“Apakah pasangan Anda memiliki kekurangan?”
“Ada. Banyak.”
“Adakah kelebihan yang dimiliki pasangan Anda?”
“Ada. Satu.”
“Bagaimana Anda bisa bertahan hidup bersama pasangan Anda yang memiliki banyak kekurangan dan hanya memiliki satu kelebihan?”
“Kekurangan yang dimiliki pasangan hidup saya sebanyak bintang di langit. Sementara kebaikannya yang hanya satu ibarat matahari. Saya tak lagi membutuhkan cahaya dari ribuan bintang sebagai penerang hidup saya jika saya memiliki sinar matahari yang benderang.”
Saya pernah membaca dialog seperti di atas, tetapi saya tak ingat kapan dan di mana. Yang saya tangkap dari dialog tersebut adalah tentang bagaimana seorang suami atau istri memandang kekurangan dan kelebihan pasangannya. Jika seorang suami atau istri memandang kebaikan pasangannya sebagai sesuatu yang luar biasa dan memandang kekurangan pasangan sebagai hal yang biasa, maka kehidupan rumah tangga mereka akan tenang dan damai. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka kehidupan rumah tangga mereka akan kacau.
Berbekal pengalaman di masa lalu, saya belajar untuk melihat kelebihan istri, sekecil apapun, sebagai sesuatu yang luar biasa. Saya juga belajar untuk memaklumi kekurangan istri selama tidak berakibat fatal di kehidupan kami kelak di akhirat.
Bermula dari hal tersebut, saya mengabadikan momen-momen kebaikan-kebaikan istri saya dalam bentuk coretan-coretan di blog ini dengan kategori khusus yang saya beri label “minyu”. Sebagai pengingat diri. Momen terbaru adalah yang terjadi hari ini.
Pukul 09.00
Saya mengikuti rapat di kantor yang akan berakhir sekitar pukul dua belas siang. Handphone saya tinggal di meja kerja.
Pukul 09:35
Minyu menelpon.
Pukul 09.41
Minyu mengirim SMS bahwa dirinya minta izin untuk pergi ke rumah neneknya bersama tante dan kakak iparnya.
Pukul 11:30
Saya kembali ke meja kerja setelah mengikuti rapat dan mendapatkan adanya misscall dan SMS dari Minyu. Saya tak menelpon balik atau membalas SMS Minyu karena nomor saya masuk masa tenggang.
Saat itu saya berpikir, Minyu sudah berangkat ke rumah neneknya. Ketika membaca SMS tersebut, di dalam hati, saya langsung memberikan izin kepada Minyu sebab yang akan dikunjungi adalah neneknya, bukan untuk keperluan lain.
Pukul 12:13
Minyu menelpon kembali, tetapi saya sedang shalat zhuhur sehingga lagi-lagi tak saya angkat.
Pukul 12:24
Minyu menelpon lagi. Kali ini langsung saya angkat seraya minta maaf karena tak bisa menelpon balik atau membalas SMS.
Ternyata, Minyu masih di rumah. Belum berangkat.
Ketika saya tanya mengapa belum berangkat, Minyu menjawab bahwa saya belum memberikan izin, padahal tante dan kakak iparnya sudah tiba di rumah neneknya. Jika mau, Minyu bisa meminta dijemput di rumah. Nyatanya, Minyu tak melakukannya. Sebab belum ada izin yang saya berikan secara lisan atau tulisan.
Hati saya bergetar.
Saat itu saya ingin langsung mengatakan “I love you”, tetapi saya tahan karena di sekeliling saya jama’ah masjid sedang menyimak kajian Ramadan. Saya hanya memberikan izin kepada Minyu.
Pukul 12:56
Minyu mengirim SMS bahwa dirinya tak jadi berangkat. Tante dan kakak iparnya yang datang ke rumah.
Pukul 16:20
Saya tiba di rumah. Apa yang saya tahan saat berada di masjid, langsung saya ungkapkan kepada Minyu. Saya bisikkan “I love you” di telinganya.
Tulisan ini diikutsertakan dalam mini giveaway
pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga
Tulisan Terkait Lainnya :
eaaa.. potonya postwed yaaah.
sapa yg motoin ituh 😀
beberapa bulan setelah menikah. adik ipar yang motoin di teras rumah
eh, titin baca ini ikutan berkaca-kaca. 😀
keren banget Minyu ^^
Alhamdulillah. Semoga kami bisa selalu bersama-sama, di dunia dan di surga. Aamiin.
aamiin. ^^
Prikitiw… 😀
uhuyyyyyy
Kekurangan merupakan suatu kelebihan 😀
Haha berat banget filosofinya
tergantung dari sisi mana melihatnya 😀
Ambil sisi yang gampang aja.. Hehe
sisi baiknya 😀
kasih nomer kantor pak. kesian laah kalo penting. hehe
iya yah. belum sempat ngasih 😀
terima kasih sarannya
ikut giveaway juga ah. mkasih infonya pak,, 😀
silahkan, masih ada waktu. sama-sama, mbak
So swittt
ihiks….
