
Sal, saat itu jam dinding di ruang tengah rumah kita menunjukkan pukul dua belas malam kurang beberapa menit. Aku baru saja tiba di rumah. Aku segera menuju kamar dan mendapati dirimu yang masih terjaga di atas tempat tidur. Kau menyambut kedatanganku tanpa senyum di wajahmu. Tak seperti biasanya. Kulihat kedua matamu berkaca-kaca. Sedetik kemudian, kau bangkit dan langsung memelukku bersamaan dengan isak tangismu.
“Kamu jahat, Zul? Kenapa kamu tega melakukannya?”
Kudengar pertanyaanmu yang terbata-bata itu. Aku tak bisa langsung menjawab. Aku bingung. Aku tak tahu apa yang telah kulakukan dan menyebabkan dirimu menangis.
Adakah perbuatanku yang salah? Aku bertanya kepada diriku sendiri. Dan aku belum menemukan jawabnya.
Kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum diriku tiba di hadapanmu. Di dalam pelukanmu.
Aku tak mengetahui pukul berapa tepatnya saat aku memulai perjalanan pulang menuju rumah. Aku hanya bisa memastikan bahwa malam sudah cukup larut. Kupacu sepeda motor dengan satu tujuan, bertemu denganmu.
Jalan yang kulalui sudah sepi. Sesepi hatiku tanpa dirimu. Cahaya lampu-lampu jalanan yang mencoba menemani perjalananku membelah langit malam seolah tiada arti. Udara dingin menembus jaket yang kukenakan. Menyapa kulitku. Membuatku rindu akan kehangatanmu.
Tiba-tiba, kurasakan sepeda motorku goyah. Perasaanku tak enak. Kutepikan sepeda motor untuk mengecek keadaan roda belakang. Ternyata apa yang kuduga benar adanya. Ban belakang sepeda motorku kempes. Bocor.
Kutuntun sepeda motor ke tukang tambal ban terdekat. Sempat muncul kekhawatiran kalau-kalau tukang tambal ban sudah tak ada lagi yang buka. Syukurlah, setelah beberapa puluh meter menuntun sepeda motor, aku menemukan tukang tambal ban yang masih buka.
Proses bongkar pasang ban pun segera dilakukan. Namun tukang tambal ban di tempat tersebut rupanya kurang berpengalaman. Akibatnya, waktu yang diperlukan untuk membongkar ban dalam yang rusak dan memasang ban dalam yang baru cukup lama. Aku hanya bisa menunggu. Aku tak bisa memberi kabar kepadamu di rumah karena handphoneku mati.
Ah, kutemukan jawaban untuk pertanyaanmu, Sal.
Maafkan aku, Sal. Aku tak berusaha keras untuk memberi kabar kepadamu. Seharusnya aku bisa meminta sedikit listrik kepada tukang bengkel itu untuk mengisi batere handphone agar bisa kugunakan untuk menelponmu dan menjelaskan keadaanku agar dirimu tak perlu merasa khawatir.
Sekali lagi, maafkan aku, Sal. Sekarang, kamu tak perlu khawatir lagi. Aku sudah di sini. Aku sudah di rumah. Bersamamu.
Kuhapus air matamu yang mulai membasahi pipi. Lalu kutemukan kembali senyum indah di wajah manismu. Hatiku tak lagi sepi. Hangat menjalari raga dan jiwaku.
****
Untuk memeriahkan MFF#33 : Love Is In The Air
Home – Michael Buble
Tulisan Terkait Lainnya :
nggak ada twist-nya?
hmm…. niat awalnya cuma bikin buat seri samara. ending romantis…. susah ngetwist π
Twistnya itu karena nggak nge twist… π
π
sebab niat awalnya pengen bikin yang romantis doank
Oh komunikasi, masalah klasik sebuah hubungan.
yup. komunikasi itu penting
Perempuan kalu berlinang air mata kan cantik jadi gimana gitu……. π
π
you know laaaaah
Hehehe… kurang brasa romantisnya π
kalau begitu silahkan baca seri samar lainnya aja π
Setuju..kurang romantis.. He he
π
berumah tangga itu kan nggak selalu romantis.yg romantis… bisa cek di http://wp.me/P3S7a-2kQ
lebay nih ceweknya haha
π
begitu yah, mbak?
mungkin lebay… mungkin juga nggak
curhat mas?
seperti komentar saya di atas…. tulisan ini semula untuk serial “samara” di blog ini… tapi dipaksakan untuk mengikuti prompt π