Lelaki itu melangkah cepat memasuki ruang kerjanya sambil menenteng nasi bungkus di tangan kanannya. Tangan kirinya memegang perutnya yang sejak mengantri panjang di warung nasi belakang kantor sudah meminta jatah di siang hari.
Zul, lelaki itu, tak langsung menuju meja kerjanya. Dia arahkan langkah kakinya menuju pantry untuk mengambil piring dan sendok yang akan dia gunakan untuk makan siang. Tak lupa sebuah gelas juga diambilnya untuk kemudian diisinya penuh dengan air putih dari dispenser. Selanjutnya, Zul membawa semua barang-barang yang sudah berada di tangan menuju meja kerja. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman, Zuk membuka bungkusan berisi nasi lengkap dengan lauk-pauk, lalu menyantapnya.
“Baru makan, Bro?”
Tiba-tiba suara yang tak asing itu mengagetkan Zul. Koswara yang mungkin baru kembali dari istirahat dan makan menghampiri Zul.
“Ya,” jawab Zul singkat.
“Nasi bungkus lagi?” ucap Koswara dengan nada penuh keheranan.
“Emangnya ada apa dengan nasi bungkus? Halal kan?” Zul balik bertanya.
Koswara tak menjawab, hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya di sudut ruangan. Zul sendiri langsung menikmati makan siangnya. Perut kosongnya tak bisa menunggu lama lagi.
Baru sekitar separuh porsi makan siang yang masuk ke dalam perut Zul, Koswara datang lagi dan langsung duduk di hadapannya.
“Bro, loe ada masalah?” Tanya Koswara.
“Masalah apa?” Zul balik bertanya.
“Ini!” sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya memberi isyarat.
“Maksud loe?”
“Fulus, fulus… uang” imbuhnya.
“Tidak ada,” jawab Zul sambil melanjutkan makannya.
“Jangan bohong, Bro! Gue kenal loe sudah lama. Gue tahu semua kebiasaan loe di kantor ini, termasuk menu makan siang loe.”
Zul hanya tersenyum.
“Yang gue tahu, biasanya, makan siang loe itu ya samalah dengan gue dan teman-teman di sini. Menu yang biasa loe santap lebih daripada yang loe makan sekarang, minimal nasi goreng dan jus. Lah, ini udah beberapa hari gue lihat yang loe makan enggak jauh dari nasi bungkus, gado-gado, atau ketoprak, plus air putih,” papar Koswara panjang lebar.
Rupanya Koswara sangat perhatian dengan kebiasaan kawannya, hingga soal menu makan siang Zul pun tak luput dari perhatiannya.
“Ganti selera boleh-boleh aja kan?” timpal Zul ringan.
“Gue yakin pasti ada apa-apa nih. Gak mungkin loe seperti gini. Tenang, Bro! Gue akan bantu dengan cara yang gue bisa. Oke, Bro?” balas Koswara seraya meninggalkan Zul begitu saja yang masih menyisakan beberapa suapan terakhir. Tak sempat Zul menghentikannya karena di mulutnya masih penuh dengan makanan.
Sejujurnya, Zul mengakui bahwa apa yang ditangkap oleh Koswara memang benar adanya. Dirinya memang sedang berhemat. Ada pengeluaran yang jumlahnya cukup besar di bulan ini. Mesin pompa air di rumah orang tuanya rusak dan harus diganti. Namun dirinya belumlah membutuhkan bantuan dari siapa pun. Jumlah tabungannya masih bisa mencukupi meskipun dengan resiko harus banyak penghematan yang harus dilakukan di bulan ini.
—–ooo0ooo—–
Pukul empat belas lewat beberapa menit, Zul masih bergelut dengan berkas-berkas pekerjaan di mejanya. Tiba-tiba, Siska, Sekretaris Direktur, mendekati meja Zul.
“Mas, diminta ke ruangan Pak Direktur!” pintanya.
“Oh, iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Zul.
Segera Zul merapikan berkas-berkas di mejanya. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah menuju ruangan Direktur.
Baru beberapa langkah Zul mengayunkan kaki dari mejanya, tiba-tiba Koswara berteriak dari arah belakangnya, “Good luck, Bro!” sambil mengacungkan ibu jari kanannya.
Terlintas dalam pikiran Zul sebuah pertanyaan, “Apa maksud dari ucapan Koswara tersebut?” Namun Zul segera mengalihkan pikirannya kepada pekerjaan-pekerjaan yang sedang ditanganinya, karena bisa saja semuanya itulah yang akan ditanyakan Direktur kepadanya dan itulah tujuan dirinya dipanggil.
Zul mengetuk pintu ruangan Direktur.
