Hitam di Atas Putih Untuk Pak Profesor

Profesor Tjipta Lesmana
Pak Profesor yang terhormat, pagi tadi, di salah satu group chat yang saya ikuti, salah seorang anggotanya membagikan sebuah file foto artikel tulisan Bapak yang dmuat di sebuah media cetak. Judul artikel tersebut “Kematian Prada, Panama Papers, Pengampunan Pajak”.

Saya yakin, Prada yang Bapak maksud di dalam judul dan artikel tersebut adalah seorang pegawai pajak yang gugur ditusuk atau ditikam oleh wajib saat yang bersangkutan menjalankan tugasnya untuk mengamankan penerimaan negara. Tapi Pak, nama rekan sejawat saya yang bertugas di Kantor Pelayanan Pajak Sibolga itu bukan Prada, melainkan Parada. Nama lengkapnya, Parada Toga Fransriano S.

Bapak juga menyebut Parada –saya tidak mau mengikuti kesalahan Bapak dalam menuliskan nama di artikel tersebut— sebagai pegawai negeri rendahan.

Di dalam sebuah organisasi, sudah pasti terdapat level manajemen yang berbeda. Level atas, menengah, dan bawah. Namun ketiganya merupakan satu kesatuan. Satu tubuh. Tak mungkin memisahkan salah satu dari ketiganya. Sebab jika tidak ada salah satu level manajemen, maka organisasi tidak akan berjalan. Organisasi tidak akan bisa mencapai apa yang menjadi tujuannya.

Parada adalah seorang Juru Sita. Jabatan tersebut memiliki tugas dan kewenangan khusus dibandingkan dengan jabatan lain di dalam struktur kepegawaian di Direktorat Jenderal Pajak. Di antaranya adalah melakukan kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak yang belum melunasi utang atau tunggakannya setelah melewati jatuh tempo.

Pak Profesor, jika saya ingin menulis jabatan seorang pegawai, cukuplah saya menulis golongan dan jabatannya. Saya tak akan menambahkan dengan gelar pegawai negeri rendahan. Saya berpikir, cukuplah strata di kepegawaian saja yang menyatakan tinggi rendahnya jabatan seorang pegawai. Seandainya pegawai yang bersangkutan yang mengatakan bahwa dirinya sebagai pegawai rendahan, tak apa. Itu haknya. Saya menganggapnya sebagai wujud kerendahan hati.

Di kalimat berikutnya, Bapak menuliskan bahwa Parada menjalani tugas bersama rekannya sesama PNS aparat pajak. Padahal, rekan Parada saat itu bukanlah seorang PNS, melainkan tenaga honorer. Jika Bapak ingin tahu, namanya Soza Nolo Lase. Sepertinya ada beberapa informasi yang tidak sampai ke telinga Bapak sehingga terjadi kesalahan di dalam tulisan Bapak.

djp berduka
Parada Toga Fransriano S dan Soza Nolo Lase, Bapak sebut sebagai korban dari sistem perpajakan yang tidak beres di Republik Indonesia. Sayangnya, Bapak tidak menyebutkan ketidakberesan yang dimaksud secara rinci. Barangkali, saya akan menemukannya di paragraf-paragraf selanjutnya tentang hal tersebut.

Di paragraf kedua, ada sebuah kalimat yang ingin saya garis bawahi, sebab memiliki keterkaitan dengan paragraf-paragraf selanjutnya. Kalimat tersebut berbunyi, “Jawabannya sederhana, walau kita tidak punya bukti hitam di atas putih.”

Saya akui, untuk memberikan sebuah dugaan atau sangkaan, jauh lebih mudah dan sederhana dibandingkan mencari data dan fakta yang valid. Tapi, Bapak kan seorang profesor. Di dalam pandangan saya, seorang profesor itu lebih mengedepankan data, fakta, dan informasi yang valid dibanding sebuah dugaan dan sangkaan yang didasari asumsi atau intuisi belaka. Kira-kira mengapa begitu, Pak?

