Sayap Penolong

sayap-penolong

Dadaku semakin sesak ketika langkah kaki ini mendekati ruang makan. Terdengar celotehan Emir, anak pertamaku yang berusia empat tahun, sedang disuapi Sali, istriku. Sesekali tangan kanan Sali mengusap perutnya yang mulai membesar. Dia sedang hamil tujuh bulan.

Tak tega rasanya untuk mengeluarkan gemuruh di dadaku saat ini. Aku tak ingin merusak kebahagiaan mereka yang mungkin akan segera terusik. Tak lama lagi. Sebab sekarang atau nanti, rahasia ini pasti akan terbuka dan Sali akan mengetahuinya. Kualihkan langkah kakiku ke meja kerjaku. Kuhempaskan tubuhku ke kursi. Keras. Mataku terpejam sesaat.

Kilasan kejadian enam bulan lalu yang menjadi sumber petaka dalam hidupku terlihat jelas di depan mataku. Bayangan Herdi, sahabat kentalku yang pernah menjadi teman kerjaku di divisi yang sama sebelum akhirnya kami dipindahkan ke divisi yang berbeda, datang begitu jelas.

Herdi! Kau lah penyebab semua ini!

“Ayah!” suara Emir membangunkanku dari lamunan. Wajah riang dan senyum manisnya mampu meredam gemuruh di dadaku meski tetap masih bergejolak.

“Sudah selesai makannya?” tanyaku.

“Udah,” jawabnya singkat.

“Habis?”

“Abis.”

Kugendong tubuh Emir menuju ruang makan. Di samping Sali, aku duduku dan kuturunkan Emir dari gendonganku. Emir langsung berlari ke ruang depan. Kutatap wajah Sali. Kubayangkan kira-kira apa yang akan terjadi jika dirinya mendengar sebuah kabar buruk yang kini kusimpan.

Shock? Bagaimana dengan keadaan janin dalam kandungannya? Jika tetap kusimpan, akan sampai kapan aku bisa menutupi semuanya? Bagaimana jika dia tahu dari orang lain, bukankah itu akan lebih menyakitkan lagi?

Akhirnya kuputuskan untuk mengungkapkan semuanya. Sekarang.

“Sal, ada yang ingin aku sampaikan,” ucapku perlahan.

“Ada apa, Bang?” tanya Sali. Suara lembutnya menyurutkan gemuruh di dadaku.

“Begini, Sal … Aku…”

“Nenek… Kakek…” tiba-tiba Emir berteriak sambil berlari dan menarik tanganku dan berjalan ke ruang depan.

Rupanya, kedua orang tua istriku datang. Kami bertiga kemudian menyambut keduanya di ruang tamu. Niatku tertunda.

 

—ooo0ooo—

 

Kupercepat langkah seusai sholat Maghrib berjama’ah di masjid menuju rumah. Aku khawatir jika gerimis yang menyapa bumi akan berubah menjadi hujan yang lebat. Sebelum menuju kamar, kusempatkan menengok kamar Emir. Kulihat Emir sudah tenggelam dalam mimpinya. Kututup kembali pintu kamar Emir. Lantunan ayat Al-quran yang dibaca Sali mengiringi langkahku menuju kamar.

… wa man yattaqillaha yaj’al lahu makhraja. wa yarzuqhu min haithu la yahtasib. wa man yatawakkal ‘alallahi fa huwa hasbuh. innallaha baalighu amrih. qad ja’alallahu li kulli syai’in qadraa …

Kubuka pintu kamar. Kulihat Sali dengan mukenanya masih duduk di atas sajadah. Kududuk di sampingnya untuk menyimak bacaan indahnya.

Tak lama kemudian, Sali pun menyelesaikan tilawahnya, menutup mushaf Al-quran yang dibacanya, lalu menengok ke arahku sambil menghadiahkan sebuah senyuman. Ibarat angin surga, senyuma itu mampu meniupkan sedikit rasa lapang di rongga dadaku. Sali meraih tangan kananku dan menciumnya. Kubalas dengan mencium keningnya.

“Ada apa, Bang?” tanyanya dengan lembut.

Aku langsung salah tingkah dengan pertanyaan tersebut.

“Tidak ada apa-apa, Sal,” jawabku untuk menyembunyikan rahasia besar yang semakin membebani dadaku.

“Bukankah tadi siang sepertinya ada yang mau Abang sampaikan?” tanya Sali sambil sambil merapikan Al-quran dan mukenanya. Lalu bangkit dan duduk di atas tempat tidur.

Tak bisa lagi rasanya kusembunyikan rahasia ini. Mungkin ini adalah waktu yang paling tepat untuk bercerita kepadanya.

“Sal, jika diriku berbuat kesalahan, apakah kamu mau memaafkan?” tanyaku.

Raut wajah Sali berubah. “Maksud Abang?”

