Ketika Kau Tak Memiliki Banyak Tuntutan, Maka Bunga Cintaku Bermekaran

two hearthsAssalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh

Sayang, aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu.

Aku sengaja mengawali surat ini dengan kalimat di atas untuk sedikit melapangkan rongga dadaku yang sudah penuh sesak dengan rasa itu. Cinta. Dengan adanya sedikit ruang, maka beban jiwaku terasa lebih ringan untuk terus mencintaimu.

Lebay? Mungkin.

Sayang, aku memang mencintaimu dan akan terus mencintaimu. Namun ketahuilah, aku tidak bisa mencintaimu seperti Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencintai Khadijah. Sebab aku hanyalah lelaki akhir zaman yang jauh dari kesempurnaan. Satu hal yang sedang kulakukan sejak lisanku mengucapkan janji suci di hadapan penghulu dan para saksi adalah, aku akan menjadikanmu sebagai perempuan terakhir di dalam hidupku. Insya Allah.

Sayang, pernahkah dirimu mendengar kisah dari sebuah ayat Al-quran atau hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah marah kepada Khadijah? Aku tidak pernah. Sebaliknya, pernahkah dirimu mendengar kisah dari sebuah ayat Al-quran atau hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah pernah marah kepada para istri-istrinya selain Khadijah? Aku pernah.

Dari kedua pertanyaan dan jawaban di atas, aku menyimpulkan bahwa benarlah jika Khadijah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah. Bahkan beliau tetap mengingat segala kebaikan yang pernah dilakukan oleh Khadijah meskipun beliau sudah dikelilingi oleh para perempuan mulia yang menjadi istri-istri beliau.

Berikut adalah sebuah ayat yang mengisahkan tentang kemarahan Rasulullah kepada para istirnya. Ayat yang sebenarnya pernah atau bahkan sering kita baca namun mungkin kita melewatinya begitu saja.

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar.” (QS. Al-Ahzab : 28-29)

Jika aku dan dirimu meneliti lebih lanjut kisah di balik ayat tersebut, maka akan kita temukan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu adanya permintaan para istri Rasulullah tentang perhiasan dunia atau harta yang tidak dimilliki oleh Rasulullah. Permintaan yang membuat Rasulullah murka dan bahkan berniat menceraikan para istri beliau.

Lantas bagaimana pandangan diriku terhadap dirimu, sayang? Mengapa cintaku kepadamu semakin bertumbuh? Salah satunya adalah karena selamat hampir sebelas bulan pernikahan kita, aku tak pernah merasakan adanya tuntutan yang beraneka rupa dari dirimu. Apakah dengan demikian dirimu memiliki kedudukan lebih mulia dibandingkan para istri Rasulullah? Tentu saja tidak. Aku tidak boleh menganggapmu demikan. Dirimupun tidak pantas melakukannya. Cukuplah hal tersebut menjadikanmu perempuan yang berhasil menumbuhkan cinta di hatiku.

Sayang, apakah dirimu menyadarai bahwa seperti itulah sifat dan sikapmu? Jika dirimu tak menyadari atau mungkin lupa, aku akan menceritakannua kembali kepadamu melalui surat ini.

Sayang, sebagai seorang suami, salah satu kewajibanku adalah menyediakan rumah untuk tempatmu tinggal, beristirahat, dan melindungimu dari terik panas dan siraman hujan.

Sebuah rumah dengan ukuran yang tidak terlalu besar sudah bisa aku beli meski dengan cara berhutang. Rencananya, rumah tersebut akan kita tempati setelah anak kita lahir. Mungkin awal tahun depan.

Karena rumah itu adalah rumah bekas, maka diperlakukan beberapa perbaikan, terutama di bagian lantai. Lantas aku bertanya kepadamu, “Apakah lantai rumah tersebut diperbaiki dahulu sebelum ditempati atau kita tempati dahulu rumah tersebut baru kemudian lantainya diperbaiki?”

Selain bertanya, aku juga menyampaikan bahwa untuk memperbaiki lantai yang tidak mungkin hanya sebagian saja, harus seluruhnya, diperlukan biaya yabg cukup banyak. Sementara di sisi lain, hutang atas rumah tersebut belum bisa dilunasi dalam waktu dekat.

Jawabanmu yang kudengar saat itu sungguh membuat hati dan pikiranku lega. “Ditempati saja dulu. Kalau nanti ada rezeki, baru diperbaiki,” begitu jawabanmu.

Sayang, aku sering melihatmu yang merasa kepanasan akhir-akhir ini jika berada di dalam kamar. Penyebabnya mungkin karena cuaca di luar yang panas dan mungkin ditambah lagi dengan kondisimu yang sedah hamil besar. Untuk mengurangi rasa panas itu, dirimu hanya menggunakan kipas kecil.

“Mau dipasangin AC?” aku menawarkan sebuah solusi.

“Nggak usah. Kan sebentar lagi mau pindah. Lihat nanti aja, kalau dede bayi nggak nyaman dan perlu AC, baru beli dan pasang,” itu jawabanmu.

Sayang, aku punya cerita lain yang lebih sederhana, yaitu ketika dirimu meminta minuman cingcau senin malam lalu secara tiba-tiba. Aku sanggupi permintaanmu dengan berjanji akan membelikannya di mini market.

“Nggak usah. Abang kan baru dari sana,” ucapmu.

“Mungkin ada di warung dekat masjid. Nanti abang beli habis shalat isya,” balasku kemudian.

Lalu, ketika aku menyiapkan uang untuk membeli cingcau sekaligus bersiap diri ke masjid, dirimu berpesan, “Kalau nggak ada, nggak usah.”

Sekali lagi kamu tidak menunjukkan sikap menuntut bahwa sesuatu itu harus ada seketika. Kamu tidak memaksakan keinginanmu saat itu juga.

Sayang, selain tak banyak menuntut terhadap sesuatu yang berwujud materi, dirimu juga tak banyak menuntut tentang sikapku dan tingkah lakuku. Di antaranya, dirimu tak pernah memintaku untuk selalu bersifat romantis, tak pernah memintaku untuk bercerita tentang apa yang kulakukan di kantor, tak pernah memprotes cara berpakaian dan model baju atau celana yang kukenakan, dan berbagai hal lainnya.  Sikapmu itulah yang membuat bunga-bunga cinta di taman hatiku makin bermekaran.

Sayang, aku mencintaimu. Sungguh.

Selain, sikapmu yang tak banyak menuntut, ada lagi hal lain yang sering dirimu lakukan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya yang menambah subur cintaku.

Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, jika dirimu akan rajin membersihkan wajahku, bahkan memakaikan masker wajah. Aku tak pernah mengira jika dirimu rela, tanpa diminta, mengipasi wajah dan tubuhku setiap kali berkeringat. Aku juga tidak pernah berharap juga jika dirimu selalu menawarkan minum ketika pulang dari kantor, lalu mengambilkannya.

Sebenarnya, masih ada catatan-catatan lain di memoriku tentang kebaikan-kebaikan yang telah dirimu lakukan untukku. Kebaikan-kebaikanmu yang telah menyuburkan bunga-bunga cintaku. Mungkin aku akan menceritakannya di lain waktu dan bukan dalam bentuk surat seperti ini, melainkan dalam bentuk coretan tentang dirimu yang menurutku, amazing.

Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.

Lombok, 29 Oktober 2014


Tulisan Terkait Lainnya :