Di Sabtu pagi kemarin, selain mencari objek foto untuk WPC dengan tema “fray” saat jalan-jalan pagi bersama Minyu, saya juga sebenarnya ingin mengambil foto seorang pemulung yang saya temui untuk saya jadikan ilustrasi coretan saya kali ini. Namun saya tak jadi mengabadikan foto pemulung yang sedang melakukan aktifitasnya itu. Mungkin karena saya rasa nantinya foto tersebut akan tidak cocok dengan cerita dalam coretan ini. Sebab, pemulung yang akan saya ceritakan menggunakan gerobak saat bekerja, sementara pemulung yang saya temui tidak menggunakan gerobak, hanya sebuah karung besar di punggungnya dan sebuah alat untuk mengambil botol palstik bekas atau benda-benda lainnya. Mungkin ada juga penyebab lain yang tidak saya ketahui atau lupa.
—oOo—

Suatu sore, saya sedang melaju di atas sepeda motor dalam perjalanan pulang dari kantor. Saya berada di antara banyak kendaraan yang melintas di jalan arteri Permata Hijau, sudah melewati gedung Belezza yang berseberangan dengan ITC Permata hijau. Sekitar beberapa ratus meter di depan, saya akan tiba di sebuah perempatan. Di perempatan tersebut, saya akan belok ke kiri sebelum menyeberang ke kanan masuk ke Jalan Haji Sholeh I.
Ternyata lampu lalu-lintas menyala warna merah. Para pengendara mobil menghentikan mobil mereka. Sementara saya dan para pengendara sepeda motor masih bisa melaju perlahan di sisi kiri jalan. Hingga kemudian saya harus menghentikan sepeda motor karena pengendara di hadapan saya juga menghentikan laju sepeda motornya.
Mata saya melihat sebuah gerobak yang berhenti di depan salah satu sepeda motor. Sebuah gerobak milik seorang pemulung.
Sepertinya, gerobak tersebut yang menjadi penyebab tersendatnya laju para pengendara sepeda motor. Namun hal itu tidak terjadi lama. Pengendara sepeda motor di hadapan saya kemudian kembali melaju. Begitu pula saya. Pengendara sepeda motor di belakang saya pun mengikuti. Bergerak kembali. Perlahan.
Saya melaju perlahan hingga kemudian berhenti sejenak di belakang pengendara sepeda motor yang berada di samping kanan gerobak pemulung. Saat itulah, saya mengetahui apa penyebab pengendara sepeda motor tetap bisa melaju meski pelan. Ternyata, bapak pemulung pembawa gerobak itu mempersilahkan pengendara sepeda motor untuk berjalan lebih dahulu sementara beliau menghentikan laju gerobaknya. Saya melihat tangan kanan Bapak Pemulung tersebut mempersilahkan pengendara sepeda motor di sampingnya untuk bergerak maju. Hal yang sama pun beliau lakukan kepada saya.
Sepintas terlihat sederhana. Sekilas, apa yang dilakukan pemulung tersebut adalah hal sepele. Semua orang bisa melakukannya. Tetapi, tidak semua orang mau melakukannya.
Jalan raya bukanlah tempat untuk bersantai-santai bagi para penggunanya. Masing-masing ingin mencapai tempat tujuan secepat mungkin. Jika ada ruang dan kesempatan untuk mendahului pengendara lain, maka mempercerpat laju kendaraan adalah keputusan yang akan segera diambil oleh pengendaran lain. Kadang, suara klakson pun diperdengarkan untuk meminta jalan, meminta agar kendaraan di depan segera bergerak, dan sebagainya.
Tetapi nyatanya, tidak semua pengguna jalan seperti itu. Bapak Pemulung itu salah satunya. Itsar yang dimiliki oleh Bapak Pemulung itu sanggup menggerakkan hati dan tangannya untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya. Padahal, untuk menghentikan dan menarik kembali gerobaknya membutuhkan tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan menghentikan dan melajukan sepeda motor bagi para pengendaranya.
Itsar adalah sebuah sikap di mana seseorang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dibandingkan kepentingan pribadi. Namun, itsar hanya berlaku untuk masalah muamalah, bukan ibadah. Jika itsar diamalkan dalam hal ibadah, maka itu sesuatu yang tidak disukai. Mungkin contoh sederhananya adalah mempersilahkan orang lain mengisi shaf kosong di barisan depan dibandingkan diri sendiri yang maju untuk mengisinya.
Wallaahu a’lam.
Tulisan Terkait Lainnya :
“Mungkin contoh sederhananya adalah mempersilahkan orang lain mengisi shaf kosong di barisan depan dibandingkan diri sendiri yang maju untuk mengisinya.”
setahu saya kalau dalam ibadah nggak ada itsar. kayak waktu dulu kami ditegur karena dorong-dorongan nyetor hafalan (berebut pengen nyetor belakangan maksudnya)
betul, mbak. itsar nggak ada dalam hal ibadah, nah contoh yang sebutkan itu adalah contoh yang salah penempatan itsar 😀
eaaa salah baca 😀
#melipir ke pojokan
😀
dimaklumi
banyak ilmu yang didapat dari realita yang ditemui sehari-hari ya 🙂 .
iya uni
Masalah pemulung bergerobak itu kalau udah masuk bulan romadhon kok banyak ya di Jakarta? Sepanjang jalan pramuka arah ke pasar pramuka saya temui di bulan romadhon kemaren. Setelah lebaran berkurang drastis. Kayaknya ini juga musiman.
Di atas itu kan saya ngambil gambar ilustrasi dari sumber berita yang mengabarkan tentang penertiban “manusia gerobak” di bulan ramadhan. Karena banyak pengemis dengan modus membawa gerobak di bulan ramadhan
Bang Jampang berkata, “Namun, itsar hanya berlaku untuk masalah muamalah, bukan ibadah. Jika itsar diamalkan dalam hal ibadah, maka itu sesuatu yang tidak disukai. Mungkin contoh sederhananya adalah mempersilahkan orang lain mengisi shaf kosong di barisan depan dibandingkan diri sendiri yang maju untuk mengisinya.” ———> laik dis bin SUKA …
Terima kasih, kang 😀