“Jawab dulu pertanyaanku, Sal!” pintaku sambli menggenggam erat tangannya.

Sali terdiam sejenak.

“Setiap orang pasti pernah berbuat kesalahan. Seandainya Abang yang melakukannya, insya Allah aku maafkan. Tetapi pasti butuh proses. Lama prosesnya tergantung pada besar kecilnya kesalahan Abang.” jawabanya dengan sedikit bergetar. “Memangnya Abang berbuat salah apa?” sambungnya.

Kutarik napas dalam-dalam. Kuhimpun segenap tenaga dan rasa untuk memberikan jawaban yang terasa berat dan pasti sangat mengecewakan baginya.

“Aku dipecat,” jawabku singkat.

Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raji’un. Memangnya Abang salah apa di perusahaan?”

“Sekitar enam bulan yang lalu, Herdi datang ke ruanganku dan memintaku untuk meloloskan proposal sebuah perusahaan terkenal. Dia bilang dia butuh biaya untuk nikah. Jika proposal tersebut lolos, dia akan mendapatkan fee yang lumayan besar dari perusahaan tersebut. Setelah kuteliti dan tidak bermasalah, akhirnya aku setujui.”

“Lho, kalau begitu Abang tidak salah, kan?” tanyanya memotong ceritaku.

“Masalah baru timbul di kemudian hari. Ternyata Herdi menyalahgunakan kepercayaanku dan perusahaan. Setelah beberapa kali terjadi transaksi dengan perusahaan yang dibawa Herdi, bagian keuangan menemukan bahwa transaksi tersebut fiktif belaka. Semua dokumen transaksi tersebut aspal. Setelah perusahaan melakukan konfirmasi ke perusahaan yang dibawa oleh Herdi, ternyata perusahaan tersebut tidak pernah mengajukan proposal ke perusahaan,” Jawabku.

“Ya, Allah. Tega benar si Herdi, mengkhianati sahabat sendiri.”

Kurasakan emosi kemarahan dalam kalimat yang baru terucap dari mulut Sali serta tergambar di raut wajahnya. Tapi itu tidak bertahan lama. Sesaat kemudian dirinya kembali tenang seperti sedia kala. Sungguh Perempuan yang luar biasa. Entah apa yang terjadi dengan dirinya dan kandungannya jika kemarahannya tak dapat dikendalikan.

“Aku bingung, Sal. Aku tak lagi punya pekerjaan. Lantas bagaimana aku memenuhi kebutuhan sehari-hari?” ucapku dengan suara bergetar. Tak terasa, semakin banyak titik air mata yang jatuh mengalir membasahi kedua pipiku.

Kedua tangan Sali memegang wajahku. Diangkatnya wajahku perlahan. Dihapusnya air mataku yang mengalir dengan jarinya.

“Tenang saja, Bang. Aku tahu, Abang hanya ingin menolong teman. Aku juga yakin kalau Abang tidak mengambil sesuatu yang memang bukan hak Abang. Insya Allah kita punya jalan keluar,” ucapnya dengan teduh diiringi dengan sebuah senyuman di wajahnya.

Tenang? Bagaimana hati dan pikiranku bisa tenang, Sal?

Gerimis sudah berubah menjadi hujan lebat di luar sana. Di antara lebatnya, adzan Isya berkumandang. Sali bangun dari duduknya dengan perlahan sambil mengajakku berdiri.

“Bang, kita sholat Isya berjama’ah dulu, yuk,” ajaknya dengan penuh kelembutan.

Kuturuti ajakannya. Kucoba untuk memulai sholatku dengan takbiratul ihram. Rasanya, hanya jasadku yang sedang sholat, sementara hati dan pikiranku berkelana ke alam lain mencari jawaban dari sebuah jalan keluar yang disebut Sali tadi.

—ooo0ooo—

Dengan suara bergetar dan berat kupanjatkan doa kepada Zat yang menguasai diri ini dan alam semesta. Sungguh sebuah doa yang mungkin paling khusyu’ dari semua doa yang pernah kuucapkan. Sementara Sali senantiasa mengamini setiap kalimat permintaan di dalam doaku.

Selesai berdoa, kubalikkan badanku menghadap Sali. Kulihat dia kembali tersenyum. Sementara diriku, dengan segala gejolak di dada dan di pikiranku, masih merasa berat untuk melukiskan sebuah senyuman di bibirku sebagai balasan senyumnya.

“Bang, jangan terlalu khawatir. Insya Allah doa yang baru saja Abang panjatkan pasti akan terkabul,” suara lembutnya memecah kesunyian ruang kamar.

Aku hanya bisa menghela napas. “Bagaimana bisa, Sal?” tanyaku penasaran.

“Abang masih ingat surat dan ayat yang tadi aku baca selepas sholat Maghrib?”

