“Giatlah belajar! Buatlah kedua orang tua dan Bapak bangga!” ucap Pak Aris, guruku di kelas enam.
Kalimat tersebut menjadi pelecut semangat hidupku sejak terngiang di telingaku hingga kini, di saat aku mulai mengembangkan usahaku di bidang daur ulang sampah.
Hari ini, sesuai jadwal, aku mendatangi tempat pengepul sampah untuk membeli bahan baku. Sebelum pintu masuk, aku berpapasan dengan seorang pemulung. Kedua mataku seperti tak asing dengan wajah pemulung itu. Wajah yang membawa memoriku ke masa lalu.
“Pak Aris?”
“Bayu?”
Segera kuraih dan kucium punggung tangan kanan beliau.
“Untuk menambah pemasukan, Bay,” jawab Pak Aris ketika kutanya alasan beliau menjadi pemulung.
Baca #FF100Kata Lainnya :
Senang deh kalau melihat orang-orang tidak malu dengan apa yang mereka lakukan, selama apa yang mereka lakukan itu halal dan tidak menyakiti orang lain tentunya ya. Kenapa harus malu kalau yang kita lakukan bukan merupakan sesuatu yang salah? :hehe. Cerita yang kontemplatif Mas :)).
betul, gar.
cuma ada jugalah segelintir orang yang merasa nggak suka…. merasa profesi utamanya direndahkan
Mudah-mudahan kita tidak menjadi kaum orang yang seperti itu, Mas :)).
iya, gar. itu pekerjaan terhormat…. tidak seperti pengemis… apalagi pencuri
Setuju!
sip!
Guru, pahlawan tanpa tanda jasa ya 🙂 . Benar-benar tanpa “tanda jasa” 😦 .
iya, mas
Guru saya waktu sekolah dasar tetap bertani ke sawah setiap selesai dia mengajar. Jaman baheula memang gaji jauh dari cukup.
salut!
Bpk ku dulu jg pemulung lho
apapun pekerjaan halalnya selama dilakukan secara professional…. pasti hebat
Saya mengantar sendiri bila ada yang pesan tasuba, dan… sering kali muncul komentar, “Lho, kok diantar sendiri?” Hehehe…
tasuba itu apa, pak?
😥
…..
Miris kali bang.
iya, mas 😦