Coretan dari Blogger yang Bukan Booklovers

kumcer - tentang kita
Dari lubuk hati yang paling dalam, saya harus membuat pengakuan bahwa saya bukanlah seorang booklover alias pecinta buku. Saya juga bukan penimbun buku. Judul buku yang saya miliki di rumah tidaklah banyak, sebab saya jarang membeli buku. Kebanyakan dari buku-buku tersebut berasal dari hadiah dari lomba blog, giveaway, atau kuis yang saya ikuti dan para penyelenggaranya atau dewan jurinya memilih saya menjadi pemenang. Mudah-mudahan bukan karena mereka khilaf. 😀

Namun demikian, saya tetap nekat untuk mengikuti giveaway for booklovers yang diadakan oleh Mbak Anne Adzkia. Meskipun saya belum memiliki judul buku yang paling menginspirasi yang saya baca di tahun 2016 ini. Meskipun saya tak memiliki target atau daftar buku yang akan saya baca selama tahun 2016. Meskipun saya belum merasakan momen paling berkesan terkait buku/toko buku/perpustakaan yang pernah saya alami. Meskipun saya tidak memiliki tips membaca buku yang efektif bagi orang-orang yang sibuk.

* Lah, terus apa yang mau ditulis kalau hal di atas itu nggak ada semuanya, Bro? *

Ya, menulis hal-hal selain yang di atas. Mungkin agak-agak bersinggungan sedikit. Yang jelas masih ada kaitannya dengan buku.

* Begitu? Ya sudah, tulis aja! Paling-paling nanti didiskualifikasi sama penyelenggara giveaway. 😀 *

Duh! Nggak apa-apalah.

Di tahun 2016 ini, saya baru membaca dua buku. Satu buah novel berjudul “Kubah” karya Ahmad Tohari dan satu buah kumpulan cerita berjudul “Tentang Kita” yang ditulis oleh Reda Gaudiamo.

Kedua buku tersebut merupakan hadiah yang saya terima karena memenangkan giveaway atau lomba yang saya ikuti. Untuk novel “Kubah”, saya tak memiliki kewajiban untuk membuatkan review atau resensi. Sedangkan untuk kumpulan cerita “Tentang Kita”, ada permintaan dari penyelenggara giveaway agar saya membuatkan resensi atas buku tersebut untuk kemudian bisa diikutkan lomba lagi. Siapa tahu rezeki, bisa menang lagi. Aamiin.

Kesamaan lainnya dari kedua buku tersebut adalah, saya menyelesaikan dalam tempo yang mungkin terbilang cukup lama. Mungkin sekitar dua puluh harian. Selain karena kurang bisa mengatur waktu untuk membaca buku, saya juga sering mendapat “gangguan” ketika akan menyelesaikan kedua buku tersebut.

“Gangguan” tersebut datang dari sosok lelaki kecil nan imut dan ganteng ini. Sabiq namanya. Usianya satu setengah tahun. Dia adalah anak saya.

sabiq main sepatu abi

Salah satu waktu yang saya gunakan untuk membaca kedua buku tersebut adalah ketika bersama Sabiq. Sambil mengawasi Sabiq yang sedang asyik bermain dengan mainannya atau sedang menyaksikan televisi, saya mencuri-curi waktu untuk membaca buku. Tujuan mulianya adalah untuk mengenalkan kegiatan membaca buku kepada Sabiq sejak dini. Saya pikir kegiatan tersebut jauh lebih baik daripada saya menggunakan gadget di depannya.

Nah, meskipun mula-mula Sabiq asyik bermain atau menonton televisi, ketika kedua matanya melihat saya membaca buku, dengan cepat dirinya mendekati saya dan berusaha meminta buku yang ada di tangan saya. Jika tidak saya berikan, masa usahanya tidak akan berhenti. Dan menangis adalah senjata andalannya.

Saya tak langsung memberikan buku yang sedang saya baca. Saya akan mendudukkan Sabiq di pangkuan saya sambil membaca dengan suara keras agar bisa didengar Sabiq. Harapan saya, Sabiq bisa tenang dan saya bisa tetap membaca. Namun harapan tinggal harapan. Sabiq tak menyukai dengan apa yang saya lakukan dan tetap meminta buku yang sedang saya baca.

Akhirnya, saya menyerah. Buku saya serahkan. Sabiq lalu membolak-balik halaman buku yang sudah berada di tangannya seperti gaya orang yang sedang membaca buku. Jika sudah seperti itu, maka akan sulit bagi saya untuk membaca kembali buku tersebut di saat itu. Kegiatan membaca buku saya pun tertunda.

Apalagi ketika saya membaca buku “Tentang Kita” yang sampulnya bergambar permen dengan aneka warna. Sabiq akan meminta buku tersebut. Dan ketika buku sudah berpindah tangan, jari telunjuknya akan menunjuk gambar permen satu per satu sambil mengucapkan sebuah kosa kata dalam bahasa balita seusianya yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa orang dewasa kurang lebih bermakna “ini gambar apa?” atau “ini warna apa?”

“Ini gambar apa?”

“Ini permen,” jawab saya.

“Ini warna apa?”

“Merah.”

“Ini warna apa?”

“Kuning.”

“Ini warna apa?”

“Hijau.”

“Ini warna apa?”

“Orange.”

“Ini warna apa?”

“Biru.”

Setelah puas bertanya warna permen di sampul depan, Sabiq akan membalik buku dan mengajukan pertanyaan kembali terhadap gambar permen yang ada di sampul halaman belakang.

“Ini warna apa?”

“Merah.”

“Ini warna apa?”

“Kuning.”

“Ini warna apa?”

“Hijau.”

“Ini warna apa?”

“Orange.”

“Ini warna apa?”

“Biru.”

* Bro! Loe sengaja ngulang-ngulang pertanyaan dan jawaban yang sama biar jumlah kata di coretan ini sampai 500 kata supaya bisa memenuhi persyaratan lomba yah? *

Ups! Ketahuan. 😀

Karena sudah ketahuan belangnya, saya sudahi saja coretan ini. Lagi pula sepertinya sudah melebihi 500 kata.

Sebagai penutup, dari apa yang saya lakukan dengan buku “Tentang Kita”, saya menarik sebuah kesimpulan bahwa saya bisa melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan ketika saya “dipaksa” untuk melakukannya.

Saya belum pernah membuat sebuah resensi satu buah buku pun. Namun ketika ada “paksaan” untuk membuatnya, meski saya belum mengerti benar apa resensi itu dan bagaimana bentuk tulisan yang bisa dikatakan sebagai sebuah resensi buku, saya bisa membuatnya. Terlepas dari banyaknya kekurangan dari resensi yang saya buat tersebut. Yang jelas, saya merasa senang dan bangga, ketika akun twitter saya mendapat mention dari penerbit buku “Tentang Kita” yaitu Stiletto.

stiletto mention tweet

* Bro! Kalau ceritanya beitu, artinya loe punya momen berkesan terhadap sebuah buku seperti salah satu tema yang diminta dalam giveawa for booklovers ini! *

Kalau begitu, nggak akan didiskualifikasi dong?

* Kemungkinan enggak. *

Bisa menang dong?

* Daya khayal loe ketinggian, Bro! *

—o0o—

Yuk, ikutan Giveaway for Booklovers di blognya Anne Adzkia

 


Tulisan Terkait Lainnya :