“Masuk!” jawaban dari dalam ruangan.
Segera Zul membuka pintu dan memasuki ruangan.
“Zul, silahkan duduk!” ucap Pak Direktur ramah teriring sebuah senyuman di wajahnya yang penuh wibawa.
Pak Tri, Direktur Perusahaan yang satu ini memang Zul rasakan berbeda dengan direktur sebelumnya. Ramah, membumi, murah senyum, dan tak jarang beliau menyapa terlebih dahulu anak buahnya jika berpapasan di jalan.
“Apa kabar? Semuanya baik-baik saja kan?” tanya Pak Tri sambil menjabat tangan Zul.
“Alhamdulillah, baik, Pak!” Jawab Zul.
“Syukurlah. Kita ngobrol-ngobrol sebentar. Tidak mengganggu pekerjaanmu, kan?” Kembali Pak Tri bertanya
“Oh, tidak, Pak!”
“Zul, saya sudah cukup mengenalmu. Mungkin pembicaraan kali ini jangan dianggap antara bawahan dengan atasan, tapi anggaplah sebagap obrolan sesama kawan. Oke?”
“Baik, Pak.” Jawab Zul singkat meski dirinya belum bisa menebak ke mana arah pembicaraan yang dimaksud oleh Pak Tri.
“Begini, Zul. Tadi siang, Koswara menghadap ke saya dan menceritakan tentang kondisi dirimu beberapa hari ini.”
“Hm, rupanya ini yang dimaksud dengan dengan ucapan Koswara tadi,” pikir Zul.
“Kamu sedang ada masalah keuangan, Zul?”
“Tidak ada, Pak!”
“Kamu yakin?” Pak Tri bertanya untuk memastikan. “Sepertinya tidak demikian jika saya mendengar apa yang diceritakan Koswara. Kamu tak usah sungkan-sungkan. Kamu tahu, proyek yang kamu tangani akan selesai dalam dua hari. Sementara, semua yang terkait dengan proyek tersebut sudah kamu selesaikan seratus persen beberapa hari yang lalu. Jika kamu mau, saya akan cairkan honormu terlebih dahulu, toh itu juga akan menjadi hakmu dalam waktu dekat.”
“Saya kira tidak perlu, Pak. Terima kasih.” Ucap Zul.
“Kenapa kau menolak?” Tanya Pak Tri dengan sedikit heran.
“Alasan saya, pertama, saya tidak sedang dalam masalah keuangan seperti apa yang Koswara ceritakan kepada Bapak. Mungkin itu adalah bentuk perhatian seorang sahabat, saya hargai sikapnya tersebut. Kedua, saya belum mau menerima apa yang belum menjadi hak saya. Memang kewajiban yang menjadi tanggung saya sudah saya selesaikan sepenuhnya. Tapi apa yang menjadi hak saya baru akan terjadi dalam dua hari ke depan, seperti yang tertera dalam kontrak kerja. Jika saya menerimanya sekarang, itu artinya saya berhutang. Saya tidak mau, Pak. Apa lagi saya memang tidak dalam kondisi kekurangan. Apa yang ada di tangan saya, insya Allah, sudah cukup. Terima kasih atas tawaran, Bapak. Tapi maaf jika saya harus menolaknya.” Jawab Zul tegas.
“Hebat! Hebat! Saya salut dengan prinsipmu. Saya pun menghargai pilihanmu. Baiklah. Terima kasih atas waktumu, silahkan kamu lanjutkan pekerjaanmu. Semoga kesuksesan menyertaimu.” Pak Tri kembali berdiri dan menjabat tangan Zul. Bahkan kali ini Zul merasa jabat tangan tersebut lebih erat dari sebelumnya.
Zul melangkahkan kaki keluar dari ruangan yang dirasakannya penuh dengan kehangatan dan kembali ke meja kerjanya.
—–ooo0ooo—–
Zul mempercepat ayunan langkahnya menuju basement tempat dia memarkir motor karena langit sore itu yang dilihatnya dari jendela ruang kerjanya diliputi awan mendung. Zul berharap, jika dia segera pulang, maka dia tak akan kehujanan.
“Bro! Tunggu!”
Zul memalingkan wajahku ke sumber suara itu. Zul melihat seorang laki-laki berlari-lari kecil mendekatinya. Siapa lagi kalau bukan Koswara yang memanggil Zul dengan sebutan demikian. Senyum di hati Zul mengiringi lintasan di dalam pikirannya, “Jangan-jangan dia lupa dengan namaku yang sebenarnya sampai-sampai setiap kali kesempatan, dia selalu memanggilku dengan sebutan itu.”
“Gimana tadi? Sudah dapatkan bagian loe?” tanya Koswara dengan sedikit terengah-engah.