Mungkin karena pikiranku dipenuhi dengan permasalahan yang ada sehingga tak kuasa aku mengingatnya lagi. Aku pun hanya menggeleng. Kembali Sali tersenyum.

“Ayat yang tadi kubaca itu menyatakan bahwa Allah akan memberikan jalan keluar atas setiap permasalahan yang dihadapi hamba-hambaNya yang bertakwa. Abang yakin dengan janji Allah tersebut?” kembali dirinya bertanya.

Aku mengaggukkan kepala sebagai jawaban.

“Atas kehendak dan izin Allah, saat ini juga aku sudah punya jawaban dari permasalahan yang kita hadapi.”

“Maksudmu, Sal?”

Sali hanya tersenyum. Kemudian dia bangkit dari duduknya dan melangkah menuju lemari pakaian, membukanya, dan mengeluakan sebuah kotak berlapis kain beludru berwarna biru dari salah satu laci. Aku mengenali kotak itu. Itu adalah kotak perhiasan yang kujadikan mahar ketika aku menikahi Sali.

“Bang, di sini semua ada jawabannya,” ucapnya yang tentu saja membuatku kembali bingung.

“Apa ini, Sal?”

“Abang lihat saja sendiri!” pintanya sambil menyerahkan kotak tersebut kepadaku.

Masih dengan diliputi kebingungan, kuterima kotak tersebut dan segera membukanya.

Subhanallah! Ini milik siapa, Sal?” tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat.

Di dalam kotak tersebut ada delapan batang emas dengan tulisan angka dua puluh lima gram tercetak di atasnya, satu set perhiasan mahar pernikahan, sebuah buku tabungan, dan beberapa lembar deposito.

“Milikku, dong. Tapi sumbernya dari Abang,” jawabnya sambil tersenyum.

“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.

“Abang ingat enggak, di awal bulan pertama setelah kita menikah, ketika Abang menyerahkan gaji pertama kali, Abang ngomong apa?” Sali malah balik bertanya kepadaku.

Kucoba mengingat-ingat peristiwa tersebut yang terjadi sekitar delapan tahun yang lalu.

“Kalau tidak salah, Aku mengangkatmu menjadi manajer keuangan,” jawabku dengan sedikit keraguan.

“Ya, betul sekali. Terus, apa yang Abang lakukan ketika mengatakan hal itu?”

“Aku menyerahkan gaji dalam dua buah amplop sambil menjelaskan bahwa isi amplop pertama harus kamu gunakan sebaik-baiknya untuk keperluan rumah tangga. Sedangkan amplop kedua aku persilakan kamu gunakan untuk segala keperluan pribadimu.”

“Betul.”

“Jadi… semua ini…?”

“Iya, Bang. Semua ini berasal dari uang yang Abanng berikan setiap bulannya. Untung saat itu aku terima, ya, Bang. Padahal aku merasa aneh dengan dipisah-pisah gitu. Cuma karena itu perintah suami dan bukan perintah untuk maksiat, ya aku terima,” Jawab Sali.

Kusimak cerita Sali dengan mata yang berkaca-kaca.

“Karena keperluanku tidak banyak dan sudah terpenuhi dengan uang yang memang dikhususkan untuk keperluan rumah tangga, jadinya aku tabung. Setelah mencapai jumlah tertentu aku pindahkan ke dalam bentuk deposito atau emas batangan seperti yang ada di dalam kotak itu,” sambungnya kembali.

Tak sanggup lagi aku menahan air mata untuk tidak mengalir ke pipi.

“Sudah, Bang. Abang jangan menangis lagi. Seharusnya Abang gembira karena sudah menemukan jalan keluar. Masalah biaya persalinan dan biaya sehari-hari, insya Allah sudah tidak jadi masalah lagi. Sisanya, kita bisa gunakan untuk modal usaha. Gimana, setuju kan?” kembali Sali menghapua air mataku yang membasahi pipiku dengan jari-jari lembutnya.

Lidahku membeku, tak bisa berkata apa-apa. Sementara hatiku mengucap puji dan syukur tak henti-henti.


Tulisan Terkait Lainnya :

7 respons untuk ‘Sayap Penolong

  1. dani Januari 4, 2015 / 01:16

    Bagus Bang. Semoga menang yaa.. 🙂

    • jampang Januari 4, 2015 / 09:21

      kurang tahu. soalnya deadlinenya semalam. bagian mana yang perlu direvisi?

  2. GloryGrant Januari 4, 2015 / 12:09

    Untungnya Sali adalah istri teladan ya. Bukan yg tipe ‘ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang.’ 😀

    Cerpennya bagus mas, menginspirasi.

    • jampang Januari 4, 2015 / 16:59

      kasihan suami donk kalau tipe istrinya begitu 😀

      terima kasih, mbak

Tinggalkan jejak anda di sini....

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s