Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakatuh
Dinda. Masih bolehkah aku memanggilmu dengan sebutan itu? Meskipun aku sudah mengetahui namamu. Bahkan nama lengkapmu yang indah. Nama yang dipenuhi dengan harapan dan doa dari kedua orang tuamu. Ketahuilah, bahwa suaraku bergetar ketika pertama kali menyebut nama lengkapmu yang disusul dengan nama ayahmu ketika pelaksanaan ijab-qabul sebelas bulan yang lalu.
Saat itu, mahar yang kuberikan adalah bukti kesungguhanku untuk memilihmu dan memilikimu, sebab aku tak pandai berjanji. Entah berapa pasang mata menjadi saksi ikatan di antara kita berdua, sebab yang demikian memang tak perlu ditutupi. Sentuhan dan genggaman tanganku atas tanganmu saat kita berada di pelaminan adalah sebuah tanda bahwa di mataku engkau mulia, sebab itu adalah sentuhan kita yang pertama kali.
Dinda, terima kasih atas kesempatan yang kau berikan untuk menjadi suamimu. Terima kasih karena telah bersedia menjadikan diriku seorang imam dalam kehidupanmu.
Dinda, kuawali surat yang kutulis di dalam perjalanan tugasku kali ini dengan bahasan tentang seorang ibu. Mungkin kau sudah tahu bahwa diriku, seperti juga dirimu, adalah seorang anak yang lahir dari seorang ibu. Kelak dirimu pun akan menjadi seorang ibu dari anak-anakku. Kau juga sudah tahu bahwa di dalam diriku, sama seperti dirimu, terdapat daging dan darah yang berasal dari air susu seorang ibu. Kamu mungkin juga sudah tahu bahwa saat kita bertemu pertama kali, sama seperti juga dirimu, aku sudah tumbuh besar, berpendidikan, dan berpenghasilan, yang semuanya itu merupakan doa dan kerja keras dari seorang ibu, juga ayah. Kedua orang tua kita.
Karenanya, aku tidak bisa menerima jika dirimu menghina ibumu sendiri, baik di hadapanku atau di hadapan orang lain.
Mungkin kamu merasa heran dan bertanya-tanya tentang kalimat yang baru saja kau baca. Mungkin dalam hatimu, dalam pikiranmu, atau bahkan keluar dari lisanmu sebuah sanggahan, “Aku tak pernah menghina ibuku dan aku tak mungkin menghina ibuku sendiri!”
Ya, kamu benar. Di dalam kebersamaan kita selama sebelas bulan ini, tak sepatah kata pun aku mendengar kamu menghina ibumu. Bahkan yang selalu kudengar darimu adalah pujian yang tak henti tentang ibumu. Aku pun menjadi kagum terhadap ibumu.
Aku hanya mengingatkan diriku dan dirimu. Jika suatu ketika dirimu marah dan kesal akan sikapku, cukuplah kau melimpahkan kemarahan dan kekesalanmu itu kepada diriku seorang. Janganlah kamu mengaitkannya dengan ibuku yang tidak tahu tentang apa yang terjadi di antara kita berdua.
Mungkin dirimu belum pernah mendengar dan mungkin juga karena kelalaianku yang belum memperdengarkanmu sebuah hadits yang pertama kali kudapati ketika aku duduk di bangku sekolah.
Abdillah bin Amru bin Al Ash RA, dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Diantara dosa-dosa besar yaitu, seorang mencela kedua orang tuanya.”
Ditanyakan pada beliau, “Mungkinkah seorang itu mencela kedua orang tuanya sendiri?”
Rasulullah SAW bersabda, ”Ya, tatkala seseorang mencela ayah orang lain, berarti ia mencela ayahnya sendiri demikian jika ia mencela ibu orang lain, berarti ia mencela ibunya sendiri.” (Muttafaq ‘Alaih)
Jika dirimu bertanya, apakah aku akan memaafkanmu jika kamu melakukan hal tersebut, aku tak bisa menjawabnya. Mungkin aku akan memintamu untuk meminta maaf terlebih dahulu kepada ibumu, kemudian kepada ibuku, lalu kepadaku.
