Kalimat tersebut terucap dengan lantang dari seorang bapak, sebut saja Bapak A (bukan inisial nama sebenarnya). Beliau memarahi saya dan teman-teman yang sedang asyik mengobrol, bercanda, dan tertawa-tawa selepas melaksanakan shalat maghrib berjama’ah. Beliau juga mengingatkan kami tentang tempat di mana kami berada saat itu. Di dalam masjid.
Kami langsung terdiam.
Tapi itu hanya beberapa saat. Selanjutnya, setelah Bapak A pergi, kami menyambung obrolan kami. Topik baru pun bergulir. Kami membandingkan cara memarahi Bapak A dengan seorang bapak yang lain, sebut saja Bapak B (bukan inisial nama sebenarnya juga). Keduanya pernah memarahi kami. Hanya kalimat yang keduanya gunakan yang berbeda.
Untunglah saat itu, saya dan teman-teman tidak terlalu ambil pusing dengan sikap kedua bapak tersebut. Jika saja kami semua merasa takut kepada keduanya, niscaya kami tidak akan pernah datang ke masjid lagi untuk ikut shalat berjamaah. Selanjutnya, mungkin, barangkali, setelah besar saya dan teman-teman tak akan lagi shalat di masjid untuk shalat yang lima waktu. Mungkin cuma shalat jum’at dan shalat di dua hari raya.
*****
Saya tidak bisa memastikan jam berapa saat saya mendengar alunan shalawat sore itu. Yang pasti sudah mendekati waktu maghrib. Shalawat tersebut dialunkan oleh anak-anak melalui pengeras suara dari beberapa masjid yang tak jauh dari tempat saya tinggal. Mereka melantunkan lafaz shalawat yang berbeda-beda. Sebuah keadaan yang mengingatkan akan masa lalu ketika saya masih anak-anak pula. Di masa itu, hampir setiap menjelang maghrib, saya dan beberapa teman sudah hadir di masjid. Kami berkumpul di depan mimbar. Kami kemudian membaca beberapa macam bacaan shalawat, mengikuti bacaan dari seorang remaja masjid yang memimpin kami.
Setelah beristirahat beberapa saat sepulang dari kantor, adzan maghrib berkumandang. Saya bersiap kemudian berangkat ke masjid.
Tiba di masjid, jama’ah sudah banyak yang datang dan sudah membentuk barisan shalat. Biasanya, jama’ah shalat Maghrib jumlahnya paling banyak dibandingkan di empat waktu lainnya. Di antara para jama’ah, ada anak-anak yang bergerombol di beberapa tempat. Sebagian di antara mereka ada yang sudah masuk dalam barisan shalat namun masih sesekali bercanda. Di bagian belakang, beberapa anak masih asyik ngobrol.
“Jangan ngobrol!”
Suara seorang jama’ah menghentikan obrolan anak-anak tersebut. Nadanya cukup tinggi. Terkesan memarahi. Mungkin tak jauh berbeda dengan bagian awal dari coretan ini. Dan sepertinya, memang seperti itulah umumnya yang terjadi di setiap masjid di mana terdapat teman-teman cilik yang ingin ikut bergabung dalam barisan shalat berjama’ah.
Muncul praduga dalam pikiran saya bahwa anak-anak yang bercanda dan tertawa di dalam masjid tersebut datang seorang diri, tanpa ayah mereka. Sebab jika mereka datang bersama sang ayah, mereka akan diawasi oleh ayah masing-masing atau setidaknya mereka akan diberikan nasihat agar tidak bercanda ketika sedang shalat. Saya pernah melihat seorang anak yang mungkin berusia di bawah lima tahun yang datang bersama ayahnya dan berdiri di samping sang ayah ketika shalat berjamaah. Sang anak tidak bercanda, tidak bicara, dan tidak tertawa. Menengok ke sana dan ke mari memang masih dilakukannya, tetapi hal itu tidak mengganggu jama’ah yang lain.
Penyebab lainnya mungkin karena susunan barisan jama’ah yang tidak sesuai dengan kaidah yang diajarkan oleh Rasulullah. Susunan barisan shalat berjamaah yang dijelaskan dalam sebuah hadits adalah sebagai berikut :
– barisan lelaki dewasa berada di belakang imam
– barisan anak laki-laki berada di belakang barisan lelaki dewasa
– barisan anak perempuan berada di belakang barisan anak lelaki
– barisan perempuan dewasa berada di belakang barisan anak perempuan
Dari susunan tersebut setidaknya dapat diambil dua buah poin pelajaran. Pertama, barisan anak-anak berada di tengah-tengah barisan orang dewasa, sehingga ada pengawasan terhadap mereka. Kedua, ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kaum perempuan dipersilahkan untuk shalat berjamaah di masjid. Namun, kebiasaan yang berlaku di masyarakat khususnya di tempat saya tinggal mengindikasikan bahwa kaum perempuan seakan-akan terlarang untuk shalat berjama’ah di masjid. Tetapi tentu saja, ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan ketika kaum perempuan ikut shalat berjam’ah di masjid.
Ah, saya jadi teringat masa-masa ketika saya berangkat ke masjid ditemani oleh Syaikhan. Saya terbayang ketika Syaikhan tetap ingin ikut ke masjid di saat shubuh meskipun kedua matanya masih terpejam. Saya menggendong Syaikhan baik berangkat dan pulang. Terlintas persitiwa ketika Syaikhan begitu menikmati suasana masjid meskipun shalat yang dilakukannya belumlah lengkap.
Maafkan Abi, Syaikhan. Tak bisa selalu mengajakmu ke masjid setiap hari. Semoga selalu ada Yangkung atau Ammi yang bisa mengajakmu untuk shalat berjama’ah di masjid agar kelak kau tumbuh dan tetap mencintai masjid. Aamiin.
Tulisan Terkait Lainnya :
Lha?
?????
Ikut mengaminkan … π
Dlm shalat bknnya perempuan lbh baik shalat d kamar ya???
yup… shalat di rumah dan berjamaah
dengan keasyikan ngobrol di masjid malah jadi kangen nuansa dulu kala sma dan kuliah kumpul bareng ma teman di masjid… selalu ada kenangan di sana… tentu dengan obrolan yang masih sesuai koridor dan ya sih perlu dibatasi agar tidak mengganggu ibadah orang lain…
masa lalu memang selalu meninggalkan kenangan π
ya kalau masjidnya luas, bisa milih tempat ngobrol, misal di terasnya… bukan di dalamnya biar nggak ganggu dan tenntu saja obrolannya yang bermanfaat…. masa ngegosip di masjid π
di mushala sya jga ramai sekali dgn anak2, komposisinya mungkin bs 80:20, terkadang cukup mengganggu dlm kekhusyuan shalat, tpi bgmn ya, namanya aja bocah..
iya mas. kalau bisa jangan dimarahin, nanti mereka malah takut ke masjid… tp ya harus sabar ngadepinnya π
Saya jadi ingat jaman kecil ada bapak-bapak yang seneng banget marahin anak-anak yan rame sampe saya sendiri jadi takut ke musholla kalo ada bapak itu..
nah… dikhawatirkan kejadian seperti itu, mas. ya semoga aja anak-anak yang dibentak (jika pun ada, mudah2an nggak ada) tetap berani datang ke masjid… mungkin ngajal bapaknya π