
“Apakah kamu tidak ingin pergi dari tempat ini?” tanya temanku yang berdiri di belakangku. Kedua tangannya sigap menagkap dan mendorong ayunan yang kunaiki.
“Mengapa aku harus pergi?” aku balik bertanya.
“Apakah kamu tidak menyadari bahwa kondisi di sini semakin buruk?” dia menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.
Aku terdiam.
“Cobalah kamu cermati kondisi sekelilingmu!” pintanya.
Kualihkan pandanganku ke atas. Kudapati langit yang tak lagi biru cerah seperti beberapa waktu yang lalu. Tak ada lagi awan putih berarak seperti kumpulan kapas yang tertiup angin. Langit di atasku sudah berganti dengan hiasan awan hitam yang menggulung.
Kualihkan pandanganku ke kanan. Batang pohon tempat terikat ayunan yang selalu kumainkan terlihat tua. Tak ada lagi dedaunan yang menghiasi batang-batangnya seperti dahulu.
Kualihkan pandanganku ke bawah. Hanya kutemukan tanah yang kering kerontang. Tak ada lagi rumput atau tumbuhan liar yang tumbuh di atasnya. Meskipun ada, mereka sudah layu.
Kutarik napas dalam-dalam hingga memenuhi semua rongga di patu-paruku. Tiba-tiba dadaku terasa sesak.
“Uhuk! Uhuk!” aku terbatuk.
“Udara di sini sudah tidak lagi bersih. Bahkan air yang kamu minum sehari-hari pun bukanlah air yang sehat. Semuanya sudah tercemar oleh polusi,” temanku menjelaskan. “Jika kamu tidak segera pergi dari sini, aku bisa memastikan bahwa dirimu tak mampu bertahan lebih lama lagi.”
“Tapi aku senang dan nyaman berada di sini!” saggahku.
“Kamu harus menyadari bahwa kesenangan dan kenyamanan tak selamanya berbuah kebaikan.”
“Apakah tempat di luar sana akan lebih baik daripada di sini?” tanyaku ragu.
“Aku tidak bisa memastikan. Yang jelas, kamu akan punya kesempatan lebih baik dibandingkan jika dirimu terus berada di sini.”
“Lantas bagaimana aku bisa keluar dari tempat ini?” tanyaku kemudian.
“Sebagai temanmu, aku akan membantu,” jawabnya. “Aku akan mendorong ayunanmu sekuat tenaga. Berpeganglah yang erat pada kedua talinya. Ketika aku memberikan aba-aba, lepaskanlah pegangan kedua tanganmu. Selanjutnya, tubuhmu akan terlempar dari ayunan. Kamu akan terbang. Lalu ikutilah ke mana burung-burung itu terbang!”
Kucoba mencerna apa yang barus saja disampaikan oleh temanku itu. Sekali lagi kuarahkan pandanganku ke langit. Kutemukan sekelompok burung sedang terbang ke arah sebuah titik yang bercahaya.
“Kamu sudah siap?” tanya temanku.
“Apakah kamu akan tetap menemaniku?” kali ini giliranku yang menjawab pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan.
“Aku akan menyusul di belakangmu.”
“Baiklah. Aku siap!”
Temanku mulai mendorong ayunanku. Semakin lama semakin kencang dorongannya kurasakan. Kupererat pegangan kedua tanganku di tali ayunan.
“Lepaskan peganganmu sekarang!” perintah temanku.
Tanpa pikir panjang, kulepaskan peganganku pada tali ayunan. Kuasakan tubuhku ringan dan seperti melayang-layang di udara. Bukan, seperti terbang. Aku terbang seperti sekelompok burung yang ada di hadapanku. Aku pun mengikuti ke mana mereka terbang.
Aku semakin dekat dengan titik bercahaya itu. Semakin dekat, semakin terang. Kedua mataku tak sanggup lagi menatapnya. Aku memejamkan kedua mataku selama beberapa saat.