Berat? Tentu saja tidak. Karena semuanya tidak perlu kamu lakukan jika kamu melimpahkan kemarahan dan kekesalanmu itu hanya kepada diriku seorang. Dan mungkin kamu tidak perlu marah dan kesal kepadaku jika kamu menyadari bahwa lelaki yang kamu pilih hanyalah lelaki di akhir zaman yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan seperti aku menyadari bahwa perempuan yang aku pilih hanyalah perempuan di akhir zaman yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Kita hanya perlu meyakini bahwa di balik kesalahan dan kekurangan yang kita miliki, Allah pasti menyelipkan kebaikan-kebaikan dan kelebihan-kelebihan di dalam diri kita masing-masing.
Dinda, saat ini aku sedang tidak berada di sisimu. Pekerjaanku mengharuskan diri ini meninggalkanmu. Sementara waktu. Melalui bagian selanjutnya dari surat ini, aku akan berbagi cerita tentang perjalanan yang kulalui. Melalui surat ini, aku akan berbagi pelajaran yang mungkin akan berguna bagi kita, akan bermanfaat untuk menguatkan biduk rumah tangga kita dalam mengarungi kehidupan.
Dinda, jalan yang kulalui di pulau seberang ini terus menanjak dan berkelok-kelok. Terasa berat sekali bagi diriku yang baru pertama kali melalui jalur ini. Di sini kanan jalan, jurang menganga yang siap menelan para pengendara yang lengah atau lepas kendali. Karenanya dibutuhkan kehati-hatian yang lebih dibandingkan dengan menyusuri jalur datar dan lurus. Di sisi kiri jalan, tebing yang cukup tinggi dan curam. Bahaya longsor bisa saja mengancam tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Dari depan, kendaraan yang berhenti tiba-tiba bisa jadi pangkal bencana. Begitu juga kendaraan terutama truk yang menuruni jalan di jalur sebelah kanan. Jika sang sopir tidak bisa menguasai kendaraannya, tabrakkan pun tak terelakkan. Sebaliknya, jika kendaraan yang kutumpangi tidak hati-hati, maka kendaraan inilah yang menjadi sumber petaka bagi kendaraan-kendaraan di belakang. Keindahan alam yang terpampang luas pun bisa jadi melengahkan. Dan yang demikian itu tetap harus diwaspadai.
Dinda, kiranya seperti itulah jalur kehidupan yang sedang kita lalui bersama. Segala kemudahan dan keindahan di awal-awal perjalanan, bukan berarti akan selalui kita temui di setiap jengkal kehidupan kita. Adakalanya onak dan duri menyapa. Adakalanya keindahan semu menggoda. Adakalanya semak belukar membelenggu kaki kita ketika akan melangkah lebih jauh. Sendiri mungkin kutak mampu. Tapi keberadaanmu di sisiku adalah sebuah kekuatan dan semangat baru untukku.
Di sebuah titik jalur yang kulalui, tiba-tiba semua kendaraan di depan menghentikan lajunya. Rupanya sedang ada proses perbaikan jalan beberapa ratus meter di depan. Demi kelancaran, kebijakan buka tutup pun di lakukan. Aku pun keluar dari mobil untuk sekedar meluruskan kedua kakiku yang mulai terasa pegal-pegal. Kuhirup udara sejuk di mana kuberdiri. Kuarahkan pandangan mata ke sekelilingku. Hijau dan hijau. Pepohonan itu seakan-akan memanjakan kedua mataku dengan keindahan dan keceriaan warna mereka.
Dinda, mungkin ada kalanya kita harus berhenti sejenak dalam mengejar apa yang menjadi cita-cita kita berdua. Bisa jadi itu lebih baik daripada memaksakan kehendak yang berujung pada kegagalan dan kekecewaan. Istirahat sejenak itu bukan sebuah kekalahan. Tetapi momen untuk mengumpulkan kembali tenaga, bekal, dan amunisi serta mematangkan perencanaan yang sudah kita tetapkan semula.
Cukup lama juga aku berhenti. Diam. Tanpa aktifitas yang bisa kulakukan. Terbersit sebuah keinginan untuk kembali pulang dan membatalkan tugasku. Padahal aku sudah tahu, jika kulakukan, maka reputasiku sebagai pegawai akan tercoreng. Bahkan bisa jadi, apa yang telah kuraih sekarang akan hilang dari genggaman.
Sebagai hiburan pelipur lara, kukeluarkan hanphoneku. Kubuka folder gallery berisi gambar dan video yang kuambil untuk mengabadikan momen-momen seluruh perjalanan hingga tiba di titik ini. Satu-persatu kulihat foto dan video hasil keisenganku mengabadikan apa yang telah kulewati. Ada keindahan yang terlihat. Ada kebersamaan yang melekat. Ada semangat yang menguat.
