Menjelang imlek, deretan pedagang bunga di pinggir Jalan Rawa Belong akan berubah menjadi deretan pedagang ikan bandeng. Tentu saja, bandeng yang mereka perdagangkan bukan bandeng biasa. Bandeng jumbo. Bandeng dengan ukuran sangat besar.
Kupikir, tak ada salahnya jika aku membeli beberapa ekor bandeng jumbo tersebut untuk kuberikan kepada A Pa, A me, dan para adik iparku. Meski mereka berbeda keyakinan denganku dan istriku, mereka tetap keluargaku juga. Memberikan hadiah kepada mereka, tak akan merusak akidahku.
Kupilih beberapa ekor ikan bandeng jumbo yang paling segar. Setelah menimbang dan menawar harga, segera kubawa ikan bandeng jumbo tersebut menuju rumah A Pa dan A me. Tak lupa kuberitahukan istriku di rumah.
Rumah A Pa dan A me terlihat sepi. Sepertinya adik-adik iparku belum pulang bekerja dan kuliah. Kuketuk pintu sambil memanggil A Pa dan Ame.
“Siapa?” terdengar suara A Pa dari dalam rumah.
“Saya, A Pa! Amir!” jawabku.
“O. Masuk-masuk!” A Pa mempersilahkan diriku masuk. “Biyu tak ikut?”
“Tidak, A Pa. Saya sendiri. Biyu di rumah,” jawabku. “A Pa, ini ada ikan bandeng. Tadi saya beli di Rawa Belong. Barangkali kalau dimasak sama A Pa atau A Me bisa jadi menu yang super sedap!”
“Wah, terima kasih. Terima kasih!” jawab A Pa sambil tertawa gembira menerima kantong palstik berisi ikan bandeng dariku.
Sesaat setelah berpindah tangan, A Pa membuka kantong plastik untuk melihat isinya.
Tiba-tiba, wajah A Pa mendadak berubah pucat.
“Si!” teriak A Pa. “Amir kau mau A Pa mati seperti bandeng ini?” tanya A Pa dengan nada tinggi.
Aku tak mengerti mengapa A Pa marah dan berkata demikian. Apakah aku melakukan kesalahan? Aku tak menjawab. Aku diam dalam kebingunganku.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Istriku memanggil.
“Biyu!”
“Kakak!” suara istriku terdengar dari seberang. “Kalau mau memberikan A Pa dan A Me ikan bandeng, jumlahnya jangan empat ekor yah! Itu angka sial bagi mereka.”
Prompt #102: 我征服
Baca JugaFlash Fiction Lainnya :
- [Prompt#135] Pacar Sesaat
- [Prompt#121] Kutu-Kutu Hendak Menjadi Kupu-kupu
- [Prompt#120] Hanya Sejengkal
- [Prompt#119] Perbedaan
- [Prompt#118] Perjumpaan Kembali
- [Prompt#117] Senyum Ibu
- [Prompt#116] Lidah Perempuan
- [Prompt#115] Sayap yang Patah, Hati yang Terbelah, dan Jaring Laba-laba yang Lemah
- [Prompt#114] Ada Apa Dengan Cintana?
- [Prompt#113] Adin dan Sani
Ooo, karena jumlahnya empat ekor yaaa…
iya, pak. angka empat, dalam pelafalannya di bahasa cina suaranya mirip dengan kata yang artinya mati.
=))
klo ngasih hadiah ke yang beda budaya atau agama memang harus hati2 ya… XD
Kurang lebih begitu, mbak
Hehehe, sama seperti nomor lantai bangunan disana yang mana angka 4 biasanya dilompati 😛
Nah… Itu… Anti sama yg berbau2 empat
Bru tahu nih ttg hal ini. 😀
semoga bermanfaat, mas 😀
Trims kawan @jampang
sama-sama, mas
Wahh padahal niatnya sebenernya baik ya… Angka empat emang sering di bilang angka sial ya.
iya mbak. menurut tradisi cina, angka empat memang dianggap angka sial. sebab pelafalannya sama seperti pengucapan kata yang artinya mati
Beuh
hmmm,,,,
yaa gitu yach, aku pernah dengar sich tapi nga ngeh juga kalau angka tersebut nyangkut kesemua hal hiksss..
Kurang tahu juga seh, mbak 😀
Yg sudah jelas seh terkait lantai bangunan/gedung. Ada yg sama sekali nggak mau nomorin dengan angka yg ada unsur 4-nya
Lost in culture.. Termasuk ngasih uang kondangan jangan pake amplop putih. Tapi merah!
iya. amplopnya beda
Putih biasanya buat kematian..
beda dengan yang umumnya di sini, kuning sebagai tanda kematian
Benar sekali
lain lubuk lain ikannya…. lain padang lain ilalang… eh apa belalang yah?
Lain ladang lain belalang 🙂
ooo… ya itu, maksudnya
Wkwkwk
Ts