
Benda di atas merupakan benda yang saya bawa pulang dari Surabaya. Sebuah bantal leher yang merupakan souvenir dalam acara yang saya hadiri. Dua box sewing kit, satu buah sisir, dan amplop berisi kwitansi pembayaran menginap di hotel. Kesemuanya tidak ada yag mewakili cerita yang ada di dalam postingan ini. Jadi, foto di atas hanya sekedar ilustrasi dari kenarsisan di empunya blog sekaligus bukti bahwa perjalanan ke Surabaya bukanlah hoax belaka.
Judul di atas adalah sebuah kesimpulan yang saya ambil dari hasil perjalanan tugas saya ke Surabaya selama tiga malam dua hari. Perjalanan yang sepertinya lebih banyak sisi kurang enaknya dibandingkan sisi nikmatnya. Namun demikian, bersyukur mungkin menjadi obat yang paling mujarab untuk menghapus sisi kurang enak tersebut. Salah satunya adalah saya bisa membuat coretan berikut untuk mengisi blog ini. Sepenggal cerita dan kisah dari tiga orang sopir yang memiliki peran dalam mengantarkan saya berangkat ke Surabaya dan kembali ke rumah.
Kejujuran
Perjalanan ke Surabaya saya mulai pada Rabu sore seusai jam pulang kantor. Sebenarnya agak tanggung jika saya berangkat sekitar pukul lima atau enam sore. Sebab nanti terlalu cepat sampai di bandara, sedangkan jadwal pesawat yang saya tumpangi akan berangkat pukul setengah sepuluh malam. Jika saya berangkat agak malam, khawatir macet dan terlambat. Akhirnya saya putuskan berangkat sebelum maghrib dengan menggunakan taksi.
Dalam perjalanan ke bandara, terjadilah obrolan singkat antara saya dan sopir taksi. Topiknya standar, seputar taksi.
Salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah, “Nanti dari bandara langsung balik atau nyari penumpang dulu, Pak?”
Pak Sopir menjawab, “Langusng balik, Pak. Kalau nyari penumpang dulu nanti diusir sama satpam dan polisi. Soalnya ini bukan taksi sticker. Bukan taksi bandara. Kalau ketahuan satpam, bisa kita kasih sepuluh ribu. Tapi kalau ketahuan polisi, ditilang.”
“Tapi saya sering lihat mobil-mobil biasa yang nyari penumpang di bandara,” timpal saya berikutnya.
Pak Sopir lalu bercerita. Beliau heran juga dengan kondisi seperti itu. Mobil berplat hitam boleh mengambil penumpang di bandara sementara yang angkutan umum tidak diperbolehkan. Menurut beliau, di belakang mobil-mobil tersebut biasanya ada orang kuat yang bertindak sebagai backing. Beliau sendiri pernah ditawarkan supaya bisa beroperasi atau mengambil penumpang di bandara dengan cara membayar uang sebesar lima juta rupiah. Namun beliau menolak.
“Biarlah dapat uang tidak banyak, yang penting berkah.” Kalimat dari Pak Sopir tersebut menjadi kesimpulan pembicaran kami selama separuh perjalanan ke bandara. Sebab di separuh perjalanan berikutnya, hanya keheningan yang ada di dalam taksi.
Kegigihan
Sekitar pukul satu kurang dua puluh menit, saya tiba di bandara Juanda. Penyebabnya adalah, pesawat yang saya tumpangi mengalami keterlambatan selama kurang lebih satu jam. Akhirnya saya menggunakan taksi menuju hotel yang berlokasi di Jalan Barata jaya. Seratus dua puluh lima ribu rupiah, itulah angka yang tertera di kwitansi taksi.
Judulnya memang taksi, tetapi yang saya naiki bukanlah mobil bertipe sedan. Melainkan tipe lain. Apa sebutannya juga saya tidak tahu. Saya tidak begitu paham. Yang pasti di dalam perjalanan tersebut, terjadi pula obrolan singkat antara saya dengan Pak Sopir.
“Sampai pagi di bandara, Pak?” tanya saya.
“Enggak, Pak. Sampai pesawat terakhir saja. Setelah pesawat Bapak tadi, masih ada satu pesawat lagi yang akan tiba. Setelah itu pulang,” jawab Pak Sopir.
Saya tak tahu jam berapa jadwal pesawat terakhir yang akan mendarat di Bandara Juanda. Yang pasti lewat tengah malam. Mungkin pukul satu lebih. Waktu di mana kebanyakan orang sudah lelap tertidur. Beristirahat. Namun tidak demikian dengan Pak Sopir tersebut dan beberapa orang rekan lainnya. Mereka masih membuka mata untuk menjemput rezeki. Keberadaan Pak Sopir dan rekan-rekannya, tentu sangat membantu orang-orang yang tiba di bandara lewat tengah malam dan tidak ada saudara atau orang yang menjemput.
Kesuksesan
Jum’at sore, ekitar pukul lima sore lewat sekian menit, saya tiba di Slipi. Saya melanjutkan pulang ke rumah dengan menggunakan jasa angkot. Mikrolet M-09 jurusan Kebyoran – Tanah Abang. Tidak butuh lama menunggu, saya sudah berada di dalam salah satu angkot.
