Saya berpikir, setiap orang pasti punya alasan ketika mereka menyandingkan gelar, baik gelar yang mereka raih melalui jalur pendidikan semisal SE, ST, MM, dr, Dr, dan sebagainya atau karena pemberian masyarakat seperti Haji, Ustadz, Kyai, dan sebagainya di depan atau di belakang nama mereka.
Saya pribadi, ketika diminta untuk menuliskan biodata untuk keperluan sesuatu, tidak pernah mencantumkan gelar pendidikan yang sudah saya raih. Saya hanya mengisi nama saya pada kolom NAMA, tanpa embel-embel gelar. Saya pikir itu sudah cukup.
Adakalanya, gelar tersebut otomatis bersanding dengan nama saya tanpa ada permintaan dari saya atau tanpa ada konfirmasi dari pihak yang mempublikasikan identitas saya. Contohnya adalah web kepegawaian yang dimilik oleh instansi di mana saya bekerja.
Namun demikian, pada suatu masa, seseorang pernah mengajukan pertanyaan apakah penulisan nama saya akan ditambahlan dengan gelar pendidikan yang sudah saya raih atau tidak.
“Abang, di undangan mau pake gelar nggak?” Begitu bunyi pertanyaan yang sampai kepada saya melalui Whatsapp.
“Nggak usah,” jawab saya spontan. Namun beberapa detik kemudian, saya meralat jawaban tersebut. “Pake aja. Untuk bikin ortu bangga karena udah nyekolahin sampe jadi sarjana.”
Saya memilih menyandingkan nama dengab gelar karena teringat cerita Ibu saya beberapa tahun silam tentang bangganya beliau karena anak pertamanya ini sudah meraih gelar sarjana, sementara beliau termasuk orang yang tak mengenal aksara latin.
Tulisan Terkait Lainnya :