
Madu dan politik. Madu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah cairan yg banyak mengandung zat gula pd sarang lebah atau bunga (rasanya manis). Sementara politik diartikan sebagai (1) (pengetahuan) mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (spt tt sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); (2) segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb) mengenai pemerintahan negara atau thd negara lain; (3) cara bertindak (dl menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijaksanaan.
Kedua kata yang saya jadikan judul coretan kali ini, sepertinya tidak memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Yang pertama berupa benda yang nyata, dapat dilihat, disentuh, dan dirasa. Sementara yang kedua wujudnya tak terlihat namun dampaknya bisa dirasakan. Mungkin karena sudah menjadi salah satu kebiasaan saya untuk selalu mengait-ngaitkan dua hal yang berbeda di dalam coretan iseng saya di blog ini, seperti “Antara Kaca Spion, Masa Lalu, dan Masa Depan”, “Antara Lisan dan Klakson”, dan “Box Sepeda Motor dan Telor”. Adalah beberapa kejadian yang saya lihat ataupun artikel dan status yang sempat saya baca yang membawa imajinasi saya untuk mengaitkan keduanya. Mengaitkan sebuah artikel bijak yang bercerita tentang madu dan kondisi negeri tercinta ini yang dalam hitungan beberapa bulan ke depan akan mengadakan pesta demokrasi.
Bagi yang sudah membaca buku saya yang berjudul “Jejak-jejak yang Terserak” mungkin sudah pernah membaca salah satu cerita di dalamnya. Cerita yang mengisahkan tentang seorang raja dan madu.
Alkisah, dalam sebuah kerajaan, sang raja ingin menguji kejujuran rakyatnya. Untuk itu ia mengumumkan ke seluruh kerajaan bahwa dirinya memerlukan madu dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk itu ia meminta agar setiap rakyatnya memberikan madu tersebut, tak banyak, cukup satu sendok setiap orangnya. Sebuah wadah berupa tempayan disediakan dan diletakkan di tengah-tengah alun-alun kerajaan. Ke dalam tempayan tersebutlah setiap orang memasukkan satu sendok madu yang akan diberikan kepada sang raja.
Di hari yang ditentukan, berbondong-bondonglah rakyat dari seluruh pelosok kerajaan menuju alun-alun. Satu per satu mereka memasukkan stau sendok madu ke dalam tempayan dan kemudian menutupnya kembali.
Rupanya ada salah satu rakyat kerajaan yang berpikiran licik. Ia berniat tidak akan memasukkan satu sendok madu ke dalam tempayan sebagaimana yang diminta oleh sang raja. Yang dimasukkannya adalah satu sendok air. Ia melakukan hal demikian karena berpikir bahwa tidak orang yang akan mengetahui hal tersebut. Apalah artinya sesendok air di dalam tempayan yang terisi penuh dengan madu.
Menjelang sore hari, alun-alun kerajaan sudah sepi. Seluruh rakyat kerajaan telah kembali ke rumah-rumah mereka setelah melakukan apa yang diminta oleh raja mereka.
Merasa puas dengan apa yang telah dilakukan oleh rakyatnya, sang raja pun ingin melihat isi tempayan. Ia membayangkan bahwa tempayan tersebut telah terisi penuh dengan madu.
Namun alangkah terkejutnya sang raja, ketika membuka tutup tempayan tersebut. Tak ada madu di dalamnya, melainkan hanya air. Ya, hanya air. Rupanya semua rakyat kerajaan berpikiran sama.
Lantas, adakah kaitannya antara kejadian di dalam cerita tersebut dengan pemilu yang akan datang? Bisa jadi. Pemilu biasanya dijadikan sebagai titik awal sebuah perubahan di negeri ini. Mungkin akan lebih pas jika dikatakan titik awal perbaikan. Sebab perubahan tak selalu ke arah yang lebih baik. Sejarah mungkin sudah mencatatnya. Namun yang terjadi selepas pemilu terasa jauh dari apa yang menjadi harapan sebelumnya. Setidaknya begitulah yang saya lihat, baca, dan dengar.
Kecewa. Itu mungkin yang banyak dirasakan oleh masyarakat negeri ini. Selanjutnya, mereka yang kecewa akan antipati dengan pemilu lalu kemudian memutuskan untuk menjadi golongan putih atau golongan hitam. Golongan putih alias golput adalah mereka yang tidak mencoblos salah satu partai. Sementara golongan hitam alias golhit adalah mereka yang mencoblos semua partai. Hasilnya sama, suara golput dan golhit tidak akan diperhitungkan. Sebab penentuan pemenang pemilu tidak dihitung dari seluruh suara yang masuk, melainkan hanya dari jumlah suara yang sah.

Bisa jadi para golput atau golhit itu berpikir, tidak masalah jika suara mereka tidak diperhitungkan, paling cuma satu atau dua suara saja. Tidak signifikan dibandingkan jumlah penduduk Indonesia yang terdaftar sebagai pemilih. Tapi bagaimana jika kejadian di dalam cerita di atas terjadi saat pemilu nanti? Bagaimana jika yang berpikiran demikian bukan hanya satu dua orang, bukan hanya sekelompok atau segelintir orang saja?
