Sengaja saya memberikan tambahan kata “Bagian 2” pada judul coretan kali ini karena saya pernah mempublikasikan rangkuman materi kajian Ramadhan dengan tema yang mirip beberapa tahun silam. Coretan tersebut bisa dibaca di sini. Saya mendapatkan materi ini kemarin siang, ba’da zhuhur. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
—oOo—
Dalam pelaksanaan ibadah, ada kaidah Fiqih yang cukup masyhur. Kaidah tersebut berbunyi :
الأصل في العبادات التحريم
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
Dengan demikian, seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Hal ini tentu berbeda dengan masalah mu’amalah atau soal keduniawian. Untuk mu’amalah berlaku kaidah, semuanya boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Puasa merupakan salah satu jenis ibadah. Karenanya, pelaksanaannya didasari dengan dalil. Ada beberapa keistimewaan dalil tentang ibadah puasa ini sebagaimana tercantum di dalam Al-quran. Keistimewaan tersebut adalah :
Hanya dalil peritah puasa di mana ayat-ayatnya dihimpun dalam satu surat Al-Baqarah ayat 183-187
Berbeda dengan dalil perintah ibadah shalat, zakat, dan haji, yang rata-rata tersebar di beberapa ayat dan beberapa surat di dalam Al-quran, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghimpun dalil atau ayat puasa dalam satu surat saja dan dalam urutan yang sama. Tidak dipotong atau dipisahkan dengan ayat-ayat yang membahas tentang hal lain.
Hanya perintah puasa yang diawali dengan ungkapan “Hai orang-orang beriman”
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,” [Al-Baqarah : 183]
Ayat-ayat yang berbicara tentang perintah puasa di awali dengan sapaan “Hai orang-orang yang beriman”. Sapaan yang demikian, kita tidak ditemukan ketika membaca aya-ayat perintah ibadah shalat, zakat, ataupun haji.
Sebagai perbandingan, berikut ayat-ayat yang menjadi dalil perintah ibdah lain :
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku.”(QS. Al-Baqarah : 43).
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo’alah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS At-Taubah : 103]
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” [QS. Al-Baqarah : 196]
Ayat puasa diakhiri dengan pengharapan
Di setiap akhir ayat-ayat yang menjadi dalil pelaksanaan ibadah puasa, kecuali ayat 184, diakhiri dengan sebuah pengharapan. Teks ayatnya menggunakan “la’alla”.
“… la’allakum tattaquun (agar kamu bertaqwa).” [QS. Al-Baqarah : 183]
“… la’allakum tasykuruun (agar kamu bersyukur).” [QS. Al-Baqarah : 185]
“… la’allahum yarsyuduun (agar mereka selalu berada dalam kebenaran).” [QS. Al-Baqarah : 186]
“… la’allahum yattaquun (agar supaya mereka bertaqwa).” [QS. Al-Baqarah : 187]
Dalam kaidah Bahasa Arab, kata “la’alla” menyatakan makna “at-tarajji” yaitu pengharapan atas sesuatu yang sangat mungkin diwujudkan. Kebalikannya adalah “at-tamanni” yaitu pengharapan atas sesuatu yang mustahil akan terwujud. Kata yang biasanya digunakan untuk menggambarkan “at-tamanni” adalah “yaa layta” sebagaimana yang tercantum dalam ayat terakhir surat An-Naba yang berbunyi “Yaalaytanii kuntu turaabaa (Alangkah baiknya sekiranya dahulu adalah tanah)”.
Hanya puasa yang lebih detil pembahasan fiqihnya
Di dalam lima ayat (Al-Baqarah ayat 183-187) yang membahas tentang puasa, sudah mencakup keseluruhan tata cara pelaksanaan ibadah puasa. Hal ini jelas berbeda dengan penjelasan tata cara ibdah shalat, zakat, dan haji. Penjelasan mengenai detil bagaimana pelaksanaan tiga ibadah terakhir tersebut perlu dijelaskan dengan hadits-hadits.