Penumpang di belakang hanya empat orang termasuk saya. Sementara di samping Pak Sopir, ada seorang penumpang lagi. Tak ada yang bicara satu sama lain. Semuanya diam dengan pikiran masing-masing.
Katika separuh perjalanan, salah satu penumpang turun. Selanjutnya, di salah satu tikungan, Pak Sopir berteriak memanggil seseorang yang ternyata kawannya. Sang kawan pun segera naik. Lalu terjadilah obrolan di antara mereka berdua.
Dari obrolan keduanya saya mendengar bahwa lelaki yang duduk di belakang kemudi tersebut sudah memiliki dua buah mobil. Jika saya tida salah tangkap, kedua mobil tersebut dijadikan angkot seperti mobil yang dikendarainya saat itu. Satu mobil dibeli dengan cara tunai senilai seratus tujuh puluh juta sekian. Sementara satunya lagi masih dalam proses cicilan yang sudah berjalan sekitar dua tahunan.
Hebat nian bapak yang satu ini. Pekerjaan boleh sopir angkot, tapi mobilnya dua!
Tulisan Terkait Lainnya :
Bisa merasakan apa yang diceritakan di sini Bang, bapak saya juga sopir yang juga nyupir angkot. hehehe…
Karena jasa beliau, anaknya sukses 😀
Kirain gambarnya donat kentang bang 😀
Terkadang ketika saya melakukan tugas luar, mereka setia mengantar saya hingga tempat tujuan. Pernah suatu ketika di daerah Kutai Barat, Sang sopir saya ajak untuk menginap di hotel karena khawatir keselamatan beliau yang memaksa ingin sampai di Balikpapan pagi harinya….
Jadi teringat abah dirumah yang pekerjaannya sebagai sopir, dan alhamdulillah sudah punya 2 mobil juga 🙂
Kalau itu donat…. Gede banget, bang 😀
Wah… Termasuk sopir yang sukses. Alhamdulillah.
Alhamdulillah, bang…
Bisa nyekolahin anak juga 😀
mantap!
Eh saya jg suka ngajak ngobrol sopir kalo naik taxi. Tapi jarang naik taxi sih.
Dulu waktu sering naik bus malam Surabaya-Jogja, ngobrol jg sama kondektut n kadang sopir pas ud mau turun.
Buat saya selalu ad pelajaran baru, renungan baru, cerita baru, atau kadang hal lucu baru yg bisa kita dpt. 🙂
Saya juga jarang naik taxi. Biasanya naik taksi Kalau mau ke bandara… Dan itu jarang 😀
Iya mbak. Ada sesuatu yg bisa diambil sebagai pelajaran
Kalau dari Juanda saya biasanya pakai taksi Prima, pak. Bayarnya di loket, tarif sesuai area tujuan. Taksi Prima tidak pakai kode lampu “Taksi” di bagian atas mobil. Tapi pakai stiker. Jadi saat usai mengantar pelanggan dia langsung balik ke Juanda lagi, nunggu giliran berikutnya. “Kalau sopir mau curang bagaimana, pak? Misalnya sudah selesai ngantar penumpang gak langsung balik tapi antar kemana-mana dulu”.
Pak sopir menjawab: “Tidak mungkin bisa,bu karena mobil ini tidak bertanda taksi. Jadi gak bakalan ada calon penumpang yang tahu”
Nah… Itu yg saya naiki juga, bu 😀
Aku juga paling salut sama sopir yg bekerja dgn sepenuh hati utk melayani, yg nyetir dgn baik n hati2, mematuhi smua peraturan jalanan yg bener, yg jujur kl kasih kembalian ongkos, yg rela sampe tengah mlm tetep di jalan utk cari rejeki.. Smoga mereka2 ini selalu dilindungi dlm pekerjaannya yah mas 🙂
betul mbak. sopir yg di surabaya itu patuh sama rambu lalu-lintas. meski jalan tengah malam dan sepi, pas lampu lalu-lintas berwarna merah, berhenti.
aamiin
kalau sampai mereka nggak ada di bandara, bisa terlantar penumpang 🙂
iya, pak 😀
Salut untuk para bapak sopir … 🙂
Taksi punya kwitansinya juga ya?
eh bukan kwitansi, tapi struk 😀
Waahh! Bapak-bapak ini keren 😀
betul sekali 😀
Disini jg banyak mobil plat hitam buat ngangkot di Bandara. Tapi nggak tau jg mereka ada izin atau nggak. Mantep bapak Sopir yg abang ceritakan, salah satu sopir yg sukses.
kalau bayarnya di loket dan pake struk, mungkin sudah ada izinnya mbak
ooooohh begituuu…
ya… dugaan sementara 😀
Bapak saya supir bus mas, beliau membanting tulang menghidupi anak dan istri dan menyekolahkan kita semua sampai selesai sarjanah kecuali aku hehe
Aku banga dengan bapak aku..
sudah seharusnya kita bangga dengan ayah kita mbak…. juga ibu ibu dan ibu 😀
Sip senang kalau bikin ibu tersenyum..
yup. betul
kerja keras adalah proses, hasil adalah bonus 😀
betul… betul… betul…