Sepertiga malam terakhir
Tubuh Amir berguncang hebat dalam sujud panjang. Dua sungai kecil dari kedua matanya mengalir mengiringi penyesalan dan permohonan jalan keluar atas kesalahan yang telah dilakukannya.
Siang hari sebelumnya
“Jadi jumlah pajaknya tidak bisa dikurangi, Pak?”
“Maaf, Bu. Saya tidak berhak melakukannya.”
“Tapi Bapak bisa menolong saya, kan?”
“Maksud Ibu?”
“Tolong terima saja uang ini. Jika Bapak menolak, saya akan dipecat. Lalu bagaimana saya memberi makan kedua anak saya yang sudah ditinggal mati ayah mereka?”
Keesokan harinya
“Ini, Pak!” ucap Dina sambil menyerahkan beberapa lembar foto.
“Bagus! Tak percuma saya mengutusmu,” Randi memuji salah seorang pegawai kepercayannya itu. “Meski tak berhasil membujuknya sekarang, kita sudah punya kartu mati yang akan kita gunakan untuk menjadikannya boneka yang akan menuruti segala perintah kita,” sambungnya sambil tertawa puas.
Tiba-tiba pintu ruangan diketuk. Rini, sang sekretaris, melangkah memasuki ruangan.
“Pak, ini ada surat untuk Bapak. Driver ojek online baru saja mengantarkannya,” ucapnya.
“Terima kasih.”
Randi membuka amplop dan membaca surat di dalamnya. Raut wajah Randi langsung berubah seketika.
“Bapak Randi yang terhormat, berikut saya sertakan bukti sah dari bank atas pembayaran sebagian utang pajak perusahaan Bapak sesuai dengan jumlah yang dititipkan Ibu Dina kemarin. Terima kasih atas kesediaan Bapak membayar pajak. (Amir)”
Baca Juga FlashFiction Lainnya :