Di paragraf selanjutnya, Bapak menggunakan kata “pasti” seolah-olah sangat yakin jika pengusaha yang menikam Parada Toga Fransriano S dan Soza Nolo Lase telah berkali-kali ditagih namun berhasil lolos karena berhasil menyuap petugas pajak. Pernyataan Bapak tersebut bisa diartikan bahwa Bapak sudah memastikan ada petugas pajak yang menerima suap pengusaha tersebut. Apakah kepastian yang Bapak maksud tersebut dikarenakan Bapak melihat langsung kejadian suap-menyuap tersebut? Atau Bapak memiliki data transaksi keuangan para pelaku? Atau Bapak mendapatkan konfirmasi dari pihak-pihak terkait mengenai suap-menyuap yang Bapak sebutkan itu?

Ah, saya lupa. Sebenarnya Bapak sudah memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya tersebut yang tertera jelas di dalam artikel Bapak. Bapak tidak punya bukti hitam di atas putih.

Mengenai kronologis tentang apa yang terjadi di Tempat Kejadian Perkara, Bapak juga hanya mengira-ngira apa yang terjadi dengan menuliskan bahwa bisa jadi pegawai pajak yang bicaranya terlalu keras atau pengusahanya yang sedang sewot. Untuk hal ini, dan juga hal-hal lain, ada baiknya Bapak mencari informasi yang lebih valid dari sekedar dugaan. Toh peristiwanya sudah terjadi. Kronologis peristiwa tersebut bisa dibaca di berita-berita yang beredar luas di internet.

Di bagian selanjutnya, Bapak menyebutkan bahwa salah satu keburukan sistem perpajakan di Indonesia adalah adanya pengenaan pajak berlilpat-lipat. Bapak mencontohkan transaksi jual-beli rumah. Dalam transaksi jual-beli tersebut, penjual dan pembeli diharuskan membayar pajak. Namun Bapak menyebutkan bahwa si penjual akan membayar pajak lagi ketika hasil penjualan rumah tersebut dilaporkan dalam SPT Tahunan dan perhitungannya dikenakan tarif progresif. Lalu Bapak menyimpulkan bahwa si penjual harus membayar pajak dua kali atas objek yang sama.

Apakah benar demikian?

Dalam contoh transaksi yang Bapak sebutkan, memang kedua pihak, baik pembeli maupun penjual diharuskan untuk membayar pajak. Tetapi dari sisi penjual, tidak dikenakan pajak sebanyak dua kali untuk objek yang sama. Uang atau penghasilan yang didapat penjual dari penjualan rumahnya dikenakan pajak secara final sebagaimana yang tertulis dalam UU PPh Pasal 4 ayat (2). Penghasilan yang dikenakan pajak secara final tetap dialporkan di dalam SPT Tahunan nemaunn di dalam formulir yang berbeda dengan penghasilan non final perhitungannya dikenakan tarif progresif. Sehingga, penghasilan tersebut dikeluarkan dari pengghitungan penghasilan non final yang pajaknya dihitung dengan tarif progresif. Jadi, si penjual tidak dikenakan pajak sebanyak dua kali untuk objek yang sama.

Bapak juga menyebutkan bahwa jika perusahaan mendapatkan keuntungan 10 milyar, maka perusahaan harus membayar pajak penghasilan sebesar 2,5 milyar. Ketika hendak memberikan dividen, maka perusahaan harus membayar lagi 1,5 milyar.

Apakah begitu ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia?

Pajak penghasilan atas keuntungan yang diraih perusahaan memang harus dibayar sesuai dengan penghitungan tarif yang berlaku. Sedangkan untuk dividen, perusahaan tersebut tidaklah membayar pajak penghasilan lagi, melainkan memotong pajak dari dividen yang merupakan objek Pajak Penghasilan Pasal 23, yang diterima penerimanya dengan tarif sesuai ketentuan. Jumlah pajak yang dipotong itulah yang kemudian disetorkan oleh perusahaan. Jadi yang membayar sebenarnya adalah penerma dividen, bukan perusahaan pemberi dividen. Perusahaan pemberi dividen hanya memotong dan kemudian menyetorkan.

