Patah hati. Saya pernah mengalami. Di masa-masa pencarian jati diri. Rasa suka yang semula bersemi di taman sanubari, pada akhirnya harus berujung dan bertepi. Kisah kebersamaan yang berawal ketika saya duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah (SPM) harus berakhir di penghujung kelasa dua SMA negeri.
Dalam pandangan dan pikiran saya kala itu, sosoknya tak menarik lagi. Dirinya semakin sulit saya pahami. Rasa suka yang ada semakin terkikis dan pada akhirnya berujung benci. Di kelas tiga SMA, kami berpisah secara resmi. Di masa-masa berikutnya, tak ada pertemuan atau kebersamaan yang terjadi.
Jika saya mau jujur, rasa suka yang semakin luntur, bukanlah karena dirinya yang lacur. Sebab ada pihak lain yang ikut berperan dan menambah kerumitan hubungan di antara kami hingga hancur. Dialah seorang guru yang masa baktinya hampir uzur.
Saya tak bertutur tentang sosok gadis nan cantik jelita. Saya tak berkisah tentang teman perempuan semasa SMA yang bernama Siska atau Malika. Melainkan tentang sebuah mata pelajaran bernama Fisika. Jika ada yang berkenan membaca, berikut adalah ceritanya.
*****
Saya mengenal Fisika sejak duduk di bangku kelas satu Tsanawiyah. Di masa-masa awal, materi pelajarannya cukup mudah. Teori dan rumus-rumusnya tak ada yang susah. Pelajaran yang satu ini tak membuat hati saya gundah. Guru yang mengajar pun amat baik dan tidak membuat saya dan teman-teman merasa gerah. Tidak seperti guru Biologi yang gayanya sok gagah dan selalu membawa penggaris kayu yang panjangnya menyamai galah.
Melalui Fisika pula saya mengetahui bentuk atau format soal yang disebut pilihan asosiasi. Padahal sebelumnya, hanya bentuk soal berupa pilihan berganda, benar salah, menjodohkan, dan essay, yang saya mengerti. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya untuk bisa mengerti bentuk soal yang satu ini.
Teori yang sederhana dan rumus-rumus yang tak rumit, membuat saya mudah memahami pelajaran Fisika. Bahkan dengan membaca dalam waktu yang tak lama. Mungkin dari situlah timbulnya rasa suka. Mungkin juga sampai jatuh cinta. Tapi tidak sampai cinta buta.
Hal ini terbukti ketika saya mengalami sakit cacar di kelas satu. Saya tak masuk sekolah hingga dua minggu. Begitu masuk, saya mendapat kabar bahwa hari itu akan ada ulangan Fisika dari teman sebangku. Saya langsung membuka buku. Saya berusaha menghapalkan teori dan rumus secepat dan sebanyak mungkin untuk mengejar waktu. Sebab tak mungkin saya meminta penundaan ulangan selama satu minggu.
Dengan seksama, saya membaca bab yang membahas pesawat sederhana. Saya coba memahami beberapa bentuk rumus untuk menghitung keuntungan mekanik yang intinya adalah perbandingan antara lengan beban dan lengan kuasa.
Ketika pelaksanaan ulangan tiba, dengan penuh rasa percaya diri, saya menjawab semua soal satu per satu. Tanpa ragu. Mungkin saya beruntung, sebab apa yang saya baca sebelumnya, muncul dalam soal-soal yang dibuat Pak Guru.
Dua atau tiga minggu kemudian, hasil ulangan dibagikan. Alhamdulillah, saya mendapatkan nilai sembilan. Keren, kan?
Di kelas tiga SMP, saya mengalami kejadian yang luar biasa bersama Fisika. Di salah satu ulangan, saya mendapatkan nilai nyaris sempurna. Di lembar jawaban ulangan saya tertera angka sepuluh dengan tanda minus di sebelah kanannya. Karena bingung, saya tanya kepada Pak Guru, nilai itu maksudnya apa. Ternyata, dengan rumus penghitungan nilai yang digunakan oleh Pak Guru, saya mendapat nilai sepuluh, meskipun jawaban saya ada yang salah sebanyak satu atau dua. Maka jadilah nilai saya sepuluh dengan tanda minus disebelah kanannya. Untunglah bukan di sebelah kirinya.