Seperti bagaimana tata cara pelaksanaan shalat harus dijelaskan dengan hadits yang berbunyi “Shalluu kamaa ra-aytumuunii ushalli (Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat)!” Tentang bagaiman proses pelaksanaan ibdah haji dirinci dengan hadits yang berbunyi “Khudzuu anni manasikakum (Ambillah manasik kalian dariku)!” Begitu pula dengan rincian mengenai haul dan nishab dan besarnya zakat yang harus dikeluarkan, semuanya perlu dilengkapi dengan hadits.
Sementara ibadah puasa, dicukupkan dengan lima ayat di dalam Surat Al-Baqarah. Intinya, jika seseorang memahami kelima ayat tersebut, maka dirinya sudah bisa melaksanakan ibadah puasa dengan sempurna.
Sebagai contoh, tentang kapan pelaksanaan ibadah puasa, di awal ayat 184 disebutkan “dalam beberapa hari yang tertentu” yang kemudian diperjelas lagi dengan awal ayat 185 yang berbunyi “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan.”
Tentang apa saja yang membatalkan puasa, dijelaskan pada ayat 187 yang menyebutkan larangan makan, minum, dan berhubungan suami-istri jika sudah terbit fajar sampai malam (waktu maghrib).
Tentang siapa saja yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan bagaimana menggantinya dijelaskan pada ayat 185.
Hanya puasa yang waktu pelaksanaanya paling lama
Ibadah puasa Ramadhan dilakukan selama satu bulan penuh. Sementara ibadah lain terbilang sangat singkat. Shalat cukup dilakukan dalam hitungan menit. Begitu pula pelaksanaan zakat. Sementara ibadah haji bisa diselesaikan dalam kurun waktu seminggu. Jika saat ini para jam’ah haji melakukan perjalanan ibadah haji selama 40 hari, maka kegiatan yang dilakukan bisa dikatakan kegiatan di luar kegiatan haji yang tarafnya sunnah atau mubah.
Wallaahu a’lam
Tulisan Terkait Lainnya :
Al Baqarah 183 itu yg apal di luar kepala, dari SD, selain ayat kursi dan surat2 pendek 😀
sama… 😛
ya… nggak jauh bedalah dengan saya 😀
kan dahulu setiap ramadhan dapat buku kegiatan ramadhan, dan ayat itu pasti ada di buku dan sering banget denger selam hampir sebulan penuh 😀
Bener ya cuma ibadah shaum yg penjelasannya paling menyeluruh di Al-Quran.
Oh ya, sedikit mengkritisi aja, saya lebih suka pakai istilah ‘shaum’ ketimbang ‘puasa’.
sebenarnya, yang lebih tinggi tingkatan maknanya adalah shiyam. sebab di al-quran, ketika memerintahkan puasa menggunakan shiyam, sedangkan kata shaum ada ketika Maryam atau Nabi Zakariya yah ketika melakukan nazar berupa shaum, yaitu tidak bicara
Wohoooo… Ternyata ada bedanya ya antara shaum dan shiyam. Great!
menuruts ustadz begitu, mbak. artinya mungkin sama-sama menahan, tetapi kadarnya yang membedakan
Jadi nambah ilmu baru tentang ayat-ayat puasa 🙂 makasih, Bang, sudah berbagi catatannya di sini
sama-sama, mbak
Ayat puasa diakhiri dengan pengharapan, kesimpulannya, puasa adalah terapi / riyadhoh untuk meraihnya (taqwa, syukur ataupun yarsyuduun) 🙂
iya. kurang lebih seperti itu, mas
pernah denger ceramah ini, klo ngga salah, Dr. Ust Attabiq Luthfi…
yup. memang dari beliau materinya, kebetulan pas denger dan nggak ketiduran jadi bisa nyimak dikit2 😀