Aih mas Rifky, buruan diisi dong pulsanya hihihiii… Minyu luar biasa deh, istri luar biasa ini.
Insya Allah, mbak 😀
Alhamdulillah.
Cerita yg menarik. Tapi rasanya ndak perlu sekaku itu juga sih. Kesannya malah kurang adanya kepercayaan (trust) pada pasangan. Jadi ribet juga dlm keseharian. Setiap pasangan biasanya punya kode2 tertentu yg bisa saling dimengerti satu sama lain, bahkan walaupun tanpa komunikasi langsung. Kode2 yg langsung terhubung dengan hati berbasis kepercayaan penuh. 😊
Tapi yah setiap pasangan tentu punya keunikan masing2. Terima kasih atas ceritanya.
Mohon maaf, mbak. Bagian mana dari cerita di atas yang kaku dan mengindikasikan tidak adanya trust kepada pasangan?
Saya bilang kurang ya mas, bukan tidak ada. Mohon dibedakan ya. Ini cuma pandangan dari perspektif yg berbeda, ndak bermaksud menyalahkan kok.
Menurut saya, ada hal2 tertentu yg bisa kita lakukan tanpa perlu ijin pasangan secara eksplisit supaya keseharian kita ndak terlalu ribet dan lebih fleksibel. Istri lebih punya kebebasan, suami lebih nyaman, sehingga ndak terkesan istri itu wanita yg terpenjara dan suami itu pria yg diktatoris. Nyantai aja lah. Misalnya pergi ke pasar tiap pagi yg sudah rutin, pergi ke orang yg kita kenal dekat (seperti keluarga), dsb. yg sekiranya cukup aman dan memang terkendala untuk ijin eksplisit.
Dalam kasus ini, istri akan pergi menengok neneknya bersama tantenya, seharusnya istri ndak perlu sekaku itu lah. SMS ijin ke suami sudah cukup baik, tanpa perlu perlu persetujuan eksplisit berupa balasan SMS/telepon dari suami. Apalagi suami sedang di kantor dan jam kerja, wajar kalo ndak sempat membalas dengan cepat. Apa yg perlu dikhawatirkan dari seorang wanita pergi ke rumah neneknya bersama tantenya? Toh semua itu muhrim. Toh suami sudah diberitahu. Buat saya dan pasangan saya, hal2 seperti di cerita ini ndak perlu terjadi. Kasihan malah mengecewakan nenek dan tante. Sekali lagi, ini menurut saya loh.
Tapi seperti saya bilang, setiap pasangan punya pola komunikasi dan tingkat kepercayaan yg berbeda. Ndak semua gaya cocok untuk semua orang. 🙂
P.S. Komen saya yg di bawah itu bisa dihapus, salah kolom. Mohon maaf, saya agak gaptek soalnya. 😀
mungkin yang dijadikan pegangan istri saya adalah dalil berikut :
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak halal bagi seorang istri keluar dari rumah kecuali dengan izin suaminya.” Beliau juga berkata, “Bila si istri keluar rumah suami tanpa izinnya berarti ia telah berbuat nusyuz (pembangkangan), bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, serta pantas mendapatkan siksa.”
saya melihatnya dari sisi kehati-hatian. cari yang aman.
seperti cerita di atas, ketika sama membaca SMS itu, saya mengizinkan. namun tidak demikian bagi istri saya yang lebih berhati-hati.
ketika belanja ke pasar atau ke warung, istri saya tidak selalu minta izin. pasalnya itu adalah kegiatan rutin. cukup izin sekali di awal istri saya mulai berbelanja dan izin yang saya berikan berlaku untuk hari-hari berikutnya.
ya, memang setiap pasangan punya peraturan atau kesepakatan masing-masing. dan mungkin rumah tangga saya yang baru menjelang tiga tahun ini masih banyak yang belum disepakati bersama demi kemudahan dan kenyamanan dalam berumah tangga
Fleksibel dalam proses ijin bukan berarti tanpa ijin dong. Apalagi sampe membangkang segala. Jangan kejauhan narik kesimpulannya, mas. 😊 Rasanya hampir semua muslim/ah tau kok ada dalil itu, bukan cuma masnya doang. Di pengajian ibu2 sering dibahas juga. Dan semua orang tentu ingin menjalankan agama dgn sebaik mungkin, tapi caranya kan bisa beda2. Kesepakatan pasangan pun bisa macem2. Parameter hati2 pun bisa beragam.