Jika Bapak mengatakan banyak pengusaha yang kemudian melarikan uangnya ke luar negeri atau bertransaksi dengan pihak luar negeri karena ruwet, rumit, dan tidak adilnya sistem perpajakan di negeri ini, bisa jadi bukan karena sistem pajaknya yang bermasalah –meskipun saya juga menerima bahwa yang namanya sistem yang dibuat manusia pasti ada kekurangan dan kelemahannya –tetapi karena pemahaman pengusaha tersebut tentang sistem pajak di Indonesia yang masih kurang. Saya menyimpulkan demikian karena membaca apa yang Bapak tulis di artikel tersebut.

Ketentuan perpajakan yang berlaku saat ini, salah satunya adalah mengenakan sanksi bunga 2% setiap bulan jika wajib pajak membayar melewati tanggal jatuh tempo. Sebaliknya, wajib pajak akan mendapatkan imbalan bunga 2% per bulan jika membayar pajak lebih besar dari yang seharusnya. Bukankah itu adil, Pak?

Dibagian akhir tulisan, Bapak mempertanyakan jumlah yang akan diperoleh negara dan kerugian negara jika UU Tax Amnesty disahkan. Untuk yang satu ini, saya tidak bisa menjawab. Saya tidak punya dasar hitam di atas putih. Yang saya harapkan, disahkan atau tidaknya UU Tax Amnesty akan memberikan dampak yang baik bagi seluruh masyarakat dan negeri ini.

Sebagai penuttup, saya mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati Bapak.


Tulisan Terkait Lainnya :

31 respons untuk ‘Hitam di Atas Putih Untuk Pak Profesor

  1. zilko April 15, 2016 / 03:28

    Ketika menuliskan sesuatu (apalagi ke ranah umum), isi tulisan memang harus dipertanggung-jawabkan ya, termasuk fakta-fakta yang ditulis disitu. Menurutku tidak ada salahnya sih menuliskan suatu dugaan/hipotesa (yang bukan asal tebak/dikarang saja, tetapi berdasarkan pola pikir tertentu) karena terkadang memang data/fakta yang menyokongnya belum/tidak tersedia 😉 . Hanya saja, penting untuk menekankan bahwa pernyataan ini harus diperlakukan sebagau dugaan/hipotesa saja, tidak bisa digunakan sebagai sebuah fakta.

    • jampang April 15, 2016 / 05:09

      Jika didasari pola pikir tertentu atau teori tertentu saya pikir juga tidak masalah. Hanya saja dari tulisan beliau banyak mengandung asumsi dan dugaan yang sebenarnya bisa mengambil dasar yg bisa dijadikan pijakan. Misalnya cara penghitungan pajak, kan bisa menyandingkannya dengan UU Perpajakan yg berlaku, ada bukunya, ada artikelnya, jadinya nggak menyampaikan informasi yang salah kepada masyarakat

  2. Dyah Sujiati April 15, 2016 / 04:39

    Tulisan ini harus dikirim juga ke grup untuk penyeimbang info yg sudah menyebar dari tulisan si profesor.

    • jampang April 15, 2016 / 05:09

      Saya ngesharenya di FB dan Twitter, mbak 😀

  3. ayanapunya April 15, 2016 / 06:41

    Judulnya harusnya surat terbuka nih. Biar jadi viral. Hihi

    • jampang April 15, 2016 / 08:06

      Jadi sebaiknya diganti ya, mbak? 😀

      • ayanapunya April 15, 2016 / 08:10

        Terserah mas rifki aja sih. Hihi

      • jampang April 15, 2016 / 08:12

        😀
        Sebelumnya memang sudah muncul ide begitu, mbak. Tp akhirnya nggak jadi saya pakai.