Perlahan, kubuka kedua mataku. Kudapati sebuah wajah yang sangat cantik tepat di hadapanku.
“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Bayi ibu perempuan. Sehat dan cantik. Selamat ya, Bu! Untuk ari-arinya akan kami bersikan dahulu agar bisa langsung dikubur bila ibu sudah bisa pulang.”
Aku mendengar seseorang bicara. Sementara aku tak bisa melakukan apa-apa. Hanya menangis. Menangis sekeras-kerasnya.
—o0o—
Untuk memeriahkan Prompt #81 – Lompatlah!
Baca Juga Monday Flash Fiction Lainnya :
- [Prompt#135] Pacar Sesaat
- [Prompt#121] Kutu-Kutu Hendak Menjadi Kupu-kupu
- [Prompt#120] Hanya Sejengkal
- [Prompt#119] Perbedaan
- [Prompt#118] Perjumpaan Kembali
- [Prompt#117] Senyum Ibu
- [Prompt#116] Lidah Perempuan
- [Prompt#115] Sayap yang Patah, Hati yang Terbelah, dan Jaring Laba-laba yang Lemah
- [Prompt#114] Ada Apa Dengan Cintana?
- [Prompt#113] Adin dan Sani
imajinatif om je kerennn
😀
terima kasih jun
Keren banget fiksinya mas!
terima kasih, mbak 😀
Kayaknya aku harus belajar tentag fiksi di masnya deh ._. kereeeeeen mas 😀
hayyyaaa…. saya juga masih belajar. ayolah belajar bareng 😀
terima kasih
HIhihi yuk mas belajar bareng 😀
ayuk… kalau mau sekalian ikutan tantangan mingguan di mondayflashfiction.com
Hah? ada begituan mas? Ya ampun, aku baru tau :’ aaaah, nyoba ah :3
ada. makanya judulnya dikasih keterangan prompt kesekian sebaai penananda itu tantangan keberapa. adanya semiggu sekali, topiknya dilempar tiap hari senin.
kalau di hari rabu ada lagi, FF100Kata. topiknya dilempar di twitter
Jadi kamu udah ikut tantangan ke 81? -_- bisa dijadiin buku itu mas 😀
iya udah ke 81, tapi ngikutinnya bukan dari tantangan 1 😀
Waaakakaka kirain bang 😀 ah, tapi tetep keren, pasti udah beberapa tantangan yang udah Mas ikuti 😀 kece mas :d
ya mungkin 50-an kali. cuma jarang yang jadi karya terpilih 😀
50 kali udah banyaaak banget mas ._. jarang? jadi pernah ada yang kepilih dong, cieeee 😀 kereeen mas
ada… beberapa…. uhuk 😀
Okeeei,hebat hebat 😀
terima kasih… terima kasih
mantap dah bang!
terima kasih, mbak
Nice fiksinya …
terima kasih, mbak
Saya jadi membayangkan sendiri sih Mas, begitukah yang terjadi ketika seseorang akan lahir ke dunia? Bagus, Mas. Benar-benar menggambarkan dunia baru yang berbeda. Kira-kira orang lain yang mendorongnya untuk keluar itu siapa, ya? Jadi penasaran :hehe.
kalau di Betawi, Ari-ari itu yang menjadi kawan si jabang bayi di dalam perut ibunya, Gar. Ari-ari itu kemudian dikubur. bahkan kalau ada yang masih percaya dengan takhayul, di tempat ari-ari itu dikubur dipasang pelita atau lampu terus dikasih barang2 lain seperti mainan 😀
makanya di bagian akhir cerita disebutinlah ari-ari itu sekali 😀
Oooh… demikian… :hehe. Terima kasih buat informasinya, Mas :)).
sama-sama, gar 😀
Bagus narasinyaa
terima kasih, mbak
keren ceritanya
nggak kepikiran sampe ke bagian ternyata si ibu sedang melahirkan
terima kasih 😀
Wahh, mantep banget mas ceritanya!
terima kasih, mbak