“Tunggu sebentar ya! Aku ambilkan minum,” pintaku kepada Ani, Tia, dan Nuri seraya melangkah ke dapur.
Ketiganya adalah teman baruku. Kuharap, mereka akan tetap menjadi temanku tanpa mengetahui dan mempermasalahkan siapa ayahku seperti yang kualami di beberapa sekolah sebelumnya. Aku sudah lelah berpindah-pindah sekolah.
Kubawa sebuah baki berisi empat gelas berisi air minum ke ruang tamu. Kulihat ketiga temanku sedang berdiri sambil menatap foto berfigura yang menempel di dinding.
Ani mengalihkan pandangannya ke arahku dan bertanya, “Kamu anaknya Adhyastha Prasaja?”
Mendadak hatiku merasa tak enak. Tanpa berkata-kata, kujawab pertanyaan itu dengan sebuah anggukan kepala.
“Kamu anak koruptor!” teriak mereka kompak.
Baca #FF100Kata Lainnya :
Kasihan ya jadi anak koruptor. 😦
sebagai pengingat…. sebab dampaknya juga ke masa depan anak dan keluarga
wah…gagal dapat teman lagi…
pindah sekolah lagi 😦
😦
😦 juga
Ya lagian si aku juga mengundang ketiga temannya ke rumah padahal di rumahnya dipajang foto ayahnya, hahaha 😛 .
mungkin seharusnya foto keluarga tersebut jangan dipasang dan dipajang…. biar nggak ketahuan
sempat pernah terpikir olehku dulu.
siapa cepat dia yang buat 😀
hehe 🙂
Siapa pun yang membaca jadi takut bila kan melakukan korupsi. Sakit akibatnya, termasuk bagi anak.
mudah2an bisa jadi pengingat ya, pak
Kasihan banget… dia kan gak salah. cuma salah ayahnya
iya, mas. dosa koruptor bisa “menurun” kepada anak
Duh
apanya yang sakit?
😀
Hatinya *eh
eeeeaaaaaa
Sesak Dada Abang 😦
Yang sabar yah…