
Imam sudah memulai takbir Shalat Idul Adha yang kemudian diikuti seluruh ma’mum di belakangnya. Namun, di antara gema takbir di dalam masjid tersebut, terdengar suara tangisan anak di barisan belakang atau mungkin di lantai atas. Sepertinya, tangisan itu berasal dari barisan jama’ah perempuan.
Imam sudah sudah membaca surat Al-A’laa selepas surat Al-Fatihah. Namun tangisan sang anak itu tak kunjung berhenti. Tetap terdengar.
Sebelumnya, ketika saya berangkat menuju masjid, saya melihat seorang ibu yang berjalan di depan saya menggendong seorang batita menuju masjid. Sang ibu pasti memiliki alasan mengapa membawa batitanya ke masjid. Mungkin untuk mengajarkan anaknya tentang shalat sedini mungkin. Mungkin mengajaknya ke masjid adalah yang paling aman dibandingkan ditinggal di rumah seorang diri, sebab sang ayah juga berangkat ke masjid. Atau ada alasan lain yang tak terlintas di benak saya. Wallaahu a’lam.
Saat mendengar tangisan tersebut, saya pun menduga-duga apa yang menjadi penyebab anak atau mungkin batita tersebut menangis. Mungkin, dia tidak merasa nyaman karena jama’ah masjid cukup banyak. Mungkin kenyamanannya hilang karena posisi yang dipilihkan oleh ibunya kurang pas. Mungkin dirinya menangis karena sang ibu bangkit untuk memulai shalat sementara dirinya mengharapkan pelukan atau belaian sang ibu. Atau mungkin ada penyebab lain yang tak terpikirkan oleh saya. Sekali lagi, wallaahu a’lam.
Ketika di rumah, saya menceritakan hal tersebut kepada Minyu. Minyu berpendapat, tak mengapa mengajak anak kecil ke masjid untuk shalat. Tujuannya baik. Namun jangan dipaksakan.
Saya sepakat. Sesuatu yang dipaksakan tentulah tidak memberikan kenyamanan. Termasuk bagi seorang anak.
Ketika Syaikhan belum genap berusia satu tahun, saya sering mengajaknya ketika akan shalat berjama’ah di waktu maghrib atau isya di masjid. Mungkin lebih tepat jika Isya. Sebab saat itu, biasanya saya belum tiba di rumah saat masuk waktu Maghrib. Saya melakukannya untuk mewujudkan keinginan saya dan sebagai pembelajaran untuk Syaikhan.
Suatu saat, ketika baru tiba di depan masjid, Syaikhan langsung menangis. Meakipun sudah saya rayu dan bujuk, tangisnya tak berhenti. Sementara di dalam masjid, shalat isya sudah dimulai. Terdengar suara imam membaca surat Al-Fatihah.
Sikap Syaikhan saat itu sangat berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Biasanya, Syaikhan akan duduk anteng di samping saya sambil memperhatikan gerak-gerik saya dan jama’ah lain. Jangankan menangis, satu suara pun tak terdengar dari mulutnya. Posisi duduknya pun tak bergeser jauh dari tempat semula hingga shalat berakhir.
Karena tangis Syaikhan tak berhenti, akhirnya saya putuskan untuk mengajaknya pulang dan membatalkan niat shalat Isya berjama’ah di masjid. Khawatir, tangisan Syaikhan akan mengganggu kekhusyuan jama’ah masjid.
Lantas, bagaimana jika kondisi yang saya ceritakan di awal terjadi? Anak yang semula tidak menangis, tiba-tiba menangis saat sang ibu mulai mengerjakan shalat bersama jama’ah yang lain.
Sependek pengetahuan saya, ada dua hal yang bisa dilakukan ketika kondisi di atas terjadi tanpa perlu membatalkan shalat yang sedang dilakukan.
Pertama, mempercepat pelaksanaan shalat berjama’ah. Tentunya hal ini dikomandoi oleh sang imam sebagai pemimpin shalat. Opsi ini dilakukan jika sang imam mengdengar tangisan sang anak.
Dasarnya adalah hadits-hadits berikut :
Aku pernah ingin memanjangkan shalat, namun aku mendengar tangisan bayi. Maka aku pendekkan shalatku karena khawatir akan memberatkan ibunya. Hadits ini dikuatkan oleh Bisyr bin Bakar dan Ibnu Al Mubarak & Baqiyyah dari Al Auza’i. [HR. Bukhari No.666].
Belum pernah aku shalat di belakang seorang Imam pun yang lebih ringan dan lebih sempurna shalatnya daripada Nabi. Jika mendengar tangisan bayi, maka beliau ringankan shalatnya karena khawatir ibunya akan terkena fitnah. [HR. Bukhari No.667].
Saat aku shalat dan ingin memanjangkan bacaanku, tiba-tiba aku mendengar tangian bayi sehingga aku pun memendekkan shalatku, sebab aku tahu ibunya akan susah dgn adanya tangisan tersebut. [HR. Bukhari No.668].
