Gelas Terakhir

swords

Di hari ketujuh, pasukan Kerajaan Korkot yang menyerbu Kerajaan Lantana dengan kekuatan penuh berada di atas angin. Mereka berhasil merangsek maju hingga ke istana kerajaan yang merupakan benteng pertahanan terakhir Kerajaan Lantana. Mungkin dalam dua tiga hari ke depan, pasukan Kerajaan Korkot bisa merebut istana dan meluluhlantahkan Kerajaan Lantana.

Namun demikian, pasukan Kerajaan Lantana tetap sengit melakukan perlawanan. Mereka terus bertarung untuk mempertahakankan negeri mereka. Mereka masih memiliki harapan yang besar kepada raja yang sangat mereka cintai, Raja Saghra Kizbahu, yang sedang meminta bala bantuan kepada Kerajaan Sembilan Cahaya. Jika Raja Saghra berhasil membawa bala bantuan, mereka pasti bisa mempertahankan Kerajaan Lantana. Bahkan bukan hal yang mustahil, mereka akan memporak-porandakan pasukan Kerajaan Korkot di bawah pimpingan Raja Zulma Aqli.

Selain harapan tersebut, kebersamaan dan keterikatan jiwa dan hati para rakyat dan prajurit Lantana pada amatlah luar biasa. Mereka saling bantu satu sama lain sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Jika para prajurit meggunakan keahlian bertempur dengan gagah berani di medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan agar tidak dijajah oleh Kerajaan Korkot, maka para rakyat Lantana membantu dengan menyediakan kebutuhan para prajuri selama terjadi peperangan. Mulai dari menyediakan perbekalan makanan, senjata, hingga merawat para prajurit yang terluka.

Sejujurnya, aku ingin sekali bertarung bersama para prajurit Lantana di medan perang. Membawa pedang dan perisai untuk mengahalau setiap langkah pasukan Korkot. Namun aku bukanlah seorang prajurit. Aku tidak memiliki kealihan bertempur di dalam peperangan. Aku tak sanggup mengayunkan pedang, melempar tombak, atau melepaskan anak panah dari busurnya.

Meski aku adalah rakyat biasa, aku tetap bagian dari Kerajaan Lantana. Seperti rakyat Lantana lainnya yang membantu para prajurit yang terus berperang, aku juga akan mengerahkan segala kemampuan yang kumiliki sebagai seorang tabib. Tabib muda. Mungkin pengetahuanku di dalam dunia pengobatan belumlah mumpuni. Namun aku tak ingin menyimpan pengetahuanku untuk diriku sendiri. Dengan kemampuan yang kumiliki, aku bisa memberikan manfaat kepada orang lain. Mungkin tidak kepada semua orang, tetapi kepada beberapa prajurit yang terluka parah di hadapanku, aku pasti bisa.

Di antara para prajurit Lantana yang terluka, ada tiga orang yang terluka parah yang sedang kurawat.

Prajurit pertama tertembus anak panah di dada kanannya. Aku sudah mematahkan salah satu bagian anak panah tersebut dan menariknya keluar. Lalu kubalut lukanya dengan ramuan obat yang kumiliki.

Prajurit kedua mengalami luka tebasan pedang di lengan kanannya. Tidak dalam. Namun kulit di sekeliling luka tersebut terlihat menghitam. Sepertinya, pedang yang melukainya telah di baluri oleh racun yang sangat jahat. Kubaluri luka prajurit tersebut dengan ramuan anti racun dan membebatnya dengan kain.

Prajurit ketiga mengalami luka di beberapa bagian tibuhnya. Di lengan kirinya, di dadanya, di paha, bahkan di punggungnya. Sama seperti kedua prajurit sebelumnya, kucoba merawat luka tersebut agar sembuh dengan ramuan yang kumiliki.

“Tabib Fatyan!” tiba-tiba terdengar seseorang memanggilku.

Kupalingkan wajahku ke sumber suara. Seorang pemuda berjalan sambil matanya tertuju pada gelas yang terbuat dari bambu yang dipegang kedua tangannya. Sepertinya dia sangat berhati-hati agar air di dalam gelas tersebut tidak tumpah.

“Maaf Tabib, aku tidak bisa membawa banyak air untuk prajurit yang terluka. Hanya segelas air ini yang masih tersisa saat ini. Sementara teman-temanku yang lain masih berusaha untuk mengumpulkan air dari berbagai sumber. Mudah-mudahan tak lama lagi persediaan air kita akan bertambah lagi,” cerita pemuda itu sambil menyerahkan gelas berisi air yang tak penuh ke tanganku.

“Terima kasih,” jawabku setelah gelas bambu berpindah tangan.

Dengan segelas air di tangan, aku justru menjadi bingung. Kepada siapa air ini akan kuberikan. Air minum ini hanya cukup untuk satu orang. Sementara ada tiga orang prajurit terluka yang membutuhkannya.