Sayangnya, masa-masa indah bersama Fisiki dan berlanjut ketika saya duduk di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Teori dan rumusnya semakin sulit untuk saya pahami dan mengerti. Apalagi ketika duduk di kelas dua, saya mengalami kejadian yang membuat saya sakit hati.
Di kelas dua SMA saya diajarkan fisika oleh pak guru yang sudah tua. Lensa kaca mata yang beliau kenakan sangat tebal dan rambut di kepala beliau hampir memutih semua. Itulah dua ciri Guru Fisika di kelas dua SMA yang tak bisa saya lupa. Pak B, namanya. Dari beliaulah, saya pernah mendapatkan hukuman yang membuat saya malu luar biasa.
Pada suatu ketika, di depan kelas, Pak B sedang menjelaskan materi baru dengan seksama. Tanpa saya duga, teman yang duduk di sebelah saya menggerakkan atau menggeser mejanya secara tiba-tiba. Perlu diketahui, kondisi saat itu, saya dan teman sebelah mendapatkan satu bangku dan satu meja. Meja diletakkan secara berhimpitan satu sama lainnya.
Saat teman saya menggeser meja itu, jari tangan saya kegencet. Saya kaget.
Mulut saya spontan berteriak kesakitan. Tentu saja, terikan tersebut mengganggu Pak B yang sedang menerangkan pelajaran. Pak B berhenti sejenak, kemudian membalikkan badan. Beliau mencari sumber suara, bertanya siapa yang berteriak sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Saya pun mengaku sambil mengangkat tangan.
Pak B melangkah mendekati kursi di mana saya berada. Begitu Pak B sudah berada di sebelah kanan saya, tangan kanannya langsung menjenggut rambut saya. Sakitnya memang tidak seberapa, tetapi malunya sungguh terasa.
Selepas menjenggut rambut saya, Pak B meminta saya maju ke depan. Saya diberikan soal untuk dikerjakan. Lantaran emosi yang tak mungkin reda seketika, saya tak bisa memfokuskan pikiran. Konsentrasi tak kuasa saya kumpulkan. Akibatnya, soal yang diberikan tak bisa tak bisa saya selesaikan. Lagi-lagi saya merasa dipermalukan.
Akhirnya, di kelas dua itulah saya terakhir kali mempelajari Fisika. Saya tak sanggup lagi untuk menghapal teori dan memahami rumus yang semakin tinggi tingkat kerumitannya. Tak ada lagi ikatan jiwa di antara kami berdua. Tak ada lagi kecocokan yang dirasa. Dan jika dipaksakan, akan hadir kembali luka-luka baru yang menganga.
*****
Kenangan yang masih bisa saya ingat dari Fisika adalah sebuah rumus seperti gambar di bawah ini yang mengingatkan saya tentang salah satu sudut dalam memandang kehidupan kehidupan.
Rumus tersebut mengisyaratkan bahwa, Pressure (P) atau Tekanan berbanding lurus dengan Force (F) atau Gaya. Jadi kalau ada yang ngerasa hidupnya penuh dengan tekanan, bisa jadi karena dirinya kebanyakan gaya!
Tulisan Terkait Lainnya :
eaa bisa aja endingnya 😀
Fisika masa SMA memang susah banget dimengerti, mas. mana gurunya galak lagi. lucunya pas kuliah pelajaran fisika yang susah itu akhirnya bisa dimengerti
fisika saya sudah nyerah. cuma kalau yang sama dengan pengalaman mbak itu pelajaran akuntansi. di SMA nggak ngerti sama sekali akuntansi. cuma ntatat doank. eh kuliah di STAN. akhirnya bisa ngerti…. meski nggak bertahan lama… nggak kuat pas di advanced 😀
Ya di stan kan pelajarannya khusus akuntansi. Hehe
iya. mau nggak mau harus ngerti, biar nggak di-DO 😀
Memanga banyak orang yang takut dengan Fisika. Sapa bilang Fisika mudah? Fisika memang tidak mudah tapi kalau diajarkan dengan cara yang baik tidak terlalu terasa sulit. Tidak semua orang harus jago Fisika kok, tenang saja. Kalau semua hebat dalam Fisika tidak ada lagi yang bekerja di bidang lain. *pekerjaan saya setiap hari mengajar fisika di universitas 😀
nah…. itu… itu…. u dosen *baru tahu*
tekni mengajr juga mempengaruhi tingkat pemahaman siswa dan mahasiswa yah
ya iya dong, guru yang baik adalah yang bisa mengajarkan hal yang sulit menjadi sederhana dan mudah dimengeri. Dan itu perlu pemahaman secara menyeluruh bukan hanya tahu sebagian saja 🙂
wah …. pasti di kampus mbak ini dosen yang jadi favotir mahasiswa nih 😀
dulu sma fisika suka bingung sendrri dapat dari maa jawabannya terus muridnya ikut kebingungan juga
lho koq bisa gitu 😀
gurunya pintar tapi kurang bisa menyalurkan ilmunya
mungkin karena sudah terlalu tua, mbak
Dr smp trus sma, guru fisika sya killer. 😀
tapi bisa ngerti, mas?
