
Jam Gadang, Bukittinggi, Sumatera Barat
Saya bisa melihat secara langsung Jam Gadang yang berdiri di pusat Kota Bukittinggi ini pada bulan Juli 2012 yang lalu.
Berikut saya kutipkan informasi mengenai Jam Gadang dari wikipedia.
Jam Gadang artinya jam besar dalam bahasa Minangkabau. Selain sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Jam Gadang memiliki denah dasar seluas 13 x 4 meter. Bagian dalam menara jam setinggi 26 meter ini terdiri dari beberapa tingkat. Terdapat 4 jam dengan diameter masing-masing 80 cm pada Jam Gadang. Jam tersebut didatangkan langsung dari Rotterdam, Belanda melalui pelabuhan Teluk Bayur dan digerakkan secara mekanik oleh mesin yang hanya dibuat 2 unit di dunia, yaitu Jam Gadang itu sendiri dan Big Ben di London, Inggris. Pada bagian lonceng tertera pabrik pembuat jam yaitu Vortmann Relinghausen. Vortman adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman yang merupakan tempat diproduksinya mesin jam pada tahun 1892.
Jam Gadang dibangun tanpa menggunakan besi peyangga dan adukan semen. Campurannya hanya kapur, putih telur, dan pasir putih.
Jam Gadang selesai dibangun pada tahun 1926 sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau controleur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto, sedangkan peletakan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Gadang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden. Jam Gadang kemudian dijadikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan pemerintah kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010.
Foto mengenai perubahan bentuk atap dari Jam Gadang seperti yang disebutkan di atas, bisa dilihat di sini.

Tugu Pancasila (Bunderan Pancasila), Pangkalanbun, Kalimantan Tengah
Saya menemukan sesuatu yang unik ketika mengunjungi Pangkalanbun di bulan Maret 2013 yang lalu. Keunikan tersebut berupa berdirinya tugu atau monumen di hamppir setiap persimpangan atau bunderan. Salah satunya adalah Tugu Pancasila di atas, yang terletak di simpang lima Jalan Malijo – Jalan Pasir Panjang – Jalan HM. Rafii – Jalan Iskandar – Jalan Pemuda. Tugu atau Bunderan Pancasila adalah bunderan yang paling populer di Pangkalanbun.
Di siang hari, sekeliling Tugu Pancasila terlihat sepi. Namun pada sore dan malam hari, kelima trotoar yang mengelilinginya ramai dengan kehadiran sejumlah kafe tenda. Saya sempat merasakan suasana malam di sekitar Tugu Pancasila. Duduk di salah satu kafe tenda sambil menikmati jus dan jajanan pisang dengan nama yang unik, pisang crispy dan pisang cilukba. Jika penasaran dengan bentuknya, silahkan lihat penampakannya di sini.

Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan
Februari 2013, kaki saya menapak di tanah Makassar. Setelah melihat Pantai Losari, saya bisa berkunjung ke Fort Rotterdam yang megah. Informasi mengenai Fort Rotterdam dari wikipedia adalah sebagai berikut :
Fort Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang (Jum Pandang) adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar.
Foto-foto lain di dalam Fort Rotterdam bisa dilihat di sini.
Untuk meramaikan WPC minggu ini dengan tema : Monument.
Foto-foto WPC Sebelumnya :
Melihat jam gadang secara langsung itu masuk daftar impian (baca mbolang) saya semoga suatu saat nanti kesampaian. 😀
aamiin. kalau bisa sampe naik, mbak 😀
lihat acar di TV dikasih naik tuh, tapi pas kemaren datang kayanya nggak boleh naik
Kapan mau ke jam gadangnya dyah..
Tar kalau udah ada yang mau bawa aku ke sana, Ajo. 😀
Banyak kok pesawat terbang yg mau bawa ke sana… Haha
Ya tapi masak pesawatnya mau nemenin sy jalan-jalannya, Ajo? :p
Ooo tenang, di bukittinggi banyak kok teman2 blogger yg bakal memandu..
Ahaha, gratis nggak? 😀
Gratis donk… Haha
Iya kah?
Mau donk!
Hmmm padahal sih yang sy mau itu yang bawa saya dari rumah dan kembali ke rumah, kwakakak
Misua aku bilang kalau ke padang jangan lupa main ke jam gadang terus makan duren ketan apa ketan durenya 😀
iyah, katanya nggak afdhol ke sumbar kalau nggak jam gadang.
intinya makan duren pake ketan gitu deh 😀
😀 mupeng aja kalau dengar misua aku cerita hemmmm next time lah kalau ada rejeki mampir kesana
mudah2an bisa ke sana, mbak 😀
amin
😀
bentengnya bagus, ya …
asyik nongkrong sambil ngopi dan makan gorengan di atas rumput hijau itu … he he he …
Asal jangan tengah hari aja, panas 😀
Ke Jam Gadang kalau main pas mudik lebaran, macetnya ampun-ampunan juga 🙂
Kalau lebaran sepertinya di mana-mana begitu, mbak 😀
Jejak kaki sya belum sampai di tiga tempat tsb.. 😀
Saya ke sana karena tugas kantor, mas 😀
Hanya pernah ke Jam Gadang aja… bisa dibilang sering sih. haha
Wah… Lebih oke dong. Saya baru sekali doank 😀
Namanya juga tinggal di derah sini mas. hohohohoho
Oooh… Pantesan 😀
wowow(titik) <– gak ada komen lain, haha 😀
Tapi itu di setelah wowow ada kalimat lain 😀
Kereeeen ada keterangan2nya hehehe… aku suka yg jam gadang
keterangannya nngambil dari wikipedia, teh 😀
iya hahaha
pengen lihat Fort Roterdam.., masih keren bentengnya
masih terawat bangunan di dalamnya. tapi ada juga seh bangunan yang tinggal puing2nya
Nice take on the Monument theme! I don’t know what you said but the monuments are impressive. 🙂
You’re welcome to come and see what my take on the theme is:
http://fstopfantasy.wordpress.com/2014/04/13/weekly-photo-challenge-monument-far-west/
thank you 😀
🙂
keren ini jam gadang
Terima kasih 😀
dari dulu pengen banget lihat jam gadang. semoga kaki ini segera nyampe kesana 🙂
semoga, mbak 🙂