Sekarang, aku punya benda baru yang bisa kujadikan mainan. Buku dan pulpen. Itulah nama benda yang sering kumainkan selain mainanku yang lain.
Buku dan pulpen tersebut kudapat dari Abi. Abi punya beberapa buku agenda kosong yang biasanya merupakan souvenir yang Abi dapatkan ketika diminta untuk menjadi peserta atau narasumber dalam suatu acara di kantor. Abi tidak menggunakan buku agenda tersebut. Halamannya masih kosong. Begitu juga dengan pulpen. Abi punya beberapa pulpen juga. Salah satunya adalah yang berwarna hitam yang berfungsi juga sebagai flashdisk yang Abi dapatkan ketika menjadi peserta sebuah acara sosialisasi.
Aku diajarkan Abi bagaimana menggunakan kedua benda tersebut. Mulai dari memegang pulpen hingga menulis sebuah garis di buku. Ah, mudah sekali.
Aku langsung bisa menggunakan pulpen dan buku tersebut. Tetapi, caraku memegang berbeda dengan yang Abi ajarkan. Apa yang kutulis juga berbeda dengan yang dicontohkan oleh Abi. Coretanku tak berbentuk garis lurus, melainkan lengkung dan berulang-ulang. Sepertinya hasil karyaku menganut aliran abstrak yang tidak bisa dipahami orang banyak 😀
Puas mencorat-coret di satu halaman, aku akan membuka halaman kosong lainnya. Begitu seterusnya. Bahkan, tinta pulpen yang diberikan Abi sampai habis. Untungnya Abi masih punya pulpen yang lain lagi. Pulpen warna putih. Jadinya aku bisa corat-coret lagi. Bahkan, aku menemukan sebuah pulpen lain yang warnanya biru. Pulpenku jadi ada dua sekarang.
Puas dengan mencorat-coret buku agenda milik Abi, aku menemukan media lain, yaitu bola mainanku yang berwarna kuning. Beberapa kali aku menggoreskan tinta di permukaan bola yang bulat itu. Abi dan Ummi tidak melarangku melakukannya.
Belakangan, aku menemukan fakta bahwa tak hanya buku dan bola saja yang bisa kucorat-coret. Kedua kakiku pun bisa kujadikan media kreatifitasku. Setelah mencorat-coret kakiku, dengan bangga kutunjukkan kepada Abi dan Ummi.
Abi dan Ummi tertawa. Namun kemudian segera mengambil tisu basah dan membersihkan kakiku dari semua coretan sambil mengatakan bahwa kakiku bukan untuk dicorat-coret dan aksi corat-coretku cukup dilakukan di buku saja.
Baca Juga Diaryku Lainnya :
- Sabiq’s Diary : Ke Taman Safari
- Sabiq’s Diary : Truk Mainan
- Ketika Anak dan Ayah Bercerita Tentang Lebaran yang Seru
- Sabiq’s Diary : Bukan Demam Berdarah
- Sabiq’s Diary : Jalan-jalan ke Seaworld
- Sabiq’s Diary : Aku Sudah Bisa Berjalan
- Sabiq’s Diary : Belajar Berjalan
- Sabiq’s Diary : Minum Susu dan Yoghurt
- Sabiq’s Diary : Corat-coret
- Sabiq’s Diary : Turun Dari Tempat Tidur
Hahaha, kalau begitu spidol permanen mesti dijauhkan dari Sabiq ya. Kalau engga, ntar Abi dan Ummi-nya yang repot membersihkannya dari coretannya Sabiq di kaki 😛
Untungnya nggak ada spidol kayak gitu di rumah, om 😀
Sabiq kayaknya mau jadi penulis nanti tuh, hehehe…..
Yang jelas aku harus belajar dulu, om 😀
samaan anak saya demen banget body painting 😀 alias berkarya d kakinyaa,hhehehehe
Tapi tetap yg utama untun dicorat-coret itu buku, tante 😀
Waktunya dibelikan spidol yg bs dihapus itu, Pak. Kayaknya ada deh 🙂
Ada ya, tante? Nanti coba aku minta dibelikan sama Abi. Sementara aku pakai pulpen biasa dulu 😀
Hmmm aku lupa juga, ntah spidol atau krayon atau pensil warna ya itu, hehehe. Maap ya komen tante ngga nolong. Ntar kutanya temen2 dulu.
baik, tante….
ada, biasanya sepaket sama bukunya…
tembok rumah juga bisa dicoret2 lho sabiq.. hihi
wah…. tembok juga bisa yah?
sudah mulai menulis, hehehe
Iya tante 😀