Dinda, mungkin di suatu masa nanti, kita akan merasakan kejenuhan yang berujung pada sesuatu yang diawal tidak pernah terpikirkan oleh kita berdua. Jika tiba masa itu, sebelum salah mengambil keputusan, mungkin ada baiknya kita melihat album kenangan kita bersama. Rasakan kembali keindahan itu. Lekatkan kembali kebersamaan itu. Kuatkan kembali semangat itu.
Ngirim 2 naskah ya, mas?
iyah. maksimal dua naskah jadi ya kirim aja dua 😀
Ooo. Moga menang ya 🙂
terima kasih. sekalian uji coba naskah 😀
Yg kmrn belum dikirim?
ya belum. baru benerin separuh… mungkin 3/4… ternyata akhir pekan ada kegiatan keluarga jadi nggak selesai
Ooo
😀
Aamin YRA
waah…panjangnya..gabungan berapa surat nih..?
dindanya smpe ketiduran bacanya saking panjangnya.. 😀
bisa dilanjut di dalam mimpi 😀
waktu mimpinya suratny bisa ngomong sendiri..ternyata si kakanda lagi bacain suratnya di samping dinda
*uhuuuy.. 😀
so sweeeeeeeet
😀
naaah…sy tuh pinter mas bikin cerita yg romantis2..
tapi sengaja gak mau bikin..takut kebawa pengen… 😀
😀
kepengen aja udah takut… gimana kalau kejadian 😛
yaa…kalau kejadian bukan takut, tapi ketagihan..haha.. 😀
ooooo….. kiain 😀
kirain apa..??
*wajib jawab 😛
ya kirain tambah takut
yaa…awalnya sih takut, dan agak sedikit malu2…xixixi..paan sih^^
nggak tahu juga maksudnya apa
hehe..yo wes pura2 gak tau ajalah..
okelah
Oooh.. ini perpaduan beberapa cerita ya?memang ada ketentuan panjang naskah?
wa alaikum salam Wr. Wb *membalas ucapan salam, karena kalau ada salam bukankah wajib dijawab kan ya?
iya. terima kasih.
🙂
sepertinya nggak ada ketentuan mengenai panjang naskah di peraturannya
bisa pendek berarti ya.. hmm…
bisa.
🙂
hiks aku pengen ikutan GA ini tapi lom sempet juga nulisnya… semoga menang yaaaaa
masih ada kesempatan koq mbak… beberapa hari lagi.
terima kasih
owh,,dindanya udh jd istri di sini,,emaknya syaikhan ya brrti,,
bukan mbak… ini satu link tambahannya lagi
http://wp.me/p3S7a-xB
suratnya panjang bener … tp so sweet n romantis jg sih, ngebacanya jg sampe terhipnotis n merinding … enaknya bc suratnya smbl dgr lagu2 yg romantis tuh … 😀
silahkan puter aja lagu yang ada di handphone
D handphone saya ngga ada lagu romantis yg ada lagu2 aliran datar … 🙂 sayangnya jg saya blm jd istri sapa2 … 🙂
😀
cengirnya cengir ngga enak bgt ka … xixixixixi
enak koq
Mmg rasa apa ka koq enak … 😀
rasa apa aja… yang penting enak
Kalah dong makanan … :p
Ya tergantung makanannya. Doyan apa nggak.
Wahhh klo masalah makanan ma bagi saya sama smua ngga da yg enak n ngga enak kec sayuran …
Uppssss kok jd ngomongin makanan … Kasihan makanannya nnt jd tersedak … 😀
Iya. Kasihan makanannya
Heeh … Jd mau makan tp sdh mlm …
😀
sdh emoticon smiley yg kedua … berarti saya undur diri 😀
smoga menang ya tulisannya … jgn lupa hadiahnya bagi2 … hehehehe 😀
Terima kasih
Seumur umur saya belum pernah dapat surat atau mengirim surat, inilah surat pertama yang ku baca.
beruntung dong saya 😀
suka suka puisinya 😀
terima kasih… terima kasih 🙂
Aku suka caramu yang indah itu yang tanpa menggunakan tangan apalagi kaki, bahkan tanpa bersuara.–>
Disiram?
Masa cara begitu dibilang indah….
Ck… Ck… Ck…
Ya barang kaleeee
😀
Kau cara itu indah… Mgkn bisa dipraktekin nanti
?
Knp? Bingung?