Keputusan cepat harus kuambil. Jika aku berlama-lama, bisa jadi ketiga prajurit itu tidak bisa diselamatkan semuanya. Jika aku berikan kepada salah satu saja, maka dia masih mungkin bisa diselamatkan. Akhirnya kuputuskan untuk memberikan air minum di tanganku kepada prajurit pertama.

“Minumlah air ini!” pintaku kepada prajurit pertama.

“Aku masih kuat, Tabib. Berikan saja air minum itu ke temanku di sebelahku,” jawabnya di luar dugaanku.

Aku diam tak bergerak. Tak yakin apa yang harus dilakukan.

“Cepatlah! Berikan air itu segera untuk menyelamatkannya!” pintanya lagi dengan memaksa.

Akhirnya, kupenuhi permintaannya. Aku mendekati prajurit kedua.

“Minumlah!” ucapaku sambil memberikan gelas di tanganku.

“Tabib, sepertinya teman di sebelahku lebih membutuhkan. Berikan saja air minum itu kepadanya. Aku masih bisa bertahan,” jawab prajurit kedua.

Apa-apaan ini? Mengapa kedua prajurit ini tidak mau menerima air yang kuberikan untuk menyelamatkan nyawa mereka.

Aku tak lagi bertanya. Segera aku melangkah mendekati prajurit ketiga dan langsung keberikan air minum kepadanya. Tetapi, lagi-lagi pemberianku ditolak.

“Tabib, berikan saja air minum itu kepada rekanku yang tertusuk panah. Kurasa, aku masih sanggup untuk bertahan.”

Akhhh!

Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan yang sambung-menyambung, “Rasa Saghra datang! Raja Saghra datang bersama bala bantuan dari Kerajaan Sembilan Cahaya!”

Teriakan tersebut seperti membangkitkan semangat yang ada di setiap prajurit dan rakyat Kerajaan Lantana. Termasuk diriku. Dadaku bergemuruh mendengarnya.

“Aku mencium aorma kemenangan, Tabib!” ucap prajurit ketiga dengan sebuah senyuman terlukis di wajahnya. “Cepatlah, kau berikan air itu kepada rekanku agar dia bisa menikmati detik-detik kemenangan Lantana,” sambungnya.

Cepat kubangkit dari hadapan prajurit ketiga untuk memberikan air minum ini kepada parajurit pertama.

Ketika diriku sudah berada di hadapan prajurit pertama, aku terkejut dengan kondisi prajurit pertama. Dia tak lagi bernpas. Dia tewas. Aku terlambat.

Segera aku melangkah ke prajurit kedua untuk memberikannya minum. Aku kembali terkejut. Prajurit kedua juga sudah tak bernyawa. Dia tewas menyusul rekannya.

Tanpa membuang waktu, aku segera mendekati prajurit ketiga. Kutemukan wakahnya yang masih tersenyum. “Minumlah air ini! Kamu tak perlu lagi memintaku untuk memberikannya kepada kedua rekanmu. Mereka sudah tewas. Minumlah, agar kau bisa selamat dan bisa menikmati kemanangan ini!” ucapku kepadanya.

Prajurit ketiga itu tidak menjawab. Senyumnya masih ada. Kedua matanya masih terbuka. Namun tak lagi kulihat dadanya yang bergerak naik-turun. Dia sudah menyusul kedua rekannya.


Baca Juga Cerpen Lainnya :

8 respons untuk ‘Gelas Terakhir

  1. dani Desember 8, 2014 / 11:31

    Saya kok kayaknya pernah baca kisah yang seperti ini tentang persahabatan atau persaudaraan tiga prajurit ya Bang? Saling ikhlas memberikan air untuk kawannya yang lain. miris mbayanginnya. 😀

    • jampang Desember 8, 2014 / 11:37

      ada di kisah nyata sejarah, mas. cuma saya lupa di zaman apa dan perang apa. saya denger dari ceramah

  2. yosbeda Desember 8, 2014 / 11:49

    Kisah-kisah seperti ini kalau dibuat komik atau animenya sepertinya bakal seru banget ya mas 🙂

    • jampang Desember 8, 2014 / 12:54

      sayangnya saya nggak bsia bikin komik atau meme, mas

  3. ysalma Desember 8, 2014 / 14:46

    Persahabatan yang sangat luar biasa, dalam medan perang pun itu tetap dijunjung tinggi.

    • jampang Desember 9, 2014 / 03:54

      iya, uni. semangat itsar yang tinggi

    • jampang Desember 9, 2014 / 13:12

      cerita tiga prajurit itu saya pernah dengar dari kajian ustadz. cuma lupa detilnya terjadinya di mana dan di masa apa

Tinggalkan jejak anda di sini....

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s