
Saya pernah membaca sebuah artikel yang bercerita tentang perumpamaan hati yang dimiliki oleh seseorang.
Menurut artikel tersebut, adakalanya hati seseorang seperti sebuah gelas yang berisi air. Jika ada sebuah batu yang dijatuhkan ke dalamnya, maka akan ada air yang tumpah ke luar gelas. Bahkan, jika batu yang dijatuhkan itu cukup besar, maka akan banyak air dalam gelas tersebut yang tumpah. Bukan hal yang mustahil pula jika gelas itu pecah.
Menurut artikel itu pula, adakalanya hati seseorang seperti samudera yang luas. Jika ada sebuah batu berukuran besar yang dijatuhkan ke dalamnya maka akan muncul sebuah gelombang. Tak lam kemudian, gelombang itu hilang. Permukaan samudera kembali tenang. Tak ada air yang tumpah ke daratan.
Hati yang seperti samudera luas itulah yang dimiliki oleh seorang ibu. Ibu saya salah satunya.
Januari 2006
Saya sedang berdiri di salah satu tempat di sebuah pusat perbelanjaan yang dijadikan sebagai tempat parkir mobil. Di lantai itu pula terdapat sebuah mushalla. Tujuan saya berada di tempat tersebut adalah untuk melaksanakan shalat maghrib sebelum berbelanja.
Adzan Maghrib berkumandang dari salah satu mushalla di luar sana yang bangunannya bisa saya lihat dari tempat saya berdiri. Sesaat kemudian, handphone saya berbunyi. Ibu menelpon. Segera saya terima telepon tersebut. Lalu kami bicara.
Ibu bertanya saya sedang berada di mana. Saya jawab bahwa saya berada di ITC Permata Hijau untuk membeli beberapa keperluan. Ibu berkata lagi bahwa beliau dan dua orang tante saya akan datang ke rumah kontrakan yang baru saya tempat beberapa hari. Ibu meminta saya agar saya sudah berada di rumah selepas adzan Isya. Saya menyanggupi.
Beberapa hari sebelumnya, saya pamit kepada ibu untuk tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berjarak kurang lebih satu kilo meter dari rumah orang tua saya. Saya ingin mandiri. Begitu alasan yang saya sampaikan.
Dari kalimat yang terlontar dari mulut ibu saat menjawab permintaan saya saat itu, saya tahu bahwa beliau kurang setuju jika saya meninggalkan rumah keluarga dan tinggal di rumah kontrakan. Ibu ingin saya tinggal lebih lama lagi bersama beliau, ayah, dan juga adik-adik. Namun ibu tidak mau memaksakan kehendak. Ada hal lain yang menjadi pertimbangan ibu. Pada akhirnya, saya pun diizinkan.
Selepas melaksanakan shalat maghrib, saya mulai berbelanja. Saya mencari beberapa peralatan rumah tangga untuk keperluan di rumah kontrakan, beberapa jenis bahan makanan, dan buah.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Ketika semua barang belanjaan sudah saya dapatkan, waktu isya baru saja berlalu. Saya segera menuju kasir untuk melakukan pembayaran agar bisa segera pulang sebelum kedatangan ibu dan tante di rumah kontrakan.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Begitu saya tiba di kasir, terlihat antrian pelanggan yang sangat panjang dengan barang belanjaan masing-masing yang cukup banyak. Terpaksa, saya harus mengantri. Lama.
Mungkin sekitar setengah jam saya menghabiskan waktu hanya untuk menunggu giliran dilayani oleh kasir. Setelah transaksi selesai, saya segera menuju tempat parkir dan memacu sepeda motor saya untuk segera tiba di rumah.
Sepeda motor yang saya tunggangi belum sampai di depan rumah kontrakan ketika tetangga sebelah memberitahukan bahwa beberapa waktu yang lalu ibu saya datang beramai-ramai. Tetangga baru saya itu juga mengatakan bahwa setelah menunggu saya yang tak kunjung pulang, akhirnya ibu pulang dengan menitipkan beberapa alat rumah tangga seperti penggorengan, panci, sapu, dan sebagainya.
Badan saya langsung lemas. Saya telah berbuat salah kepada ibu. Saya telah mengecawakan ibu.
Segera saya menelpon ibu. Ketika telepon di ujung sana diberikan kepada ibu, ibu langsung bicara sambil menangis. Itu artinya ibu sangat marah. Marah besar kepada saya. Ibu mungkin pernah memarahi saya jika saya berbuat salah. Tetapi belum pernah beliau marah sambil menangis. Malam itu adalah kali pertama saya membuat ibu marah dan menangis.
Saya pun menangis bersama ibu dalam pembicaraan di telepon.
Saya salah. Saya telah mengecewakan ibu. Saya harus meminta maaf atas apa yang saya lakukan.
Seperti air di samudera yang membentuk gelombang ketika sebuah batu besar jatuh ke dalamnya, begitulah hati ibu saya saat itu. Namun karena luasnya samudera, gelombang itu hanya terjadi beberapa saat. Permukaan samudera kembali tenang. Seperti itu pula hati ibu saya beberapa saat kemudian.
Ibu mau menerima permintaan maaf saya. Ibu juga meminta saya mendatangi rumah kedua tante saya dan meminta maaf kepada mereka karena saya sudah mengecewakan mereka yang sudah meluangkan waktu dan tenaga mereka untuk datang ke rumah kontrakan saya namun tidak bertemu dengan saya.
Keesokan harinya, saya menemui kedua tante saya dan meminta maaf. Lalu saya datang juga ke rumah ibu untuk meminta maaf secara langsung dan memberitahukan bahwa saya sudah meminta maaf kepada kedua tante saya. Tak ada amarah yang tersirat di wajah beliau. Wajah ibu kembali seperti permukaan samudera yang luas. Tenang dan menenangkan.
Samudera yang tak pernah kering. Begitulah hati ibu saya. Banyak menyimpan air yang terkadang dikeluarkan beliau melalui kedua ujung matanya saat mengiringi perjalanan hidup saya. Bukan hanya karena marah atau bersedih saja, tetapi lebih karena kebahagiaan mendatangi diri ini, beliau pun melakukannya.
ketika saya menangis, ibu menangis
ketika saya bahagia, ibu menangis
ketika saya meminta, ibu menangis
ketika saya memberi, ibu menangis
ketika saya pergi, ibu menangis
ketika saya kembali, ibu menangis
ketika saya menikah, ibu menangis
ketika saya berpisah, ibu menangis
ketika saya menikah lagi, ibu pun menangis
semoga yang hadir selanjutnya adalah tangis-tangis bahagia ibu, bukan lagi kesedihan dan kekecewaan.
—oOo—
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera
Tulisan Terkait Lainnya :