Beberapa saat setelah salam, Sang Ustadz berdiri menghadap kepada para jam’aah shalat zhuhur. Beliau memberikan kuliah singkat kepada para jama’ah yang mungkin tidak memiliki waktu dan tidak sempat mengikuti kajian selepas zhalat zhuhur yang akan disampaikannya beberapa saat lagi. Materi singkat beliau bertema tentang ajaran Islam yang diibaratkan sebuah pohon yang terdiri batang dan cabang.
Di dalam agama Islam, sambung beliau, terdapat masalah ushul (asal/pokok) dan furu’ (cabang). Di dalam perkara yang merupakan ushul, tak boleh ada perbedaan pendapat. Yang ada hanya kesepakatan. Begitulah sikap para ulama. Sementara dalam perkara yang bersifat furu’ diperbolehkan untuk berbeda pendapat. Sebagaimana sebuah batang pohon, ia akan memiliki cabang-cabang yang banyak. Yang berbeda pendapat di sini tentunya adalah para ulama dengan kapasitas keilmuannya, bukan orang-orang yang berpengetahuan dangkal. Dan sebagai orang awam, kita hanya mengikuti pendapat-pendapat mereka.
Shalat shubuh sebanyak dua rakaat adalah perkara ushul. Semua sepakat. Tidak ada perbedaan pendapat. Sedangkan di dalam pelaksanaannya ada yang membaca doa qunut dan ada yang tidak, maka itu adalah masuk dalam perkara furu’.
Jika terjadi perbedaan di dalam perkara yang ushul, maka sikap seorang mu’min adalah menolak perbedaan tersebut. Sebab hal yang demikian tidak diperkenankan. Sebab tidak mungkin membangun sebuah agama di dalam agama, sama seperti halnya membuat negara di dalam negara. Begitu juga tidak ada pohon yang tumbuh di atas pohon lain. Jika memang ada, bisa dipastikan pohon yang satu adalah inang, sedang yang satunya adalah parasit yang akan merusak inangnya. Sedangkan dalam perkara furu’, maka sikap seorang mu’min harus toleran. Sebab perbedaan dalam hal furu’ memang diperkenankan.
Karenanya, jika kita berbeda di dalam perkara yang ushul’, maka sebaiknya kita berpisah dan jangan bernaung di tempat yang sama. Sementara kita berbeda di dalam perkara yang furu’, maka mari kita saling menghargai dan mengedepankan toleransi.
Wallaahu a’lam.
Tulisan Terkait Lainnya :
- Para Lelaki Masbuq
- Jika Tentang Rasa
- Bisa Jadi…
- Antara Ikhlas dan Buang Air Besar
- Tiga Orang Anak yang Bersalaman Selepas Shalat
- Membalas VS Memaafkan
- Kisah Rasulullah yang Kental dalam Pesan Moral Namun Rapuh dalam Validitas
- Dua Sisi Digital Lifestyle
- Strategi Sedekah
- Dhuha dan Tilawah Para Pengemban Amanah
Selama perbedaannya di masalah furu’iah, sepertinya tidak masalah bang…
Perbedaan sudah lazim terjadi dalam hal tata cara ibadah dan sebagainya.
Setiap terjadi perbedaan seharusnya bisa menjadi bahan bagi setiap orang untuk memperbaiki dirinya sendiri menjadi lebih baik 🙂
yang jelas, selama dalil yang dijadikan dasar untuk melaksanakan ibadah itu ada dan shahih… tak masalah, bang. karenanya di dalam fiqih ada perbedaan mazhab.dan itu nggak masalah…. para pendiri mazhab itu aja bisa toleran…. knp kita yang awam malah gontok2an
betul-betul… 🙂
😀
Makasih ya Bang. 🙂
sama-sama, mas
lihat sebab akibat jg ya bg
yang jelas, kalau masalah yang pokok harus dengan dalil yang shahih atau kuat, mbak
*menyimak
silahkan
tadi khatib jumat bagus juga materinya, hehehe..
mungkin bisa digabi juga materinya, mas 😀
Yang penting sesuai mazab 🙂
Karena kita orang awam, akan lebih mudah mengikuti mazhab… asal jangan intoleran
Setuju
Terima kasih
Toleransi seharusnya terus diingatkan sampai anak cucu dan seterusnya yaa.. jgn sampe pecah karena toleransi yg semakin menipis
betul sekali, mbak
belajar toleransi dari gigi dan lidah, berbeda tapi tak saling mendahului
repot yah kalau saling mendahului 😀
Sangat Menarik 😀 salam Kenal
salam kenal juga. terima kasih atas kunjungannya