Saat aku shalat dan ingin memanjangkan bacaanku, tiba-tiba aku mendengar tangian bayi sehingga aku pun memendekkan shalatku, sebab aku tahu ibunya akan susah dgn adanya tangisan tersebut. Musa berkata, telah menceritakan kepada kami Aban telah menceritakan kepada kami Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik dari Nabi seperti ini juga. [HR. Bukhari No.669].
Kedua, shalat sambil menggendong anak. Hanya saja perlu dipastikan bahwa sang anak tidak membawa najis di badan atau dipakaiannya semisal ngompol atau pup. Dalilnya adalah sebagai berikut :
Dari Abu Qotadah, sesungguhnya Rosulullah Shollallohu ‘alaihi wasallam pernah sholat dalam keadaan menggendong Umamah binti Zainab, putri Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam -dan dalam riwarayt Abu al-Ash bin ar-Robi’- Apabila beliau berdiri, maka beliau menggendongnya. Dan apabila bersujud maka beliau meletakkannya. (Shahih Muslim, No.844).
Wallaahu a’lam.
Tulisan Tentang Shalat Berjama’ah Lainnya :
Hampir pernah kejadian saat di masjid. saat shalat berjamaah kaca mataku hampir terinjak anak anak yg berlarian , jadi jaga jaga selalu bawa tempat kaca mata.
berjaga-jaga memang lebih baik.
Alhamdulillah medina sejak bayi kalau diajak ke masjid g nangis. Malah ketawa2 kegirangan. Karenanya saya suka ajak dia. Wallahu’alam ya pak. Tp dy jd hafal soal solat. Bisa rukuk sujud. Nengadahin tangan berdoa. Mgk blm mudeng artinya tp setidaknya itu proses imitasi yg bagus. Klo mau keluar rumah ato ngajak jalan ke luar rumah dia ambil jilbab dulu. Usianya baru 17bulan
memang harus diajarkan sejak dini, mbak. jauh lebih baik, menuruts saya, dibandingkan menunggu besar
Nah,,kmrn jg ada yg sprti ini di masjid,,memang agak kurang khusuk jg jadinya,,tp ngga tau jg mo gmna,,ibunya kayaknya jg tetep aja sholat,,soalnya ampe sholat selesai anaknya masih nangis,,
mungkin sang ibu belum tahu tentang bolehnya shalat sambil gendong anak kecil
pengennya juga ntar ngajarin anak ke masjid sejak kecil. tapi kadang suka ngerasa keganggu juga kalau lihat anak-anak kecil itu pada nangis pas orang tuanya lagi salat
dicoba aja nanti. kalau nangis, ya nggak usah diajak dulu. berikutnya coba lagi
insya Allah bakal dicoba kalau ntar punya anak 🙂
insya Allah bisa
Untuk menjaga kenyamanan jamaah biasanya giliran, ada yng jaga dan ada yang shalat..
iya, mas. cuma kalau shalat id kan nggak bisa begitu
aku juga mehek pas malam takbiran plus tidak berkumpul kluarga saat adha rasanya gimnaaaa gitu mas
pasti ada ras asedih ketika malam takbiran tidak bersama dengan keluarga, mbak
iyaa
Kemaren pas sholat Ied juga ada anak nangis, kirain anak saya ternyata bukan. Karena maunya ikut Ibunya pas sholat.
aaqil pinter nggak nangis
Kemaren pas sholat Idul Adha… ditengah-tengah rakaat pertama ada anak kecil nangis kuenceeeeng banget, gak berhenti-berhenti.
Sehingga membuat sang imam lupa membaca takbir 5 kali sebelum Al-Fatihah di rakaat kedua. Barisan di belakangnya pun juga tidak mengingatkan. Sehingga semuanya bablas.
Tangisan anak kecil itu memang mengganggu konsentrasi.
Kasihan banget sang imam.
Si bapak yang membawa anak kecil itu seharusnya membatalkan sholatnya untuk menenangkan anaknya, daripada merusak konsentrasi ibadah banyak orang, bahkan jamaah satu masjid.. karena lalai membaca takbir 5 kali.
mungkin ada yang belum diketahui oleh Bapak itu, sama seperti halnya ketika handphone yang lupa dikecilkan volumenya kemudian bunyi di tengah shalat. ada yang belum mengetahui bahwa mematikan handphone tidak membatalkan shalat
Betul, mas Rifki.
Setelah dua salam berakhirnya sholat, terdengar suara-suara kecil keresahan dimana-mana, seakan-akan ingin menyalahkan si bapak itu. Anak kecil itu baru berhenti nangis setelah sholat berakhir, mungkin setelah si bapak itu menyentuhnya / menenangkannya. Posisi ada di tengah masjid.
Di rakaat kedua, sang imam membaca surat paling pendek: QS Al Kautsar. Bisa jadi paham dg hadits di atas, meski lupa membaca takbir 5 kali.
mudah2an peristiwa itu bisa jadi pembelajaran bagi jama’ah yang lain, ya pak
seharusnya lebih mengerti ke kondisi anak. mengajarkan anak untuk ibadah bisa sambil bersantai dan bermain anak lebih mencerna.
setiap anak memang beda. kondisi masing-masing pun beda. karenanya orang tua dituntut untuk cerdas dalam mendidik anak