Belajar di Waktu Kecil, Bagai Mengukir di Atas Batu

stoneJuni 2008

Adalah sebuah kebahagiaan yang teramat besar yang saya rasakan ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganugerahkan seorang anak laki-laki yang sehat setelah kepergian anak pertama saya sekitar dua tahun yang lalu. Namun, kebahagiaan tersebut tidak bisa saya rasakan sepenuhnya. Pasalnya, selama Syaikhan Muhammad Azzamy, lelaki kecil saya, masih berada di dalam kandungan umminya, saya selalu dihantui rasa takut akan kehilangan seperti kehilangan Syifa Kharunnisa, kakaknya.Kebahagiaan baru benar-benar bisa saya rasakan ketika melihat langsung bagaimana kondisi Syaikhan ketika lahir. Sehat dan tak kurang suatu apa pun.

Jika saat mendapat kabar bahwa anak saya yang pertama adalah seorang perempuan, maka yang terbersit yang akan saya lakukan nantinya adalah membawa sebuah boneka saat pulang dari kantor untuknya. Namun keinginan itu tidak terwujud. Syifa meninggal ketika usianya baru lima jam.

Lain halnya ketika Allah memberikan anugerah seorang anak laki-laki sekitar dua tahun setelah kepergian Syifa, maka sesuatu yang ingin saya lakukan kelak adalah mengajaknya shalat berjama’ah di masjid. Alhamdulillah, keinginan saya yang satu ini bisa saya wujudkan sekitar enam atau tujuh bulan setelah kelahiran Syaikhan.

September 2008

Di bulan Ramadhan tahun 2008, Syaikhan yang memasuki usia empat bulan selalu kami ajak ketika melaksanakan shalat tarawih berjama’ah. Kebetulan beberapa tetangga di komplek perumahan berkeinginan untuk melakukan shalat tarawih berjama’ah. Dan ditunjuklah salah satu rumah yang memiliki lahan cukup luas sebagai tempat pelaksanaannya.

Pakaian tebal dan hangat menjadi keharusan bagi Syaikhan untuk melindunginya dari hawa dingin angin malam, karena pelaksanaan shalat tarawih bukan di dalam ruangan, melainkan di halaman belakang, di ruang terbuka. Sebuah kelambu kecil yang bisa dilipat seperti payung juga menjadi perlengkapan Syaikhan untuk melindunginya dari gigitan nyamuk.

Di setiap pelaksanaan shalat tarawaih itu, saya yang berdiri sendiri di barisan paling depan terkadang menengok ke arah belakang, tempat di mana Syaikhan berada bersama umminya dan jama’ah perempuan lain di sela-sela shalat. Adakalanya saya melihat Syaikhan tertidur pulas di dalam kelambu kecil di samping umminya. Adakalanya pula saya melihat Syaikhan tengah digendong oleh umminya yang menandakan Syaikhan terbangun dari tidurnya. Jika demikian keadaannya, Syaikhan akan mengikuti shalat dalam gendongan umminya.

Desember 2008

Atas beberapa pertimbangan, saya memutuskan untuk menjual sepeda motor bebek yang telah menemani saya selama kurang lebih enam tahun. Selanjutnya saya membeli sebuah sepeda motor lain yang kata orang adalah ‘motornya lelaki’ secara kredit sebagai gantinya.

Januari 2009

Ternyata, di belakang hari kemudian, sepeda motor itu sangat membantu saya dalam mewujudkan keinginan saya sebelumnya, yaitu mengajak Syaikhan untuk shalat di masjid. Sepeda motor itu pun menjadi kebanggaan Syaikhan.

Syaikhan senang sekali diajak menaiki sepeda motor tersebut karena dirinya bisa duduk di depan, di bagian tangki bahan bakar dan melihat pemandangan di hadapannya tanpa adanya penghalang.

Maka, ketika Syaikhan sudah bisa duduk dengan stabil, saya sering mengajaknya ke masjid untuk shalat berjamaah. Biasanya saya mengajak Syaikhan ketika waktu Maghrib dan Isya, karena di dua waktu itulah saya sudah berada di rumah. Dengan menggunakan sepeda motor itulah saya biasa membonceng Syaikhan dari rumah ke masjid kampung yang jaraknya sekitar dua ratus atau tiga ratus meter dari rumah.