Jangan keburu berburuk sangka orang lain tak mau ber-hati2 dalam beragama. Walau saya yakin masnya ndak bermaksud begitu. Cara mas dan istri itu bagus, salut saya. Tapi mungkin ndak cocok buat kami. Makanya saya utarakan di sini untuk berbagi perspektif lain tentang bagaimana proses ijin dan komunikasi suatu pasangan.
Saya dan pasangan saya misalnya, jika bepergian bersama muhrim ke orang yg kenal baik dan dekat, apalagi keluarga, ya silakan saja. Ndak perlu ijin seketat di cerita ini. Mungkin karena kami sudah menikah lama, 10 tahun lebih, jadi cenderung lebih percaya dan lebih santai menyikapi ijin2 seperti ini. Yg penting ada pemberitahuan dan ndak bentrok dgn jadwal lainnya. Bikin simpel aja lah. Tapi ya jangan terus dianggap kami bepergian seenaknya, tetap aja ada batasan2 sesuai anjuran agama. Pun saya ndak klaim cara kami lebih baik loh, cuma beda aja.
Salam hormat buat mbak Minyu, ya. 😊
Iya mbak. Makanya di cerita di atas, saya sama sekali nggak menyinggung atau membandingkan sikap pasangan lain soal bagaimana cara dan bentuk izin istri kepada suami. Saya hanya bercerita tentang sikap istri saya.
seeeer…seeeer.seeeeeeer…
itu bunyi apaan yah? 😀
mmm,, ikutan ga yaaa? hahahha.. tapi wktunya singkat banget euy..
Masih ada waktu. Ikutan aja, mbak
Saya bilang kurang ya mas, bukan tidak ada. Mohon dibedakan ya. Ini cuma pandangan dari perspektif yg berbeda, ndak bermaksud menyalahkan kok.
Menurut saya, ada hal2 tertentu yg bisa kita lakukan tanpa perlu ijin pasangan secara eksplisit supaya keseharian kita ndak terlalu ribet dan lebih fleksibel. Istri lebih punya kebebasan, suami lebih nyaman, sehingga ndak terkesan istri itu wanita yg terpenjara dan suami itu pria yg diktatoris. Nyantai aja lah. Misalnya pergi ke pasar tiap pagi yg sudah rutin, pergi ke orang yg kita kenal dekat (seperti keluarga), dsb. yg sekiranya cukup aman dan memang terkendala untuk ijin eksplisit.
Dalam kasus ini, istri akan pergi menengok neneknya bersama tantenya, seharusnya istri ndak perlu sekaku itu lah. SMS ijin ke suami sudah cukup baik, tanpa perlu perlu persetujuan eksplisit berupa balasan SMS/telepon dari suami. Apalagi suami sedang di kantor dan jam kerja, wajar kalo ndak sempat membalas dengan cepat. Apa yg perlu dikhawatirkan dari seorang wanita pergi ke rumah neneknya bersama tantenya? Toh semua itu muhrim. Toh suami sudah diberitahu. Buat saya dan pasangan saya, hal2 seperti di cerita ini ndak perlu terjadi. Kasihan malah mengecewakan nenek dan tante. Sekali lagi, ini menurut saya loh.
Tapi seperti saya bilang, setiap pasangan punya pola komunikasi dan tingkat kepercayaan yg berbeda. Ndak semua gaya cocok untuk semua orang. 🙂
ya mungkin memang ini hanya perbedaan sudut pandang saja. mbak melihat sikap yang seperti di atas itu saklek dan sorang istri yang berbuat demikian seolah-olah bagai terpenjara dan suami berdiri sebagai diktator.
sementara saya melihat yang demikian sebagai sesuatu yang luar biasa. andaikan istri saya tetap pergi, saya tak mempermasalahkannya. saya menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang wajar, kan sudah memberi kabar. tetapi kejadian tersebut nggak akan saya tulis di blog sebagai pengingat diri saya bahwa istri saya pernah berbuat sesuatu yang luar biasa di zaman sekarang.
😀
susaaaah nyari yg begitu jaman sekarang mas…dan sampean beruntung punya mbak minyu.. 🙂
iya, mbak. alhamdulillah 😀
aiiihhh fotonya romantis banget :).
padahal gayanya masih kaku, lho 😀
sepayung berduaaa, prikitiewwwww… co cweeet… 🙂
ceritanya pasti lebih sweeeet 😀
salut ama mbak minyu gk keluar tanpa izin suami
Padahal kalau menurut saya, seperti cerita di atas, kabar via SMS itu aja sudah cukup 😀
Perempuan luar biasa istri bang Rifki. Tak banyak istri yang bersikap demikian. Salut.
istri shalikhah…
alhamdulillah
istri idaman bangetttttttt
salam dotapoker
alhamdulillah 😀