
Sal, keberkahan itu hadir di dalam sebuah kebersamaan. Kamu pasti masih ingat dengan untaian doa yang dihadiahkan oleh para tamu undangan di resepsi pernikahan kita. Doa yang di dalamnya ada permohonan keberkahan dan kebersamaan.
Baarakallahu laka wa baaraka ‘alaika wa jama’a baynakumaa fii khair[1] Semoga Allah menganugerahkan barakah kepadamu, semoga Allah juga menganugerahkan barakah atasmu, dan semoga Dia menghimpun kalian berdua dalam kebaikan. Kira-kira seperti itulah kalimat dan arti dari doa tersebut.
Sal, salah satu cara untuk menambah dan mempertahankan keberkahan dalam kehidupan rumah tangga adalah dengan melakukan makan bersama. Entah itu sarapan, makan siang, atau makan malam. Bahkan jika memungkinkan, kita melakukan ketiganya bersama-sama. Kita bisa melalukannya di rumah atau di luar rumah sesekali. Yang penting kita melakukannya bersama-sama. Agar keberkahan itu bertambah ke dalam kehidupan kita.
Aku pernah mendengar sebuah hadits yang menganjurkan kaum mulismin untuk makan bersama.[2] Sebab di dalam kebersamaan itu keberkahan akan turun kepada kita. Hadits yang bisa kita jadikan landasan atas kegiatan makan bersama yang kita lakukan sebagai sepasang suami istri, Sal.
Sal, saat sarapan, makan siang, atau makan malam, merupakan salah satu waktu di mana kita bisa duduk bersama-sama. Bersebelahan atau berhadap-hadapan. Selain mendapatkan keberkahan, di saat-saat makan bersama tersebut kita bisa berkomunikasi. Kita bicara dan berdiskusi saat makan bersama[3] untuk mencari solusi atas sebuah permasalah. Atau kita bisa berbagi cerita tanpa perlu memaksa akal kita bekerja kerasa. Tentang apa saja. Kamu biaa bercerita tentang apa saja yang terjadi di rumah rumah, tentang tingkah laku buah hati kita atau tentang prilaku anak-anak kecil yang sering lewat depan rumah kita.
Sal, menurut orang bijak, yang namanya makan bersama itu memiliki salah satu dari dua buah kriteria berikut ini.
Pertama, dikatakan makan bersama jika di dalamnya terdapat kegiatan memindahkan menu dari wadah besar ke wadah yang lebih kecil.
Kiranya, seperti itulah yang kita lakukan bila kita makan bersama di rumah, Sal. Masing-masing kita mengambil sayur dari mangkok besar untuk dipindahkan ke piring yang sudah berisi nasi. Hal yang sama juga kita lakukan untuk lauk-pauk yang lain seperti tahu dan tempe goreng, ayam goreng, tumis kangkung, dan sebagainya.
Kedua, dikatakan makan bersama jika di dalamnya terdapat kegiatan saling berbagi menu yang ada di atas piring di hadapan masing-masing.
Sal, mungkin yang demikian bisa kita lakukan ketika kita makan di luar rumah. Jika suatu ketika aku memesan mi ayam sementara kamu memesan nasi goreng, jangan kau tolak jika aku meminta untuk mencicipi satu atau dua sendok nasi gorengmu. Sebab aku melakukannya bukan karena aku rakus atau serakah, tapi untuk mendapatkan keberkahan dari makanan yang kita santap. Aku pun tidak akan melarangmu jika meminta sesendok atau dua sendok mi ayamku. Sebab kuyakin, dirimu juga menginginkan keberkahan atas semua makanan yang sedang kita makan.
Semoga, akan banyak keberkahan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan di dalam kehidupan rumah tangga kita, Sal. Aamiin.
[1]
Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do’a, “Baarakallahu laka wabaraka ‘alaiyka wa jama’a baiynakuma fii khoir” (mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan). (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim, Ibnu Majah dan Baihaqi).
[2]
Dari Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu, bahwasanya para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya kita makan tapi tidak kenyang.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mungkin kalian makan dengan tidak berkumpul?” Mereka berkata: “Ya.” Beliau bersabda, “Berkumpullah kalian ketika makan dan sebutlah Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala padanya, maka makanan kalian akan diberkahi.” [HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Ahmad, Ibnu Hibban]
[3]
Ibnul Muflih menyebutkan keteragan Ishaq bin Ibrahim, “Suatu ketika aku makan malam bersama Abu Abdillah yaitu Imam Ahmad bin Hanbal ditambah satu kerabat beliau. Ketika makan kami sedikit pun tidak berbicara sedangkan Imam Ahmad makan sambil mengatakan alhamdulillah dan bismillah setelah itu beliau mengatakan, “Makan sambil memuji Allah itu lebih baik daripada makan sambil diam.”
Tidak aku dapatkan pendapat lain dari Imam Ahmad yang secara tegas menyelisihi nukilan ini. Demikian juga tidak aku temukan dalam pendapat mayoritas ulama pengikut Imam Ahmad yang menyelisihi pendapat beliau di atas. Kemungkinan besar Imam Ahmad berbuat demikian karena mengikuti dalil, sebab di antara kebiasaan beliau adalah berupaya semaksimal mungkin untuk sesuai dengan dalil.” (Adab Syariyyah, 3/177).
Keterangan yang lain disampaikan Imam Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam sub “Bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih dalam makanan.” (al-Adzkar, hlm. 234)
Baca Seri Samara Lainnya :