Cerita Makan Siang : Menu dan Budaya Antri

 

fast foodTiga kali dalam sehari, asupan makanan harus masuk ke dalam perut kita dan kemudian diolah oleh sistem pernecernaan di dalam tubuh. Sarapan, makan siang, dan makan malam harus disantap karena kita butuh energi untuk bisa melakukan berbagai aktifitas, untuk menjaga  agar siang bertenaga dan malam bergairah.

Untuk sarapan, saya biasa melakukannya di rumah. Menunya, tergantung apa yang dimasak. Ketika ibu saya masih berjualan, maka sarapan saya adalah nasi uduk. Jika tidak berjualan dan tidak masakh, sarapan nasi uduk dibeli tetangga yang juga berjualan. Jika bosan bisa beralih ke bubur nasi atau kue.

Untuk makan malam, saya juga melakukannya di rumah. seperti sarapan, saya akan menyantap apa yang dimasak. Jika tidak ada makanan di rumah, maka tukang nasi goreng menjadi andalan sebagai tempat beli makanan untuk disantap di malam hari.

Lantas bagaimana dengan makan siang? Makan siang itu juga penting seperti halnya sarapan, sebab akan mengembalikan energi pada tubuh dan menjaga proses metabolisme untuk tetap aktif, dan untuk tetap konsentrasi dalam beraktifitas.

Untuk makan siang, jika memungkinkan, saya membawa makan siang dari rumah. Apa pun menunya. Saya lebih suka membawa makanan dari rumah. Gampang dan nggak ribet. Jika tidak memungkinkan, maka saya akan membeli makan siang dari para penjual makanan di samping atau di belakang gedung kantor. Saya kurang suka dengan kondisi ini sebab ribet dan harus antri jika ingin membeli sendiri. Kalau tidak mau ribet dan tidak mau antri, bisa meminta bantuan office boy untuk membelikan makan siang dengan memberikan uang jalan alakadarnya. Namun saya jarang melakukan pilihan yang terakhir.

Menu makan siang yang paling sering saya  beli dan santap ketika mulai bekerja adalah gado-gado. Tak hanya saya, beberapa orang rekan kerja pun sering juga menyantap makanan ini. Bahkan beberapa waktu yang lalu, kami memiliki singkatan untuk menu yang satu ini semisal “Galon” untuk gado-gado plus lontong, “Ganas” untuk gado-gado plus nasi, “Gatel” untuk gado-gado plus telur.

Selepas dari menu gado-gado, menu makan siang lain yang pernah saya beli adalah soto ayam, ketoprak, siomay, dan pecel. Dari keempatnya, pecel adalah yang paling sering saya beli. Alasannya sederhana. Harganya paling murah dan porsinya cukup mengenyangkan. Jika hanya sayuran saja, cukup lima ribu. Jika di tambah nasi mungkin enam ribu. Jika ditambah lagi dengan dua buah gorengan, menjadi delapan ribu.

Mungkin karena harganya yang murah meriah itu, maka para pembelinya rela masuk dalam barisan antrian yang cukup panjang. Jika saya perhatikan, maka antrian pembeli di penjual pecel adalah yang terpanjang dibandingkan dengan antrian di penjual makanan lainnya. Bahkan pembelinya tak hanya berada dalam satu barisan saja, melainkan dua baris atau mungkin tiga baris memanjang.

Karena antrian yang panjang tersebut, saya pernah mengalami hal yang menjengkelkan. Yaitu tidak tertibnya antrian. Pembeli yang datang belakangan kadang tanpa merasa sungkan atau malu-malu mendahului pembeli yang datang lebih dahulu. Kejadian ini saya alami kemarin siang. Namun tidak semua pembeli seperti itu. Ada pula pembeli yang sadar dengan budaya antri tak berjiwa besar. Ketika ibu penjual pecel bertanya kepada salah seorrang pembeli mau pakai lontong atau nasi, pembeli tersebut kemudian mempersilahkan ibu penjual untuk melayani pembeli lain yang datang dan antri terlebih dahulu. Saya pun pernah mengalami hal demikian. Hati ini senang bukan kepalang ketika diperlakukan demikian. Semoga makin banyak pembeli yang bersifat demikian, sebab pastinya akan membuat hati para pembeli lainnya senang seperti yang pernah saya rasakan.

Begitulah cerita makan siang saya di kantor. Bagaimana dengan makan siang Anda?

Tulisan Terkait Lainnya :