Ketika ada keinginan untuk menikah, saya tidak menetapkan salah satu kriteria perempuan yang nantinya akan saya nikahi harus pandai memasak. Saya tak mengharuskan calon istri saya tersebut harus pandai berkreasi di dapur dengan aneka masakan yang menggugah selera. Saya hanya menginginkan pasangan hidup saya bisa menyediakan makanan yang bisa saya santap ketika waktunya makan. Caranya tidak harus memasak sendiri. Mungkin bisa membeli lauk-pauk yang sudah jadi di warung nasi yang ada di sekitar rumah. Itu saja. Keinginan tersebut pernah saya gambarkan dalam sebuah cerita fiksi berjudul “Lelaki dan Semangkuk Mi Rebus”.
Saya menyadari bahwa memberikan nafkah kepada istri, termasuk di dalamnya menyediakan makanan yang sudah jadi dan siap santap adalah kewajiban seorang suami. Bukan kewajiban istri. Karenanya, saya tidak pernah meminta Minyu untuk memasak ini dan itu. Ditambah lagi saya belum menyediakan fasilitas yang lengkap. Hingga sebelum Ramadhan, baru ada sebuah kompor gas dengan dua tungku, beberapa piring, gelas, dan sendok saja yang tersedia. Penanak nasi listri juga sudah ada, namun belum sempat dikeluarkan dari kardusnya alias belum pernah digunakan.
Beberapa waktu yang lalu, saya baru mengajak Minyu untuk berbelanja beberapa peralatan masak seperti penggorengan, panci, dan sebagainya. Lalu sehari atau dua hari sebelum Ramadhan, saya membeli gas elpiji untuk memasak. Kebetulan ada tabung gas ukuran 12 Kg yang ada di rumah orang tua saya yang tidak digunakan karena ibu saya lebih memilih menggunakan gas elpiji ukuran 3 Kg yang lebih ekonomis.
Saya sempat kaget ketika membeli gas elpiji 12 Kg yang harganya Rp. 152.000. Sebab terakhir kali membeli, harganya masih di bawah Rp. 100.000. Ternyata memang sudah naik sedemikian rupa dan jauh berbeda dari hitung-hitungan jika membeli gas elpiji ukuran 3 Kg. 😀
Saya membelikan peralatan masak dan gas tersebut bukan untuk berharap Minyu akan selalu masak tiap hari. Peralatan tersebut mungkin akan kami gunakan sesekali saja. Tidak rutin setiap hari. Misalnya untuk memasak mi rebus atau spaghetti seperti yang pernah saya tuliskan.
Namun sehari sebelum Ramadhan, Minyu menyampaikan keinginannya untuk memasak menu sahur sendiri. Minyu kemudian membeli sayuran dan bahan makanan di tukang sayur yang memiliki lapak tak jauh letaknya dari rumah kami. Lalu malam harinya sebelum tidur, Minyu mempersiapkan semuanya agar di saat bangun nanti tinggal mematangkan saja.
Maka di sahur pertama, kami menyantap masakan hasil kreasi Minyu.
Ternyata, Minyu pandai memasak. Selama beberapa hari di bulan Ramadhan ini, setiap harinya Minyu memasak menu yang berbeda-beda. Bahkan pernah kami menyantap makanan yang berbeda saat makan sahur dan berbuka.
Sepertinya, ketika sudah memiliki dapur sendiri dengan perlengkapan yang memadai, Minyu mulai terpicu untuk berkreasi di dapur. Berbeda ketika kami masih tinggal di rumah orang tua. Mungkin ada rasa segan yang menyelimuti. Ada rasa sungkan yang hinggap. Sehingga Minyu enggan untuk memperlihatkan kemampuan yang dimilikinya.
Semoga limpahan keberkahan dan pahala mengalir untuk Minyu. Sebab yang dilakukan oleh Minyu bukanlah sebuah kewajiban seorang istri. Mungkin keridhoan Allah dan keridhoan suami yang diharapkannya. Dan keduanya itu insya Allah akan membawanya ke surga. Aamiin.
Tulisan Terkait Lainnya :