Sal, hari ini hari jum’at. Hari yang penuh dengan keberkahan. Penghulu hari. Hari raya. Apa yang aku dan kamu lakukan di hari ini, mungkin hampir sama dengan apa yang aku dan kamu lakukan kemarin. Mungkin juga apa yang aku dan lakukan hari ini akan sama dengan apa yang akan aku dan kamu lakukan esok, lusa, dan sekian hari ke depan. Insya Allah.
Namun demikian, ada satu kegiatan di hari ini yang aku lakukan sementara kamu tidak melakukannya. Shalat Jum’at. Sebagai lelaki, aku berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at sebagai pengganti shalat zhuhur. Sementara dirimu, sebegai seorang perempuan, tak ada kewajiban untuk melaksanakan shalat jum’at. Namun dirimu tetap berkewajiban melaksanakan shalat zhuhur.
Kamu tahu, Sal, kalau di dalam pelaksanaan shalat jum’at itu ada yang namanya dua khutbah? Khutbah itu adalah nasihat agama yang diberikan oleh seorang khatib yang berdiri di atas mimbar sebelum pelaksanaan shalat dua rakaat berjama’ah. Di antara dua khutbah itu, khatib akan duduk sejenak. Saat khatib duduk itu adalah salah satu waktu di antara waktu-waktu mustajabnya doa.
Sal, sejatinya, nasihat dan ilmu yang disampaiakn oleh khatib di atas mimbar bukan hanya untuk para lelaki yang hadir di dalam masjid, melainkan juga untuk para perempuan. Jadi nasihat dan ilmu itu bukan hanya untukku, Sal, tetapi juga untukmu. Lantas bagaimana nasihat dan ilmu itu bisa sampai kepada dirimu? Bagaimana caranya nasihat dan ilmu itu bisa kau dengar? Jawabnya adalah, melalui diriku.
Aku akan menceritakan kembali apa yang aku dengar dari sang khatib kepadamu. Tentu saja, tidak semua hal yang disampaikan oleh sang khatib bisa bisa kuterima dan kusampaikan kepadamu, sebab ada beberapa bagian yang lepas dari ingatanku. Tema sang khatib kali ini adalah nikmat yang diterima Adam dan keturunannya. Termasuk aku dan kamu, Sal.
“Hari terbaik bagi matahari untuk terbit adalah hari Jum’at, pada hari Jumat Adam diciptakan, dan pada hari Jumat pula dimasukkan ke dalam surga dan pada hari Jumat Adam dikeluarkan dari surga.” (HR. Muslim)
Ketika di surga, nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Adam sangatlah luar biasa. Segala apa yang diinginkan oleh Nabi Adam sudah tersedia di hadapan. Tak perlu usaha. Tanpa perlu bekerja. Semuanya serba ada. Bahkan ketika Nabi Adam merasakan sepi dalam kesendiriannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala langsung menciptakan Hawa untuknya.
Namun Iblis yang dengki akhirnya menggoda dan menjerumuskan Adam dan Hawa hingga melakukan perbuatan terlarang. Lantas keduanya diturunkan ke bumi.
Di bumi, apa yang menjadi kebutuhan keduanya juga sudah tersedia. Jika mereka menginginkan buah, keduanya tinggal memetik di pohon. Begitu pula kebutuhan yang lainnya. Tak perlu usaha dan kerja keras untuk memenuhi apa yang mereka butuhkan dan inginkan. Semua kebutuhan tercukupi dengan sempurna.
Sayangnya, kesalahan kembali terulang oleh keturunan keduanya. Kenikmatan yang sebelumnya mereka peroleh tanpa usaha, kini harus dipenuhi dengan sebuah kerja terlebih dahulu. Untuk menikmati buah misalnya, mereka harus menanamnya terlebih dahulu. Mereka harus memerah keringat dan menguras tenaga untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dan butuhkan.
Nyatanya, kesalahan-kesalahan yang terjadi selalu bertambah dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kesalahan yang belum pernah ada di generasi sebelumnya, lahir di generasi berikutnya. Kesalahan yang di generasi sebelumnya hanya berskala kecil, di generasi berikutnya bertransformasi menjadi kesalahan yang berskala besar dan beraneka varian. Akibatnya, semakin sulit manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Semakin sulit manusia untuk merasakan sebuah nikmat. Maka muncullah sebuah asumsi dasar, sebuah postulat, bahwa setiap satu dosa yang dilakukan anak manusia akan mengurangi banyak kenikmatan yang akan diterimanya.
Lantas bagaimana dengan kita, aku dan kamu, Sal? Akankah kita berbuat kesalahan sehingga akan mengurangi nikmat yang akan kita terima? Mungkin akan sangat sulit untuk menghindari sebuah kesalahan. Tapi, aku tak ingin mengurangi nikmat-nikmat yang sudah ada di tangan. Bagaimana dengan dirimu, Sal? Adakah keinginanmu itu sama denganku? Kuyakin, pasti sama.
Adakah penangkalnya atas postulat tersebut?
Istighfar. Begitu sang khatib menjawab pertanyaan tersebut, Sal. Istighfar adalah sebuah pengakuan atas kelemahan diri yang begitu mudah terjatuh dalam sebuah dosa. Dengan istighfar, seorang hamba berharap kepada Sang Pemilik Ampunan agar titik-titik dosa yang menjadi pemberat amalan buruk di mizan itu terkikis. Terhapus. Hilang.
Istighfar juga akan melapangkan jalan yang sempit. Melancarkan apa yang tersendat. Istighfar itu bisa mendekatkan diri dengan kenikmatan. Istighfar itu bisa mendekatkan diri kepada surga.
“dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus).” (QS. Hud : 3)
Begitulah janji Allah.
“Barang siapa yang melazimkan istighfar, Allah akan menjadikan dari setiap kesedihan kelonggaran, dan dari setiap kesempitan jalan keluar dan memberi rizki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” (Sunan Ibnu Majah 3809).
Itulah yang keluar dari lisan mulia Rasulullah.
Mungkin cukup sampai di sini cerita tentang jum’atku kali ini. Aku berharap, aku bisa menyimak nasihat dan ilmu yang disampaikan khatib di mimbar jum’at-jum’at berikutnya. Akan ada kesempatan bagiku untuk bercerita kepadamu. Akan ada waktu bagimu untuk mendengarkan, Semoga. Insya Allah.
Tulisan Terkait Lainnya :