Bnyk kagaknya 😀
😀
mungkin memang tidak berjodoh dengan fisika
Mungkin ya, pdhl alm ayah saya cerdas dlm bid eksak (terutama matematika) tapi gag nurun ke sya. Sya sndiri sma-nya ngambil ips.
mungiin salah satu contoh pribahasa arab yang artinya “ilmu itu dengan belajar, bukan dengan nasab”
sama dong kalau gitu…. anak IPS
Alhamdulillah Fisika saya gak ada masalah, yg parah adalah kimia.
Tulisannya berima euy! Mikirnya pasti lumayan inih! Gud lak for the challenge, Mas!
kimia saya juga parah. dapat lima di kelas satu 😀
terima kasih, mas. iya, dibikin berima aja soalnya bukan cerita patah hati sama kekasih 😀
Hahaha.. Kalau sama kekasih dibuat berima gak kelihatan sedihnya ya wkwkwk
dan nantinya balah baper lagi 😀
Wakakakaka..
😀
Aaah, keren banget gaya penulisannya!!! Cerpen tetapi ada pengaruh pantunnya (berima maksudnya)!!! 😀
Btw, itu Pak Guru B-nya tipikal guru zaman kuno ya, hehehe
karena bukan cerita putus sama pacar, jadinya ya dibikin beda dikit lah, dengan rima di setiap akhir kalimat.
😀
Kalau saya putus sama matematika mas. Gara-gara si Tri. Trigonometri. Padahal saya dan dia kakak beradik. Saya dwi, dia tri. Hahah…
di trigonometri saya juga mulai kewalahan…. tapi masih mending dibanding algoritma.
😀
iya yah…. dari namanya udah ketahuan… kakak-adik..
Keceeeeee… tulisannya kece banget ini. Sy emang ga bisa pacaran sama fisika. Ga ada kemistriiih 😀
terima kasih, mbak 😀
kemistri bukannya ada… itu kimia, kan? 😛
bukaaaaaaaaaan.. itu chemstry bahasa linggisnya Kimia. Bagian dari Mafia 😀
eh salah yah…. pantesan… dulu kimia saya dapat angka merah di raport 😀
sedari SMP sampe SMA yg ngajar fisika emang rata2 kepribadiannya unik, mau ngomong aneh takut kualat
itulah akhirnya yg bikin saya masuk Ikatan Pelajar Santai alias IPS
Pengalamannya mirip nih 😀
ashahahhaha..kirain nyeritakan fractura hepatica
Apa itu,mbak?
fractura=patah
hepatica=hati
hehehe
Oooooh…..
Ini versi yang berbeda 😀
saya pikir gita cinta dari SMA …
ternyata soal pelajaran fisika … 😀 😀 😀
enggak lah, kang. kalau yang itu sudah mainstream, pasti banyak yang udah cerita…. saya ceritain yang lain aja
hai mas rifki, sebelumnya aku mau ngucapin terimakasih karena mas sudah berpartisipasi di GA Pameran Patah Hati,
baca postingan mas bikin aku inget sama masa SMP dan SMA ku dengan fisika ini. aku ngerasa pas SMP, fisika itu asik banget mas, nilaiku juga lumayan. tapi pas SMA kelas 1 aku sadar kalau fisika ini tambah susah dan nilaiku bener-bener jeblok mas, akhirnya aku angkat tangan. daripada masuk IPA sebagai siswa abal-abal dan g sesuai bakat dan minatku, akhirnya aku milih IPS aja
sama-sama, mbak.
wah ternyata punya pengalaman yang sama yah 😀