Ketika shalat akan mulai, saya mengambil posisi di ujung shaf, baik di kiri atau di kanan. Sementara Syaikhan saya posisikan untuk duduk di hadapan saya agak ke samping sehingga tidak menggangu saya ketika akan melakukan sujud.

Selama pelaksanaan shalat, Syaikhan hanya duduk diam dengan mata memperhatikan gerakan orang-orang yang sedang melakukan shalat. Syaikhan tidak pernah mengeluarkan suara apa pun dari mulutnya. Karena itu, saya tidak ragu untuk tetap terus mengajak Syaikhan ke masjid setiap kali ada kesempatan. Saya dan Syaikhan senang, jama’ah yang lain pun tidak merasa terganggu.

Juli 2010

Ketika berusia dua tahun, Syaikhan memiliki kebiasaan baru. Ketika suara adzan berkumandang dan didengar olehnya, Syaikhan akan berkata “Azzah….Azzah”, sambil menarik tangan saya untuk segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Syaikhan pun turut ikut ke kamar mandi, bahkan erkadang Syaikhan pun mengikuti gerakan wudhu dari awal hingga akhir.

Ketika shalat berjama’ah di masjid dimulai, Syaikhan akan mengikuti gerakan sholat pertama kali, yaitu takbiratul ihram. Syaikhan mengangkat kedua tangannya meniru gerakan saya dan jama’ah lain. Hanya sebatas itu yang Syaikhan bisa lakukan dari seluruh gerakan shalat. Selanjutnya, Syaikhan akan keluar dari barisan jama’ah dan bermain-main di dalam masjid.

Pernah suatu ketika, Syaikhan mencoba untuk meniru gerakan ruku. Namun karena belum bisa, yang Syaikhan lakukan hanyalah berdiri seperti orang ruku dengan kedua tangan dan kepalanya menempel di lantai.

Di lain waktu, Syaikhan mencoba menirukan gerakan sujud. Hanya saja, yang Syaikhan lakukan adalah tidur dengan posisi tengkurap. Tentu saja apa yang dilakukan Syaikhan mengundang anak-anak lain yang lebih besar dari dirinya dan sudah bisa melakukan gerakan shalat dengan baik.

Desember 2010

Sabtu tanggal 18 Desember 2010, setelah selesai makan malam di food court yang berada di salah satu pusat perbelanjaan di Depok, saya mengajak Syaikhan untuk shalat isya di masjid. Ketika saya ingin mengambil air wudhu, Syaikhan berkeinginan untuk melakukan wudhu juga.

“Bi, dudu!” Pinta Syaikhan sambil membuka peci putihnya.

“Syaikhan mau wudhu?” Tanya saya yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Syaikhan.

“Nanti setelah Abi yah!” Pinta saya yang lagi-lagi dijawab dengan anggukan kepalanya.

Setelah saya selesai berwudhu, saya wudhukan Syaikhan alakadarnya. Selanjutnya saya dan Syaikhan masuk ke dalam masjid untuk shalat berjama’ah.

Ketika pelaksanaan shalat isya akan dimulai, saya posisikan Syaikhan berdiri di sebelah kanan saya. Saat itu, sebenarnya ada rasa khawatir dalam diri saya kalau di tengah-tengah shalat nanti Syaikhan akan keluar dari barisan, sementara kondisi masjid sudah penuh dengan jama’ah.

Ternyata, kekhawatiran saya tersebut tidak terjadi. Sejak takbiratul ihram hingga salam, Syaikhan tetap dalam barisan dan mengikuti semua gerakan shalat, termasuk ruku, sujud, duduk di antara dua sujud, serta salam. Dari mulut kecilnya pun terdengar suara seperti orang mengucapkan bacaan shalat. Ucapan takbir adalah yang paling jelas terdengar dari mulutnya, sementara bacaan lainnya tidak.

Selesai shalat, Syaikhan pun ikut berdoa dan berkali-kali mengucapkan kata “amin”. Itulah kali pertama Syaikhan melakukan shalat berjama’ah secara sempurna dari awal hingga akhir.

Alhamdulillah!

Semoga saja, apa yang telah Syaikhan pelajari tentang shalat akan terus diingatnya dan terus diamalkannya kelak, seperti sebuah ungkapan yang menyatakan, “belajar di waktu kecil, bagai mengukir di atas batu.”

 *****

Tidak menjadi juara tapi menjadi tulisan terpilih ajang lomba yang diadakan quantum media


Tulisan terkait Lainnya :