“Belum,” jawaba Zul singkat.
“Lho, kenapa?”
“Karena gue belum perlu dan belum jadi hak gue.”
“Ah, sombong loe!” ucap Koswara.
“Gue pikir itu bukan sebuah kesombongan, tapi sebuah harga diri.” Tampik Zul.
Koswara hanya terdiam.
“Tapi terima kasih atas perhatian loe. Jujur gue akui bahwa diri loe adalah sahabat gue yang terbaik. Senang gue menjalin persahabatan dengan loe. Ok, gue berangkat duluan, Bro!”
Baca Juga Cerpen Lainnya :
Ini cerita di novel kan? Gpp diposting duluan?
Diubah sedikit dari sebelumnya. Ini cerita saya buat waktu di MP dulu. cuma nggak keimpor ke sini.
Oowh..jdi bikinnya udh dri zaman MP toh..eh iya yah..novel itu kan udh lama ya mas buatnya..
Gak keimpor tapi untungnya ada filenya ya…
Iya. Dari zaman MP. Udah setahun umurnya bulan depan.
Saya backup postingan saya dlm bentuk impor ke WP dan file html. Yg ke file html hampir semuanya kecuali QN. Komen-komennya juga ngikut
Masih bayi dunk..kan setahun umurnya 😀
Sy gak ngerti..back up dlm bentuk file html mksdnya gimana…??
Satu jurnal di MP jadi satu file html. Bentuknya seperti pas buka blog ini terus klik file -> save as -> jenisnya pilih html.
Ehm…kok agak bingung ya..hehe..
Sya kmrn mah ngesave manual aja klo yg diprivat..
Waktu itu pake tools dari firefox. Masuk ke halaman yg isinya list judul postingan… Save all.. Langsung kesimpan 500 postingan setiap halamannya
Oowh..kayaknya udh smpt nyobain juga deh, awal2 migrasi sbelum tau toolsnya mas febian.. Tapi gagal wktu itu…
Saya nyoba langsung berhasil koq. Foto2 yg udah diupload sebagian bdaar bisa didownload. Alhamdulillah
gak tau..sy dlu berulang2 deh rasanya..
gagal mulu…nyerah deh akhirnya..
trus dpt info tools mas febi itu, sama pake tools dari mp sendiri, ama save manual..yaa..lumayanlah..
Ya penting ada backup-an. Yup. Lumayan.
yoyoiiii…
haha..itu bahasa gaulnya anak sekolah 😀
Baru tahu… Soalnya saya nggak gaul sama anak sekolahan seh 😀
iyalah..mas rifki kan gaulnya ama bapak2 ama ibu2..
saya ama anak sekolahan..jadinya berasa mudaaa aja terus..xixixi..
Kadang2 ada juga anak sekolahan di kantor. Lagi pada magang.
coba sekali2 berakrab2 ama anak sekolah mas..biar ada dinamika, dan klo udh deket, biasanya mereka akan lancar cerita atau curhat..
yaa..buat bekal sebagai org tua klo ntar anak udh remaja..:)
*kok malah ngatur..maaf..maaf…
Saya udah deket sama syaikhan. Syaikhan.kan udah sekolah
maksudnya anak sekolah yg lagi magang di kantor..yg cowok tapi, jgn yg cewek.. 😛
Saya maunya yg cewek 😀
gubraaaax…
anak sekolah diembat… 😀
*becanda yaaaa…hehe..
asal perempuan 😀
Iyalah…klo laki2 hombreng dong.. 😀
kaya nyanyian di film si unyil dulu yah…
hom pim pah alayhim hombreng
kurang panjang penjelasannya
*kata mas rifki dalam hati, “haduuh anak ini cerewet banget” 😀
😀
Harus dirincikah jumlahnya?
nggak. cuma pas bacanya berasa nanggung gitu 😀
Hmmm… Nanti deh dicoba lagi. Tadinya saya edit mau saya ikutin lomba yg salah satu syaratnya minimal 1000 kata. Makanya saya tambahin. Tp nggak jadi sebab harua bikin dua tulisan. sementara tulisan satunya saya ngga sanggup.
Cuma tetep masih kurang di bagian penjelasannya 😀
Lomba cerpen?
Tulisan pertama fiksi. Tulisan kedua non fiksi…. Tentang pramodya…
Wah. Nyerah deh
Makanya akhirnya nggak jadi diikutin 😀
Terakhir saya ikut lomba yang cerpen femina 😦
Yang lomba duet itu nggak jadi?
