Setelah Kepergianmu
Kucoba mengejarmu sekuat tenaga. Namun aku kalah cepat. Nafasku nyaris putus dan tubuhku penuh keringat. Hanya ada penyesalan di dada. Mengapa kau pergi begitu cepat? Kepergianmu menyisakan sesak di dada dan nestapa di jiwa. Terbayang, potongan gajiku di akhir bulan. Kereta, mengapa kau tega meninggalkanku?
Di Bawah Jembatan
Aku pernah menetap di kolong jembatan ini. Namun setelah kutinggalkan selama setahun, segalanya berubah. Rumah-rumah kardus berganti dengan tempat duduk permanen dengan aneka warna. Tak kutemui lagi kawan-kawan pemulung dan gelandangan. Hanya ada kumpulan orang-orang muda dengan pakaian rapi di belakang susunan aksara bertuliskan “Taman Jomblo II”.
Rumah Baru
Akhirnya aku pindah rumah juga. Terpaksa. Perjalanan waktu yang memaksaku untuk pindah. Aku tak kuasa menolaknya. Kini kusadari, bahwa rumah ini tak layak dihuni. Karenanya tak banyak yang berminat pindah ke rumah ini. Wajar. Rumah ini sempit dan pengap. Hanya ada satu ruang tanpa sekat di mana tanah menjadi alas, dinding, dan juga atapnya. Ukurannya cuma dua kali satu meter.
Sepatu Merah
Aku suka sepatu baruku. Merah. Lembut. Aku sudah mencobanya di toko. Mama yang memilihkannya dan memakaikannya di kakiku. Tetapi ketika kucoba di rumah, terasa sempit. Tak nyaman. Bahkan ketika aku coba berjalan, aku langsung terjatuh. Mama langsung mendekatiku sambil berkata, “Adik, pakai sepatunya jangan terbalik ya!”
Jawaban Satu Kata
Belasan kali aku ditolak. Sebanyak itu pula aku patah hati. Semua itu membuatku tersadar. Aku melakukan kesalahan di awal. Salah membuat kalimat pertanyaan. Untuk perempuan selanjutnya, agar tak ada lagi penolakan, aku akan mengubah pertanyaanku menjadi, “Aku mau melamarmu. Jawablah dengan satu kata! ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Kamu nggak nolak, kan?”
Bisik-bisik Tetangga
Tetangga. Di satu sisi, mereka bisa menjadi orang-orang yang paling menyenangkan. Namun di sisi lain, mereka bisa menjadi orang-orang yang menyebalkan. Seperti saat ini, ketika aku berbahagia dengan kelahiran putri pertamaku, mereka mengusikku dengan pertanyaan mengapa putriku lahir tidak prematur meski pernikahanku baru enam bulan yang lalu.
Potret Keluarga
“Saya nggak bisa, Bu Guru!” jawabku ketika Bu Guru melihat gambar potret keluarga buatanku. Aku tak akan bisa melaksanakan tugas dari Bu Guru untuk menggambar potret tentang kebahagiaan keluargaku. Mana mungkin aku bisa melakukannya jika hanya ada amarah dan tangis di antara ayah dan ibuku setiap hari.
Tulisan Terkait Lainnya :
Mas, ini Flash Fiction yang di Monday FF itu kah?
Iya mbak. Saya ketinggalan ngikutinnya karena nggak dari awal. Sebab sudah diclose jdnya saya bikin dan posting di blog sekaliaj sama yang semoat ngikutin 😀
Aku sudah tersayat sayat baca yang pertama dah langsung drop ternyata untuk kereta hhahah
😀
Gaji dipotong juga bikin tersayat, mbak
Lengkap sudah..
😀
Jadi fiksi satu paragraf ini langsung ke potret yang membawa klimaks ya Mas *hah istilahnya :haha*. Ketinggalan kereta, siap-siap dipotong… :hehe. Sekarang saya di kantor jadi petugas rekap absen jadi harus paham tentang potong-memotong absen :hehe. Kadang ada beberapa kejadian bikin nyesek dan kasihan banget… tapi peraturan kudu ditegakkan!
Iya, gar. Sebenarnya adalagi FF yg lebih pendek lagi. Namanya FF mini. Cuma terdiri dari satu-dua kalimat aja.
Kalau sudah by system kan lbu mudah buat ngawasin n negakkin peraturan gar
Ini beberapa cerita digabung apa gimana?
Satu cerita satu paragraf. Jadi nggak nyambung sati dg lainnya
Owalah
Iyah.. Begitu. Kan tokohnya juga beda2.
Yg paling akhir tu yg paling ngok banget
Ya… Sering kejadian di dunia nyata 😦
saya suka yang sepatu merah 🙂
Terima kasih, mbak. Itu adalah cerita pertama yg saya buat di antara cerita lainnya di atas 😀