Jika demikian yang terjadi, pemilu tetap berlangsung. Pemenang pemilu akan tetap bisa ditentukan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Kalau pun jumlah golput dan golhit jauh lebih besar daripada jumlah suara sah yang masuk, mereka tetap harus tunduk dan patuh terhadap hasil tersebut. Lantas bagaimana jika yang menjadi pememang pemilu adalah orang-orang yang tidak layak menjadi seorang pemimpin atau wakil rakyat? Lantas akan terjadikah perubahan negeri ini ke arah yang lebih baik?
Saya jadi teringat sebuah dialog antara Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika ditanya oleh seseorang — belakangan saya baru tahu bahwa ternyata dialog ini tanpa sanad dan sumber periwayatan. Beliau ditanya, “Mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjabat sebagai khalifah kondisinya tertib, namun saat Utsman dan engkau yang menjadi khalifah kondisinya kacau?”
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kemudian menjawab, “Karena saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, mereka didukung oleh orang-orang seperti aku dan Utsman, namun saat Utsman dan aku yang menjadi khalifah, pendukungnya adalah kamu dan orang-orang sepertimu.”
Jangan-jangan… jangan-jangan… seperti itulah kondisi negeri Indonesia ini. Banyak pemimpin yang dicap tidak amanah, tidak mementingkan kepentingan rakyat, dan sebagainya, disebabkan karena kita sebagai rakyat juga memiliki sifat demikian. Bukankah para pemimpin-pemimpin itu diangkat dan dipilih dari rakyat juga?
Jangan-jangan… jangan-jangan… banyaknya pemimpin dan pejabat yang melakukan tindakan korupsi, menyalahgunakan jabatan dan wewenang, karena rakyatnya seperti itu juga. Jika demikian, maka nyatalah sebuah atsar dari Abu Ishaq As Sabi’iy, salah seorang ulama tabi’in asal Kufah yang terkenal sebagai ahli hadits dan ahli ibadah. Beliau lahir dua tahun menjelang berakhirnya kekhalifahan Utsman, dan wafat sekitar tahun 129 H.
“Kamaa takuunuu, yuwalla ‘alaikum”. Sebagaimana kalian, demikian pula pemimpin kalian. Wallaahu a’lam.
Tulisan Terkait Lainnya :
Rakyat juga memiliki peranan yang sama besar ya Bang karena dari rakyet pemimpin akan terpilih
iya, mas. bisa jadi pemimpin kita seperti sekarang ini karena kitanya ya…. begini ini 😀
klo saya berhrp tdk dpt srt suara biar ngga termasuk golhit or golput … 😀
Sbnrnya blh ngga ya golhit or golput dlm agama …
saya kurang tahu soal itu. tapi selintas sikap yang begitu…. sikap nggak peduli dengan bangsa dan negara…. kalau orang2 banyak yg nggak peduli…. ya wajar kayanya kalau pemimpin juga nggak peduli sama rakyatnya 😀
Mmg sih jd terkesan ngga peduli ma bangsa n negara, n crt d atas benar jg ngga baik mencap pemimpin buruk seolah2 diri sendiri baik semua dimulai dr diri sendiri jg …
Semoga calon2 pemimpin nnt bs amanah … 😀
aamiin
di dunia persilatan juga ada golongan putih dan golongan hitam … he he he …
betul, kang. dan mereka selalu ribut 😀
Pemimpin itu memang mencerminkan siapa yang dipimpin
iya, mbak. betul
mari memilih dgn hati nurani.. 😀
juga akal sehat, mas 😀
analoginya pas ….
saya juga menjumpai hal seperti cerita raja itu di tempat kerja….sedih….
mudah2an ke depannya bisa lebih baik lagi untuk negeri ini
amin…..
Iya setuju sekali bang 🙂 aku udh merasakannya,,makin banyak rakyat yg baik dn amanah,,maka pemimpinnya pun akan demikian,,tapi makin banyak rakyat yang tidak amanah,,menyalahgunakan kekuasaan,,pakai segala cara untuk mndapatkan sesuatu,,menganggap uang adlh segalanya,,maka pemimpin yg terpilih pun dr golongan yg demikian jg,,
pribadi yang baik menghasillkan pemimpin yang baik. dan mungkin pemimpin yang baik bisa mengarahkan negeri ini ke arah yang lebih baik. aamiin.
kalau begitu, jangan jadi golput atau golhit ya, mas 🙂
Tidak golput/golhit dan memilih dg akal sehat dan nurani…. Mungkin akan lebih baik, pak 😀
saya suka madu,, tapi nda suka politik
hha
Madu memang manis…. Politik belum tentu 😀
sebelum jadi pemimpin, mereka hanyalah rakyat biasa yang memiliki sifat manusia pada umumnya
Yup. Betul.
kalau ga ada yg cocok di hati mending golput dah.
begitu yah? 😀
kalau saya mungkin milih yg terasa ada sedikit kecocokan di antara yang tidak cocok