Nggak. Nggak ada teman duetnya 😀
Oooo… Kirain jadi ikutan 😀
Sempat mau bikin yang ide yg saya bilang kemarin. Cuma masih bingung sama plotnya. Sama nggak bisa bikin puisinya 😀
Emangnya harus ada puisinya?
Ide awalnya ada surat cinta bentuk puisi gitu. Tapi nanti mau nulis ceritanya dulu deh. Kalau udah selesai baru dipikirin lagi isi suratnya apa
Yup. Bikin aja dulu yg bisa. Yg susah belakangan aja.
Mau bikin lanjutan selina juga sih. Tapi masih ngumpulin mood nulisnya. Hik
Sekarang libur kan? Blm masuk kantor baru… Bisalah cari mood 😀
Justru itu. Saya lancar nulis kalau lagi di kantor 😀
😀
Gitu yah…. Jadiin aja rumah sebagai kantor. Biar mood selama ada di rumah
Ya juga sih. Padahal nulis di hape juga bisa. Intinya sih masih malas dan belum nemu kata pembukanya. Emang susah dah kalau ketemu sama si malas ini
Memangnya harus dibukin dari awal? Bukannya bisa dibikin tengahnya dulu atau belakangnya dulu… Yg gampang yg dibuat terlebuh dahulu. Itu kalau saya 😀
Kalau saya harus nemu kata pembuka dulu biasanya, baru bisa mulai nulis. Bagian tengah atau ending biasanya disimpan aja di kepala sampai nemu kata pembukanya 😀
Ooo…. Masing-masing beda caranya. Tp emangnya seh… Bagian.pembukanya yg paling susah.
Soalnya bagian pembuka itu menentukan apakah cerita bakalan dibaca lagi apa nggak. Makanya harus benar2 dipikirin 😀
Saya juga susah di ending kok. Selalu terburu2
mungkin begitu seharusnya kali yah… dan ternyata hasilnya OK. masuk tabloid 🙂
Untung-untungan kalau yang itu mah. Hehe
dan alhamdulillah beruntung 😀
🙂
🙂
Asik dapat bonus komen lagi 😀
udah ah. udah ada lapak baru 😀
udah komen di sana
terima kasih.
CLOSED
kerenz .. hari gini masih ada yg punya prinsip kya gt… 🙂
perhatian jg ye si koswara .. abang ky koswara kaga yang suka prhatian?:D
Sepertinya nggak. Saya nggak perhatian orangnya… Hmm… Kurang perhatian
kayany mo’nya diperhatiin…hehehe:P
Nah kalau itu…. Bangeeeettt 😀
ah si abang curang… masa mo’nya diperhatiin kaga mao perhatiin eneng dah… #hmmmm
😀
Ya mungkin nanti bisa belajar buat merhatiin… asal sabar
cari eneng yang anakny pak sabar dlu bang biar sabar gtu bang enengnya… 😀
Perempuan itu punya bakat untuk sabar koq 😀
bakatnya sabar ma suka menyanyi ye bang… hehe
Ya banyak… Tinggal dipilih mana yg mau dikembangin
aye mo pilih kembang tulip ma mawar putih aje dech bang… hehehe
*loohhh 😀
Ya kalau ada bisa dipilih 😀
ada ya bang??? 😀
Saya bilang… Kalau… Kalau ada
😀
Kalau tulip dari kertas putih, saya bisa bikinin.
tu mah jagonya si abang bkin bgituan… hehe..
😀
Bisanya bikin itu doang
bntr lg jg aye bs bikin tu bang… hehehe 🙂
*cari2 si mbah gugel..
selamat mencoba dan semoga lancar
tapi yang aye kaga bisa bikin dalam bunga tulipnye itu bang.. 🙂
Emang dalam bungnya mau diisiin apaan?
lah pan dlm bunga nya abang ada isinya… ya kaga?? 😀
Ya ditulis apa aja kalau emang mau diisi dalamnya
Good Zul! Lanjutkan. 🙂
Suka karakter lelaki seperti ini, memberi nafkah istri dengan yang halal.
Rezeki yg diterima emang halal. Nggak ada yg haram. Cuma waktunya aja yg beda status… Kalau terima hari ini dianggap hutang… Tp ya tetep halal
Ya.. Ya.. Ya.. 🙂
Iya begiti ceritanya
Terimakasih ya Bang sudah dibetulkan. Setidaknya Zul ini punya sikap, menunggu sampai rezeki itu menjadi haknya. Maksudnya begitu. *ini mah bukan ngeles
Hahaha….
Sama-sama
🙂
maksudnya baik tapi salahnya belom tentu diterima.. ehtapi yang ginigini emang soal prinsip, bukan soal harga diri deh.. beda tipis sih ya.. 😀
iyia yah…. lebih deket ke masalah prinsip ya mbak 😀