Antara Maaf, Bir Pletok, dan Yaumul Ba’ats

onlyhdwallpapers.com
onlyhdwallpapers.com

Sal, pagi ini, ketika berangkat kerja, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Entah apa. Aku tak tahu pasti apa yang membedakan pagi ini dengan pagi yang kemarin dan pagi-pagi sebelumnya. Aku hanya bisa merasakannya setelah beberapa ratus meter sepeda motorku melaju meninggalkan dirimu. Ah, betapa lemah memoriku sehingga tak mampu untuk membandingkan perbedaan pagi ini dengan pagi yang kemarin dan pagi-pagi sebelumnya.

Senyummu! Ya, senyummu! Akhirnya aku bisa mengingat. Meski mungkin sudah terlambat, sebab sudah sekian kilometer jalan yang terlewat. Pagi ini, aku tidak melihat senyummu yang begitu memikat. Pagi ini aku juga tidak mendengar sapaan dan pesan darimu yang biasanya terasa begitu hangat. Pelukanmu pun tak begitu erat. Adakah kesalahan yang telah kuperbuat? Adakah perkataan, perbuatan, atau sikapku yang melukaimu?

Sal, aku khawatir. Suatu hari nanti, ketika kita dibangkitkan kembali lalu kita terpisah seperti terpisahnya seseorang dengan saudaranya, ibunya, bapaknya, sahabatnya, dan anaknya karena masing-masing disibukkan dengan urusannya sendiri, lalu kau datang mengadu kepada Rabbmu tentang kesalahan yang telah kuperbuat. Sementara aku tidak sempat meminta maaf kepadamu di dunia. Lalu kamu meminta Rabbmu untuk mengambil segala pahalaku untuk diberikan kepadamu. Dan setelah pahalaku habis, sementara kesahalan yang kuperbuat masih terlalu besar, kamu lalu meminta Rabbmu untuk mengambil segala dosamu untuk kemudian ditimpakan kepadaku. Nyatalah diriku sebagai muflis. Orang yang bangkrut.

Sal, aku tak ingin seperti itu. Maafkanlah diriku!

jika pagi ini…
saat kutinggal pergi
kau merasa gundah
karena aku yang berulah
maafkan aku, sayang

jika pagi ini…
ketika matahari menampakkan diri
kau merasa kesal
sebab diri ini yang bebal
maafkan aku, sayang

jika pagi ini…
saat kau keluar dari alam mimpi
kau merasa sakit hati
karena aku yang tak tahu diri
maafkan aku, sayang

*****

Siang ini, di ruang kerjaku, ada seseorang yang menawarkan minuman khas Betawi. Bir Pletok namanya.

Tidak semua bir itu haram. Ini halal!” Katanya.

Aku pun teringat dengan keindahan-keindahan di antara kita. Dan sepertinya aku sudah lama tidak memberikanmu sebuah kejutan yang indah. Mungkin bir pletok ini bisa menjadi sebuah kejutan yang romantis. Aku sudah pernah mencicipinya. Mungkin dirimu belum pernah mencobanya. Aku akan membeli dua botol bir pletok. Satu untukmu. Satu untukku. Lalu kita akan meminumnya bersama di teras rumah sambil menikmati siraman cahaya purnama.

Romantis bukan? Sebab aku teringat bahwa dirimu pernah mengatakan, “Romantis itu tidak terkait dengan hal-hal yang luar biasa atau pun barang-barang yang mewah. Romantis itu bisa berwujud dalam bentuk-bentuk yang kecil, murah, bahkan gratis.”

*****

“Pedas!” Ucapmu setelah mencicipi bir pletok yang kubawa pulang.

“Hanya itu?” Tanyaku kemudian.

“Ada juga rasa manisnya.”

“Ada lagi rasa yang lain?”

“Hangat!”

Aku tersenyum melihat reaksi wajahmu ketika mencicipi bir pletok tersebut dan mendengar jawabanmu.

Ketahuilah, Sal. Bahwa hari ini, aku merasakan sesuatu yang pedas darimu seperti rasa yang pertama kali kau sebutkan setelah mencicipi bir peletok itu. Pagi tadi. Ketika aku tak mendapatkan wajahmu yang tersenyum saat kutinggal pergi ke kantor. Ada apakah gerangan?

Maafkan aku yang tidak menyadari adanya ucapan, perbuatan, atau sikap yang menyebabkan dirimu tersakiti atau terluka. Kumohon, katakanlah kepadaku. Sebab aku mungkin termasuk lelaki yang tidak sensitif dengan perubahan sikapmu. Karena aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam pikiranmu dengan perubahan sikapmu itu. Aku bisa saja menerka-nerka. Tapi jika salah, aku khawatir akan memperkeruh suasana hatimu. Katakanlah, Sal!

*****

Terima kasih, Sal. Kau telah mengatakan semua yang mengganjal di hatimu. Terima kasih karena kau telah mendengarkan penjelasanku. Terima kasih karena kau telah memberikan maaf untukku.

Sal, tak ada lagi pedas yang kurasakan. Hanya ada manis yang kemudian diiringi dengan kehangatan. Seperti rasa bir pletok itu yang sebelumnya kau sebutkan. Kutemukan kembali manis melalui senyummu. Kurasakan kembali kehangatan melalui pelukan eratmu.

Aku tak lagi khawatir dengan hari ketika kita dibangkitkan kembali dan kemudian kita terpisah seperti terpisahnya seseorang dengan saudaranya, ibunya, bapaknya, sahabatnya, dan anaknya karena masing-masing disibukkan dengan urusannya sendiri. Karena memang seperti itulah proses yang seharusnya dilalui oleh setiap anak manusia. Kita akan berpisah sementara, namun tak ada yang mengadukan kesalahan masing-masing. Aku pun tak masuk ke dalam golongan muflis. Lalu kita akan dipertemukan kembali, seperti keinginanku dan keinginanmu. Keinginan kita. Menjadi sahabat di dunia dan di akhirat.

Sal, jangan kau hapus senyum itu dari wajahmu. Sebab…

senyummu begitu indah
tak layak jika kusandingkan dengan purnama
karena pasti ia akan tertunduk malu

senyummu begitu hangat
tak pantas jika kuibaratkan dengan matahari pagi
karena pasti ia akan merasa tak percaya diri

senyummu begitu mempesona
tak patut jika kuumpakan dengan mahkota bunga
karena pasti ia akan merasa di bawah duli


Seri Samara Lainnya :