaki yang berbicara dengan nada cukup keras itu. Namun aku bisa memastikan bahwa dirinya duduk pada barisan paling belakang, bersandar pada dinding. —-) kalau sedang berada di dekatnya, wajibkah menegur dengan halus?
silahkan baca hadits di akhir tulisan di atas. mungkin bisa menemukan jawaban
Baiklah
Siippp
jangan si abang sambil dgr khatib smbil bawa lepi terus terinspirasi lalu jadiin cerita dech… hehehe
😀
inget… nggak boleh suuzhan
gak suudzon.. cuma nanya aja.. drpd saya sujojon… hehehe
ya nggak mungkinlah bawa lepi ke masjid saat jumatan 😛
atau mungkin di simpen tulisannya di samsungnya abng gt…
*msh aj…
nggak juga 😛
ngga salah ya bang mksdny??? 😛
😀
bu guru pasti lebih paham
paham apa ya??
😛
silahkan cari tahu.
itu jadiin PR aje yeh 😀
kan anak tk gk blh ada PR bang.. 😀
ini bukan anak TK, tp buat ibu gurunya 😀
kan gurunya sebagai contoh jdi gk blh juga dikasih PR>> 😛
enak banget yeh… nggak ada PR
iya dunkz…. 🙂
bagusnya seh di rumah enggak ada PR, biarin aja main dan kumpul sama keluarga yah
iye …maen terus di rumah.. ntar kalo ga bs baca gurunya yang ditanya dah… jadi PR dah buat gurunya…
Nah itu…. Akhirnya ada PR buat gurunya.. 😀
seneng bener romannya kalo gurunya dapat PR…
hmmm
😀
nggak sih, cuma memastikan doank
kenapa dipastiin dah????
Ya kalau nggak pasti… Malah ngegantung…. *apacoba*
Saya jg ingin jadi lelaki ketiga, tapi belum punya anak-istri, gimana dong? Hehe… 😀
belajar aja dulu jadi seperti lelaki yang ketiga 😀
mencaricari lelaki ketiga.. *apadeeehhh..
😀
mungkin akan ketemu di jumat ketiga, mbak
ehyah soal lelaki kedua, mungkin dia seperti daku deh punya masalah pendengaran, jadi lebih baik membaca daripada bengong ga denger apa2 toh? toh bacaannya alquran?
ku suka gitu kalu pengajian kalu duduknya di belakang, tapi kalu duduk di masih bisa baca bibir ustadz & ustadzah..
kalau dasarnya pakai hadits yang ada di bagian akhir, ktentuan itu berlaku untuk umum, mbak.
Request laki-laki ke tiga dong
waduh…. requestnya jangan ke saya donk. 😀
Haha 😀
lagian juga karena datangnya telat, saya nggak ngeliat sosok lelaki ketiga itu… 😀
Klo telat ga dapat daging dong ya?
*kiasan buat org2 sesuai urutan datang ke mesjid pas shalat jum’at
saya ingetnya ukuran hewan, makin belakangan datangnya makin kecil hewannya
Iya. Yg pertama dapat unta, trus daging sapi trus daging ayam trus telur 😀
yup, begtu yang pernah saya dengar