  4. anti huru hara April 15, 2016 / 08:31

    Pantas saja negeri ini selalu dalam keadaan terpuruk, wong seorang publik figur yang bertitel Profesor saja masih begini tulisannya….

    • jampang April 15, 2016 / 08:48

      manusia tempatnya salah dan lupa… jadi sebisa mungkin diingatkan 😀

  5. Ratna Dewi April 15, 2016 / 10:16

    Di luar artikel bapak ini, selama saya jadi wartawan televisi, bapak ini memang ‘agak rewel’ kalo mau dijadikan narasumber.

    • jampang April 15, 2016 / 10:36

      kalau saya baru tahu sekarang, mbak. sebelumnya belum kenal atau baca tulisan beliau yang lain

  6. damarojat April 15, 2016 / 11:20

    izin share ya mas. ih, kayak di facebook aja 😀

  7. Gara April 15, 2016 / 11:29

    Bapak profesornya kebanyakan baca komentar panas di salah satu situs media online jadi pikirannya juga gampang sekali terprovokasi dan menulisnya cuma berdasar hati yang panas alih-alih kepala yang dingin :hehe. Izin sedikit Mas, yang Pasal 4 ayat (2) itu di UU PPh, bukan di UU KUP :hehe. Jadi pelajaran buat kita semua ya Mas, kalau mau menulis sesuatu, ingat riset, kemukakan fakta. Satu lagi, gelar berderet tidak menjadikan seseorang bijaksana :haha.

    • jampang April 15, 2016 / 11:39

      Wah… iya. ada yang salah, terima kasih koreksinya, gar.

      • Gara April 15, 2016 / 16:14

        Sama-sama!

      • jampang April 15, 2016 / 21:02

        😀

    • ndu.t.yke April 18, 2016 / 13:48

      Satu lagi, gelar berderet tidak menjadikan seseorang bijaksana

      >> n perlu ditelusuri jg itu gelar ‘profesor’ dapatnya dr mana 🙂

      • Gara April 18, 2016 / 13:48

        Ups, betul banget :hehe.

      • jampang April 18, 2016 / 13:51

        yang bersnagkujtan sudah buat klarifikasi seh mbak… tapi nggak berimbang. tulisan pertama bekolom-kolom, klarifikasinya cuma beberapa paragraf

  8. alrisblog April 15, 2016 / 15:14

    Ntuh si profesor kan bidangnya komunikasi (kalau gak salah). Kalo dia bicara pajak saya pikir gak kapabel. Jadi baca pendapat yang gak kapabel percuma juga, hahaha…

    • jampang April 15, 2016 / 21:03

      Tapi bagi masyarakat yg mikir profesor sudah pasti hebat… Kan jadi repot

  9. Rachmat Tubagus April 15, 2016 / 23:10

    Mungkin beliau menganalisis berdasarkan sudut pandangnya sendiri, meski hanya menduga, kesalahannya adalah memilih kata yang kurang tepat.

    • jampang April 17, 2016 / 17:21

      yang bersangkutan sudah membuat klarifikasi di media yang sama meski tidak menjelaksan semua yang disampaikan sebelumnya

  10. kicauasmar April 16, 2016 / 17:43

    bisa galak juga bang Jampang… 🙂

    • jampang April 16, 2016 / 22:31

      😀
      Masa nulis begitu dibilang galak?

  11. agus April 16, 2016 / 20:09

    ternyata sekelas profesor tidak tahu bedanya pajak, BPHTB dan retibusi kesimpulan saya pak tjipta belum paham sistem dan peraturan pajak di indonesia bisa jadi karena yang bersangkutan belum pernah ke kantor pajak, apalagi bayar pajak

    • jampang April 16, 2016 / 22:30

      Yang bersangkutan sudah buat klarifikasi di koran yg sama. Tp cuma sedikit, enggak sebanyak yang ditulis sebelumnya 😀

Tinggalkan jejak anda di sini....

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s