Sabiq’s Diary : Bukan Demam Berdarah

tes darah

Senin, 8 Agustus 2016

“Kepala Sabiq panas!”

Begitu ucap Abi ketika menurunkanku dari gendongan ke tempat tidur sesaat sebelum berangkat ke kantor. Ya, memang saat itu aku sudah merasa kurang enak badan.

Di siang harinya, aku rewel. Aku tidak bisa tidur siang. Akibatnya, Ummi pun jadi tidak bisa istirahat. Kepalaku panas, kepala Ummi juga ikut-ikutan pusing ditambah mual-mual karena masuk angin.

Malam harinya, Ummi meminta Abi untuk membelikanku dua jenis obat penurun panas. Satu berbentuk sirup dan satu lagi yang dimasukkan melalui dubur. Tak lupa Ummi meminta Abi membelikanku sari kurma. Khawatir jika aku terkena demam berdarah karena ada bintik-bintik merah di salah satu anggota badanku.

Saat aku tidur di gendongan Abi, Ummi mengecek suhuku dengan termometer. Ketika ujung termometer menyentuh telingaku, aku terbangun dan menangis sehingga menyulitkan Ummi saat mengukur suhu tubuhku. Namun akhirnya, suhu tubuhku terbaca juga meski mungkin kurang tepat. 39,0. Itulah angka yang tertera di termometer.

Selasa, 9 Agustus 2016

Abi tidak aktif di kantor untuk menemaniku. Suhu tubuhku sedikit mengalami penurunan. Namu tetap saja aku merasakan tubuhku tidak nyaman. Aku lebih suka berada di gendongan dibanding aktif bergerak seperti biasanya. Aku juga jadi rewel dan tidak nafsu makan.

Sore harinya, Abi dan Ummi membawaku ke tukang pijat. Biasanya, jika badanku panas dan ternyata masuk angin, setelah dipijat aku akan merasa lebih baik. Tetapi tidak demikian di malam harinya. Suhu tubuhku tetap tinggi.

Di malam hari, Ummi dan Abi sudah merasa khawatir jika aku terkena demam berdarah. Apalagi ada bintik-bintik merah di kakiku. Akhirnya, Abi dan Ummi memutuskan jika keesokan paginya kondisiku tidak membaik, aku akan dibawa ke rumah sakit.

Rabu, 10 Agustus 2016

Sekitar pukul sembilan lewat, aku dibawa Abi dan Ummi ke rumah sakit yang lokasinya tak jauh dari rumah. Setelah mendaftar, aku harus mengantri sebab jumlah pasien yang datang sudah banyak. Oh iya, sebelum diperiksa dokter, aku ditimbang dahulu. Aku lupa berapa beratku saat ditimbang. Yang pasti turun 200 gr dari seminggu sebelumnya.

Setelah sekian lama menunggu, akhirnya tiba giliranku untuk diperiksa dokter.

Aku langsung menangis saat diperiksa. Aku menangis keras sekali meski masih berada di dalam gendongan Abi.

Bu dokter langsung memeriksa suhu tubuhku dengan alat yang tidak perlu ditempelkan ke tubuhku seperti termometer yang Ummi gunakan di rumah. Bu Dokter cukup mengarahkan sinar yang berasal dari alat tersebut ke keningku dan suhu tubuhku langsung terbaca. Sekitar tiga puluh sembilan derajat. Aku langsung diberikan obat penurun panas melalui lubang dubur.

Selanjutnya seluruh badanku diperiksa Bu dokter sambil bertanya-tanya kepada Ummi tentang kondisiku sebelumnya.

Aku terkena virus. Begitu kesimpulan Bu dokter setelah melihat kondisiku. Sakit yang kualami namanya Campak Jerman, bukan Demam Berdarah. Alhamdulillah. Menurut cerita Ummi, Ummi juga pernah terkena penyakit tersebut ketika duduk di sekolah dasar dahulu.

Untuk meyakinkan bahwa aku bukan terkena demam berdarah, darahku akan dicek di laboratorium.

Saat pengambilan sampel darah yang diambil dari ujung jariku, aku juga menangis. Setelah pengambilan darah selesai dan jariku diplester, aku merasa tidak nyaman dan langsung kubuka. Untunglah darahku sudah berhenti keluar sehingga lepasnya plester tidak mendatangkan masalah baru.

Sekitar dua puluh atau tiga puluh menit kemudian, hasil tes darahku sudah bisa diambil. Ummi langsung menyerahkan hasil lab tersebut kepada Bu Dokter. Alhamdulillah, trombositku normal.

Setelah pulang dari rumah sakit, aku hanya minum obat penurun panas saja untuk mencegah suhu tubuhku tidak tinggi. Tak perlu minum obat yang lain. Sementara untuk kulitku cukup dioleskan dengan lotion saja.

 


Tulisan Terkait Lainnya :